Duplantis Cerminan ”Citius, Altius, Fortius” di Paris
Duplantis, atlet loncat galah, dianggap dewa. Ia lakon dari ”citius, altius, fortius” di Olimpiade berkat rekor dunia.
Akhir Juli lalu, majalah ternama Amerika Serikat, Time, menyebutkan, Armand Duplantis kemungkinan bakal menjadi olimpian terbaik di Paris 2024. Padahal, ada banyak atlet top dunia yang tampil di Paris, mulai dari pesenam Simone Biles, sprinter Noah Lyles, hingga ”raja” Grand Slam tenis Novak Djokovic.
”Dari 10.000 atlet, dia (Duplantis) adalah satu yang dijamin akan menghasilkan emas,” tulis Time, mengutip Mike Tirico, komentator Olimpiade, mengenai Duplantis, atlet loncat galah yang membela Swedia, negara asal ibunya.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Nama Duplantis memang tidak setenar olimpian lain, Victor Wembanyama atau LeBron James. Namun, dia setara Michael Jordan di cabang basket atau Michael Phelps di renang. Duplantis adalah seorang legenda. Sebagian kecil menyebutnya ”dewa”. Bak Viking, leluhur dari garis keturunan ibunya, dia suka menaklukkan tempat baru yang dikunjunginya.
Setiap kali dia bertanding, entah di kejuaraan kontinental, Liga Berlian, atau tingkat dunia, di mana pun, dia selalu juara, bahkan mengukir rekor. Ekspektasi itulah yang ada di pikiran hampir 70.000 penonton yang memenuhi Stade De France di Perancis, lokasi perlombaan atletik Olimpiade Paris 2024, Selasa (6/8/2024) dini hari WIB.
Baca juga: Bagaimana Bisa Negara Kecil Saint Lucia Lampaui Indonesia?
Mereka serentak meneriakkan nama panggilannya, ”Mondo, Mondo, Mondo!”, saat Duplantis bersiap melakukan loncatan. Mistar atau palang, yang baru saja dinaikkan setinggi 6,25 meter, menjadi tantangan baru yang ingin ditaklukkan di hadapannya. Tinggi 6,25 meter setara dengan atap kebanyakan gedung bertingkat dua.
Orang biasa akan bergidik melihatnya. Para atlet dunia, rival-rival Duplantis di final nomor itu, bahkan lebih dulu menyerah saat batasan palang itu masih di bawah 6 meter. Sam Kendricks, atlet loncat galah ternama asal AS, bahkan hanya mampu melewati 5,95 meter di final itu. Adapun Duplantis melewati batasan dengan meloncat setinggi 6,10 meter. Loncatan itu langsung menjadi rekor baru Olimpiade.
Namun, Duplantis tak puas. Ia tak lagi punya lawan. Maka, menjelang menaklukkan mistar 6,25 meter, hanya ada dia melawan gravitasi. Duplantis versus hukum fisika. Belum pernah ada manusia sebelumnya yang mulus melewati mistar setinggi itu. Capaian terdekat adalah 6,24 meter yang diukir dirinya sendiri pada Liga Berlian di China, 20 April 2024 lalu.
Sayang, percobaan pertamanya gagal. Ia mengenai mistar. Duplantis seperti butuh lecutan ekstra. Maka, jelang upaya kedua, ia memancing penonton membuat tepuk tangan gemuruh ala Viking yang biasa disaksikan di laga-laga sepak bola tim Eslandia. Namun, percobaan itu kembali gagal.
Kali ini, ia menghela napasnya lebih dalam. Dalam kesempatan ketiga alias yang terakhir itu, ia lalu mundur beberapa langkah, tanpa gestur untuk memancing penonton. Stadion nasional Perancis yang penuh sesak itu hening dalam sekejap. Penonton ikut menarik napasnya dalam-dalam, seolah cemas menanti momen mendebarkan, jadi atau tidaknya sejarah tercipta di hadapan mereka.
Kita sepertinya harus berkelahi. Setiap kali saya ingin meraihnya (rekor dunia), kamu (Duplantis) justru yang melakukannya. (Noah Lyles)
Duplantis lalu berlari kencang, bak Usain Bolt, manusia tercepat sejagat. Dalam sekejap, ia menancapkan galah yang dipegangnya dan terbang vertikal, melayang ke arah langit. Kali ini, eksekusinya sempurna. Mistar bergeming saat Duplantis melewatinya, tipis. Berbarengan dengan jatuhnya Duplantis di matras pelindung, Stade De France sontak bergemuruh.
Sejarah diperbarui, rekor baru loncat galah telah tercipta. Duplantis sukses menaklukkan gravitasi dengan kekuatan fisik sendiri. Ia membuat ahli-ahli fisika sontak mengernyitkan dahinya. Bagaimana mungkin pria seberat 79 kilogram mampu meloncat dari dasar, melewati tinggi setara atap rumah bertingkat, hanya dengan bantuan alat galah? Gilanya, rekor semacam itu terus diperbaruinya.
Jebolan Louisana State University itu adalah cerminan dari moto Olimpiade: citius, altius, fortius yang berarti lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat. Bukan hanya sekali, total sudah sembilan kali ia mengukir rekor dunia. Ajaibnya, rekor demi rekor itu dipatahkannya dalam waktu hanya empat tahun. Mistar tinggi—yang bagi orang lain menakutkan—hanya ibarat papan target menembak bagi Duplantis.
Ia pun merayakan capaian itu dengan gestur menembak, seraya tangan kirinya diselipkan di celana, bak pembunuh berdarah dingin. Gestur yang dipopulerkan petembak Turki, Yusuf Dikec, di Paris 2024 itu diiringi lagu ”Dancing Queen” dari ABBA, grup band asal Swedia. Duplantis, kekasihnya, dan puluhan ribu penonton pun larut dalam sukacita.
Baca juga: Kemenangan Dramatis Noah Lyles melalui Foto Finis
Dirayakan Noah Lyles
Selebritas pun menyambut capaian itu. Megabintang lari cepat yang juga sahabatnya, Noah Lyles, bahkan ikut larut dalam sukacita. Tidak sabar ingin mengucapkan selamat, Lyles—yang meraih medali emas lari 100 meter putra—memotong wawancara langsung Duplantis dengan reporter sebuah stasiun televisi internasional. ”Kita sepertinya harus berkelahi,” ujarnya bergurau.
”Setiap kali saya ingin meraihnya (rekor dunia), kamu justru yang melakukannya. Kamu hebat,” ujar Lyles yang berambisi memecahkan rekor dunia lari 100 meter oleh Bolt, yaitu 9,58 detik, pada 2009 silam.
Duplantis kini sejajar dengan Bolt. Dia meraih targetnya, yaitu mempertahankan medali emas loncat galah putra sekaligus mengukir rekor dunia. Memperbaiki rekor dunia adalah prestasi yang gagal ia ukir di Olimpiade sebelumnya, Tokyo 2020. ”Ketika saya melewati mistar, rasanya tidak nyata. Saya merasakan histeria. Impian saya sejak kecil adalah mengukir rekor dunia di Olimpiade,” ujar dua kali juara dunia loncat galah itu emosional.
Capaian itu kian menegaskan Duplantis sebagai atlet loncat galah terbaik sepanjang sejarah, melampaui Sergey Bubka (Uni Soviet) yang legendaris. Dulu, ketika Bubka menjadi orang pertama yang mampu meloncat melewati mistar setinggi 6 meter di Paris pada 1985, banyak yang ragu capaian itu mampu dilewati manusia lainnya.
Hampir empat dekade berlalu, Duplantis telah berkali-kali melewati batasan itu, bahkan 25 sentimeter lebih baik. ”Jika menyaksikan Duplantis tampil, Anda selalu (berpeluang) melihat rekor dunia baru. Dia mengukir rekor, kapan pun dia mau,” ujar Michael Johnson, mantan sprinter pengoleksi empat emas Olimpiade.
Baca juga: Zohri yang Berburu dan Diburu Waktu
Kesuksesan Duplantis tak terlepas dari bakat dan lingkungannya. Ketika kebanyakan atlet atletik—khususnya loncat galah—mulai berlatih serius pada usia tujuh tahun, Duplantis telah melakukannya sejak usia tiga tahun. Terlahir dari pasangan atlet, yaitu Greg Duplantis (loncat galah) dan Helena (hepatlon dan voli), Duplantis berkembang sangat pesat.
Ia belajar soal teknik, kekuatan, dan kelenturan tubuh dari kedua orangtuanya. Keluarga itu bahkan memiliki perlengkapan loncat galah, termasuk landasan dan palang, di halaman belakang rumah mereka.
Mengingat usianya yang masih muda, besar kemungkinan rekor-rekor baru menyambut dia di masa depan. Ia pun patut disebut sebagai salah seorang olimpian hebat, kalau bukan yang terbaik, di Paris 2024.
”Mondo adalah peloncat yang luar biasa karena empat faktor. Dia punya pelatih hebat (ayahnya) sejak lama, punya banyak waktu melakukannya, memahami ajang, dan dia juga didukung Tuhan,” ujar Kendricks, rival Mondo, yang menyabet perak. (AFP/AP/BBC)