Tiga Lifter Putri Siap Berlaga di Paralimpiade Paris
Atlet angkat berat dan atletik siap berlaga di Paris. Persaingan di ajang tertinggi atlet difabel itu akan ketat.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Tiga atlet angkat berat putri siap berlaga di Paralimpiade Paris 2024 meskipun mereka bakal menghadapi persaingan ketat. Trio atlet difabel itu adalah Ni Nengah Widiasih (kelas 41 kilogram), Siti Mahmudah (79 kg), dan Sriyanti (+86 kg). Mereka menjalani pemusatan latihan tanpa terputus di Surakarta, Jawa Tengah, sejak Januari 2024 untuk lolos kualifikasi dan tampil di Paralimpiade Paris.
Indonesia pernah mencatatkan prestasi harum di Paralimpiade Tokyo 2020 yang digelar 2021 akibat pandemi Covid-19 setelah Ni Nengah Widiasih berhasil meraih medali perak kelas 41 kg. Atlet asal Karangasem, Bali, itu juga meraih perunggu di Paralimpiade Rio 2016.
Sebuah ruangan di Hotel Kusuma Sahid Prince, Surakarta, diubah menjadi gimnasium untuk berlatih para atlet angkat berat putri. Hotel tersebut juga menjadi tempat tinggal para atlet pelatnas Paralimpiade Paris dari cabang lainnya. Program latihan dilakukan hari Senin sampai Sabtu pukul 08.00-10.30, dilanjutkan sesi sore pukul 15.00-16.00 atau 17.00. Setiap atlet didampingi seorang pelatih. Hal ini karena atlet difabel membutuhkan bantuan untuk memasang atau melepas beban.
Semoga di Paris angkatannya bisa naik lagi. Sekarang masih perlu diasah lagi, belum sempurna.
Pelatih angkat berat Eko Supriyanto, Jumat (2/8/2024), menjelaskan, menjelang keberangkatan ke Paris, para atlet asuhannya berlatih teknik dan melakukan angkatan maksimal. Eko meminta Ni Nengah mencoba melakukan angkatan 102 kg, Siti mencoba angkatan 126 kg, dan Sriyanti mencoba angkatan 138 kg. Berat angkatan itu berdasarkan hasil Kejuaraan Dunia Para Angkat Berat di Tblisi, Georgia, Juli silam, yang merupakan kualifikasi terakhir untuk mendapat tiket ke Paralimpiade Paris.
”Semoga di Paris angkatannya bisa naik lagi. Sekarang masih perlu diasah lagi, belum sempurna. Yang penting target angkatan sekian (kilogram) harus dapat saat latihan,” kata Eko.
Menurut Eko, peluang untuk meraih medali bagi tiga atlet difabel asuhannya akan berat karena persaingan yang sangat ketat di cabang angkat berat Paralimpiade Paris. Bahkan, ketatnya persaingan antarlifter difabel dunia sudah terlihat sejak Kejuaraan Dunia di Tblisi.
”Medali untuk ketiga atlet Indonesia bisa dibilang sangat sulit. Namun, kami belum menyerah. Kami akan melakukan perlawanan sebaik mungkin,” lanjutnya.
Eko mengungkapkan, persaingan di Paris akan berlangsung sangat ketat karena sekarang angkatan lifter difabel semakin bagus. Mereka mengalami peningkatan angkatan dengan pesat.
Mengutip data dari Paralympic.org, angkatan ketiga atlet difabel Indonesia tersebut masuk dalam peringkat 10 besar dunia, tetapi masih tertinggal jauh dibandingkan angkatan atlet peringkat satu dunia. Angkatan Ni Nengah di kelas 42 kg, misalnya, berada di ranking ke-5 dunia dengan angkatan terbaik 100 kg, sementara angkatan peringkat satu dunia, Chui Zhe (China), mencapai 116 kg.
Angkatan terbaik Siti Mahmudah di kelas 79 kg adalah 126 kg di peringkat ke-8 dunia. Di kelas tersebut, angkatan terbaik dicatatkan lifter China, Han Miaoyu (153 kg). Sementara angkatan terbaik Sriyanti di kelas +86 kg adalah 138 kg di peringkat ke-7 dunia. Angkatan terbaik dunia di kelas itu milik Folashade Oluwafemiayo (Nigeria), yaitu 165 kg.
Sriyanti mengutarakan, dirinya sudah siap berlaga di Paris karena telah melakukan latihan dengan maksimal terus-menerus. Sriyanti senang karena pertama kali tampil di ajang Paralimpiade. ”Saya senang karena bisa ikut andil di Paris. Yang penting berusaha dan memberikan yang terbaik untuk Indonesia,” ujarnya mantap.
Menurut Siti yang sebelumnya pernah tampil di Paralimpiade Rio 2016, angkatan para lifter di Paralimpiade Paris lebih berat ditaklukkan. Banyak lifter dari kelas di bawah yang naik ke kelas 79 kg dan makin banyak lifter difabel berusia muda di kelas tersebut. Di Paris, Siti harus mewaspadai lifter yang angkatannya sedikit di atasnya, antara lain lifter Mesir yang memiliki angkatan 131 kg, lifter Jordania (130 kg), dan lifter Brasil (128 kg).
Saptoyogo optimistis
Dari cabang atletik, sprinter difabel klasifikasi T37 (keterbatasan gerak), Saptoyogo Purnomo, juga sudah yakin dengan persiapannya untuk ke Paris. Peraih perunggu di Paralimpiade Tokyo itu menegaskan persiapannya untuk Paralimpiade Paris sudah 80-90 persen. Sekarang tinggal menjaga mental, daya tahan, dan kondisi.
Menurut Yogo, panggilan akrabnya, peluangnya untuk mendapatkan medali di Paris adalah fifty-fifty (50:50). Alasannya, di Tokyo, peringkat Yogo stabil di tiga besar selama setahun. Adapun di Paris, peringkat Yogo yang akan berlomba di nomor 100 meter dan 200 meter tidak stabil di peringkat kedua hingga peringkat keempat.
”Bagi saya, ranking itu adalah patokan masuk final atau tidak. Kalau peringkat tiga atau empat besar yang penting masuk final, lalu kalau peringkat satu dan dua catatan waktunya cuma selisih 0,02 detik atau 0,05 detik, saya bisa merebut peringkat ketiga, kedua, atau pertama,” paparnya seusai latihan di Stadion Sriwedari, Surakarta, Jumat (2/8/2024).
Peraih emas di Asian Para Games Hangzhou 2022 itu menuturkan, khusus di Paris, ia harus mewaspadai Brasil yang menurunkan tiga sprinter. Namun, Yogo optimistis dapat bersaing dengan trio sprinter Brasil itu karena catatan waktunya tidak berbeda jauh dan salah satu sprinter Brasil sudah termakan umur.