Catatan Bola Sindhunata, Kalem adalah Kekuatan Spanyol
Luis de la Fuente mewajibkan pemain Spanyol tetap kalem seusai mengalahkan Jerman. Kini, mereka fokus melawan Perancis.
Oleh
SINDHUNATA, wartawan
·4 menit baca
Sukacita Jerman yang dibayangkan dalam Sommermaerchen, dongeng musim panas itu, akhirnya tidak terjadi. Malah bayangan sukacita itu dalam sekejap telah berubah menjadi tragedi. Tragis memang, Jerman, favorit juara, akhirnya terjungkal di kaki Spanyol. Lebih menyedihkan lagi, terjungkalnya terjadi di rumahnya sendiri.
Sepatu yang bakal digantungkan oleh Toni Kroos akan menjadi kenangan tentang kesedihan itu. Setelah Piala Eropa 2024 ini, Jerman harus kembali masuk ke dalam ”musim dingin sepak bolanya”. Seperti kata pepatah, makin berat dan panjang musim dingin, makin susah pula menanggung harapan akan datangnya musim semi. Memang, Jerman masih harus menangguhkan kebesarannya dua tahun lagi sampai datangnya Piala Dunia 2026 nanti.
Baca Berita Piala Eropa 2024
Ikuti informasi terkini seputar Piala Eropa 2024 dari berbagai sajian berita seperti analisis, video berita, klasemen, rekap pertandingan, dan lainnya.
Mengalahkan Jerman memang tidak mudah. Dibutuhkan setitik keberuntungan nasib untuk memukulnya. Itulah sebabnya, Luis de la Fuente tak berjemawa menjaminkan Spanyol bakal juara walau mereka telah menggulingkan raksasa Jerman, dan mematahkan mitos yang mengharuskan mereka takkan menang terhadap tuan rumah selama 40 tahun Piala Eropa.
”Kami bahagia, tetapi euforia tetaplah di bawah kontrol kami,” kata La Fuente. Pelatih Spanyol ini teguh dengan pendiriannya: Ia mengajak anak-anaknya tak menatap juara, tetapi terus melangkah dari pertandingan ke pertandingan, dan menimbang seberapa jauh mereka sudah membuat perbaikan dalam setiap langkahnya. Mereka diminta menyadari, jalan yang mereka titi itu berat karena di hadapan mereka selalu menghadang lawan-lawan yang hebat.
La Fuente tak mau peduli akan euforia fans Spanyol. Ia tak ingin mengontrol apa yang terjadi di luar dan hanya hendak berfokus pada apa yang internal dalam kamp latihan. Untuk itu, ia mewajibkan pemain-pemainnya tetap kalem. Karena, baginya, staying calm is power.
Kalem adalah kekuatan, itulah pedoman dalam hidup biasa yang diwujudkan La Fuente ke dalam strategi di lapangan bola. Lo que funciona no se toca, apa yang sudah berfungsi dengan baik, jangan kamu sentuh-sentuh lagi, demikian kolumnis bola Javier Caceres melukiskan strategi La Fuente. Memang, Spanyol memperlihatkan diri solid dengan susunan pemainnya. Tak gampang berubah-ubah.
Di mata legenda Jerman, Philipp Lahm, soliditas Spanyol tidak hanya tentang strateginya di lapangan, tetapi juga tentang visi bolanya. Pemain-pemain Spanyol selalu memainkan ”sepak bola klasik Spanyol”. Entah di liganya, entah di kesebelasan nasionalnya, mereka konsisten dengan penguasaan bolanya. Walau terkadang mereka tiba-tiba beraksi menarik diri ke belakang, untuk mendapatkan kesempatan konter.
Lahm kiranya benar. La Fuente mengaku dirinya adalah orang yang mempertahankan ide dan style permainan kesebelasan Spanyol yang sudah berfungsi selama ini. Terhitung selama satu dekade lalu sudah terbentuk gaya permainan yang membuat mereka kuat dan besar. La Fuente bilang, ia hanya menambahkan ”nuansa-nuansa kecil dan sentuhan-sentuhan personal”.
Kami bahagia, tetapi euforia tetaplah di bawah kontrol kami.
La Fuente juga sangat berani dalam menghargai bakat pemain secara individual. Bakat demikian tidak lagi bisa digolongkan menurut kategori tua atau muda. Karena keberaniannya itulah Spanyol diam-diam telah menemukan masa depannya dalam diri seorang Lamine Yamal.
Ditilik dari usianya, Yamal masih tergolong ”bocil” di hadapan pemain-pemain senior, lawan atau kawan, yang sudah kenyang dengan asam garam turnamen bola. Memang, usia Yamal baru 16 tahun. Ia masih harus menyelesaikan tahun ke empatnya pada Educación Secundaria Obligatoria, semacam sekolah menengah wajib. Selama turnamen Piala Eropa ini, ia membawa buku-buku sekolahnya untuk mempersiapkan ujian jarak jauhnya. Menjelang final Piala Eropa, ia akan berumur 17 tahun. Setelah itu, ia akan mengikuti ujian kelulusan sekolah menengah sepak bolanya.
Yamal memang masih ”ingusan” dalam dunia bola senior. Namun, Yamal selalu mencari incaran yang disegani lawannya. Bahkan, sebelum menghadapi Spanyol, Julien Nagelsmann sampai mengutarakan kalimat seperti teka-teki, ”Saya memfokuskan diri sedikit kurang kepada Yamal daripada lebih banyak kepada Jamal.” Teki-teki itu kurang lebih bisa ditafsirkan: Jangan melebih-lebihkan Yamal, tetapi bahaya jika Jerman memandang Spanyol terlepas dari Yamal.
Selama Piala Eropa ini jelas terlihat siapa Yamal. Ia bermain dengan gesit, cepat. Gerakannya sangat elastis dan ringan. Lawan sulit menerka ke mana ia membawa bola dan menempatkan dirinya. Bola seakan mau terus lekat pada kedua kakinya. Dialah yang membuat penjaganya, bek Jerman, David Raum, kewalahan. Raum seakan tidak tahu apa yang harus dibuat ketika Yamal memberikan asis manis kepada Dani Olmo, yang kemudian menceploskan bola ke gawang Manuel Neuer.
Di semifinal nanti adalah fatal jika Spanyol bersama Yamal meremehkan Perancis yang tampak minimalis, pragmatis, dan tidak menjanjikan. Harap diingat, pelatih Perancis adalah Didier Deschamps, pelatih yang kali ini dianggap paling berpengalaman dalam turnamen bola. Ia sungguh tahu bedanya pertandingan liga dan turnamen.
Dalam liga, sebuah kesebelasan harus menang secara konsisten agar mendapat tiga poin. Dalam turnamen, hasil imbang di babak penyisihan pun sangatlah berharga asal itu bisa jadi jaminan untuk sampai ke fase knock out, dan kemudian melampauinya. Deschcamps paham benar tentang hal itu. Maka, bukan sekadar memperoleh nilai 3 dalam pertandingan, tetapi melangkah ke babak selanjutnyalah yang akhirnya menjadi targetnya.
Salah satu cara efektif untuk tujuan tersebut adalah memperkuat benteng pertahanan. Deschamps tak peduli jika Perancis dicibir bermain defensif. Demi cita-cita yang tinggi, meraih final, bermain defensif bukanlah strategi bola yang cacat.
Dalam Piala Dunia 2018, Perancis bersama Deschamps telah mempunyai contoh untuk itu. Dengan pertahanannya yang kokoh, Perancis membuat Kroasia frustrasi dalam pertandingan final. Tak jadi soal bahwa striker Olivier Giroud mandul asal teman-temannya efektif membela pertahanannya.
Terbukti, walaupun Kroasia unggul dalam penguasaan bola, mereka pun ditekuk Perancis, yang unggul dengan serangan baliknya. Tak mustahil, Perancis akan mengulangi taktik ini ketika melawan Spanyol yang kuat dalam penguasaan bola dalam pertandingan semifinal nanti.