Di Balik Permainan Super Monoton Inggris, Salah Siapa?
Mengapa Inggris bermain begitu monoton dengan kualitas pemain terbaik di Piala Eropa? Siapa yang patut disalahkan?
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
Sasis mobil balap, tetapi mesin mobil tua. Perumpamaan itu bisa menggambarkan bagaimana penampilan tim nasional Inggris sepanjang Piala Eropa 2024. Mereka memiliki para pemain dengan talenta terbaik di Bumi, tetapi hanya mampu menampilkan permainan super monoton yang lambat dan minim kreativitas.
Siapa yang patut disalahkan atas performa itu? Mungkin, semua sepakat, pelatih Gareth Southgate yang harus bertanggung jawab. Pelatih dengan filosofi pragmatis tersebut selalu dihujani kritik dalam empat pertandingan awal, termasuk saat Inggris menaklukkan Slowakia 2-1 lewat babak tambahan waktu di 16 besar.
Baca Berita Piala Eropa 2024
Ikuti informasi terkini seputar Piala Eropa 2024 dari berbagai sajian berita seperti analisis, video berita, klasemen, rekap pertandingan, dan lainnya.
Seperti kata mantan penyerang andalan Inggris Gary Lineker, Southgate telah merusak potensi terbaik Jude Bellingham dan rekan-rekan. ”Saya melihat tim yang seperti sudah kehilangan jiwa. Mereka tidak tahu harus melakukan apa dan bermain bagaimana. Mereka bingung dengan gaya yang diinginkan (pelatih),” ujarnya dalam siniar The Rest is Football.
Namun, bagaimana jika sebenarnya yang salah adalah ekspektasi para penonton? Inggris memiliki skuad dengan nilai pasar terbesar di turnamen kali ini, yaitu 1,52 miliar euro, dan dimotori para pemain terbaik, seperti Bellingham, Phil Foden, dan Bukayo Saka. Idealnya, mereka bisa menang mudah dengan permainan indah.
Pada kenyataan, skuad berjuluk ”Tiga Singa” itu kesulitan menciptakan peluang walaupun lawan-lawan selama ini masih berada satu atau dua level di bawah. Seperti lawan Slowakia, mereka belum mencatat satu pun tembakan tepat sasaran hingga menit ke-90. Kreativitas menjadi permasalahan terbesar.
Berbicara kreativitas, Inggris memang kekurangan pemain kreatif. Lihat saja empat pemain yang kebanyakan beroperasi di lini tengah dalam laga 16 besar, yaitu Foden, Bellingham, Declan Rice, dan Kobbie Mainoo. Mereka bukan ”otak” utama serangan tim di klub masing-masing.
Bellingham, misalnya, yang diplot sebagai gelandang serang. Dia bukan kreator serangan dan peluang di Real Madrid. Tugas itu milik gelandang veteran Toni Kroos. Peran Bellingham lebih sebagai penyerang lubang, bergerak dari lini tengah ke kotak penalti untuk memanfaatkan suplai dari pemain lain.
Sama halnya dengan Foden di Manchester City. Dia memang menyumbang 8 asis di Liga Inggris musim lalu. Namun, otak utama serangan City adalah sang ”mesin asis” Kevin De Bruyne. Foden lebih bertugas sebagai eksekutor peluang ketimbang menghasilkan peluang untuk rekan-rekannya.
Apalagi untuk Rice dan Mainoo yang bermain lebih ”rendah”. Rice, sebagai gelandang box to box, menambah opsi umpan dengan gelandang kreatif Martin Odegaard di Arsenal. Sementara itu, Mainoo juga lebih bertugas mendukung gelandang serang Bruno Fernandes di Manchester United.
Wajar jika Inggris begitu kebingungan saat menyerang, khususnya saat menghadapi lawan dengan strategi blok pertahanan rendah atau ”parkis bus”. Tidak ada pemain yang memiliki visi dan eksekusi umpan mumpuni untuk membelah tumpukan pemain lawan.
Masalah terbesar
Lalu, di mana letak kesalahan Southgate? Kesalahan itu ada dalam pemilihan cara bermain, termasuk pemain yang diturunkan. Tanpa sosok kreator ulung, Inggris semestinya bermain dengan tempo lebih tinggi dan mengandalkan transisi. Mereka harus menekan agresif lawan, merebut bola secepat mungkin, lalu menyerang balik.
Akan tetapi, Southgate justru memilih pendekatan bermain dengan tempo lambat dan kurang agresif saat kehilangan penguasaan. Padahal, mereka memiliki pemain yang terbiasa tampil dengan intensitas tinggi, seperti di Madrid, City, dan Arsenal. Keunggulan tersebut tidak dimanfaatkan sang pelatih.
Tiga Singa nyaris selalu menyerang saat semua pemain lawan sudah kembali ke pertahanan. Mereka sering kehilangan momentum menyerang balik. Southgate tampak ingin lebih mengontrol permainan dengan keunggulan kualitas di lini tengah. Pemain seperti Rice dan Bellingham sangat piawai menahan penguasaan.
Pendekatan tersebut tidak seperti di beberapa turnamen sebelumnya, Inggris bermain lebih langsung dan sangat efektif dalam transisi. Di final Piala Eropa 2020, misalnya. Inggris membuka keunggulan versus Italia dengan gol dari serangan balik yang terjadi dalam waktu kurang dari 10 detik setelah bola melewati tengah lapangan.
Saya melihat tim yang seperti sudah kehilangan jiwa. Mereka tidak tahu harus melakukan apa dan bermain bagaimana.
Terlihat jelas dalam pemilihan pemain. Southgate memaksakan untuk melibatkan Foden di dalam tim. Foden dipasang di sayap kiri, bukan posisi aslinya, dengan tujuan untuk membantu ke area lebih sentral. Sisi kiri Inggris pun kurang bertaji. Hanya mengandalkan bek sayap kiri Kieran Trippier yang berposisi asli di sisi kanan.
Kreator peluang terbaik di skuad Inggris saat ini adalah penyerang tengah Harry Kane. Di turnamen-turnamen besar sebelumnya, dia selalu berperan seperti seorang quarterback dalam permainan american football. Dia sering bergerak mundur untuk mencari bola dan menyuplai rekan-rekannya.
Masalahnya, peran krusial Kane terdampak oleh gaya bermain dan pemilihan pemain Southgate. Dengan keberadaan Foden, tidak ada penyerang sayap yang punya kecepatan di sisi kiri, seperti Marcus Rahsford di Piala Dunia Qatar 2022. Serangan pun seolah hanya bertumpu ke sisi kanan yang diisi Saka.
Kane tidak memiliki banyak pilihan umpan untuk menginisasi serangan. Sementara itu, kemampuan membagi bola sang kapten biasanya lebih sering digunakan dalam situasi transisi. Keahlian tersebut tidak keluar di turnamen ini karena permainan Inggris terlalu lambat sehingga ruang di pertahanan lawan sudah tertutup.
Terlepas dari fakta itu, Inggris masih bertahan di turnamen dan masuk ke delapan besar. Southgate pun masih bisa tersenyum dan menepis kritik terhadapnya. ”Malam ini adalah contoh dari sepak bola turnamen. Semua tentang karakter, soal hati dan jiwa. (Tetapi), level permainan kami memang harus lebih tinggi lagi,” ucapnya.