Antara Reus dan Kroos, Kisah Siapa yang Lebih Baik?
Apakah perjalanan karier Kroos lebih baik dengan segudang prestasinya atau Reus yang menjunjung tinggi loyalitas?
Tidak lama seusai peluit panjang, rasa suka dan duka seolah melebur di Stadion Wembley. Euforia kemenangan para pendukung Real Madrid dan pedih kekalahan para pendukung Borussia Dortmund tiba-tiba surut. Mereka mendadak berada dalam nuansa kebatinan yang sama, saling berbagi rasa kehilangan.
Atmosfer kompetisi sirna seketika seiring pelukan hangat gelandang Madrid, Toni Kroos, dan gelandang Dortmund, Marco Reus. Kedua pria Jerman itu saling memberi hormat. Mereka telah memainkan laga terakhir untuk klub masing-masing. Kroos akan pensiun pada akhir musim, sementara Reus hengkang dari Dortmund.
Baca juga: Dortmund Memulai, Real Madrid Mengakhiri
Kroos menutup perjalanan satu dekade bersama Madrid dengan sempurna. Dia menghadiahkan trofi Liga Champions ke-15 untuk ”El Real” pada Minggu (2/6/2024). Pemain 34 tahun itu turut menyumbang asis untuk gol pembuka Madrid yang sukses mengubah jalan partai final.
”Apa yang saya alami dalam 10 tahun ini sungguh tak terlupakan. Saya mengambil keputusan ini karena ingin menjalani kehidupan berbeda. Saya akan merindukannya. Saya berniat pergi seperti ini (dengan gelar juara). Tidak ada cara yang lebih baik dibandingkan ini,” kata Kroos seusai laga final.
Tidak ada yang lebih baik daripada memainkan laga terakhir Anda di final Liga Champions dan jadi juara.
Reus gagal menutup perjalanan 12 tahun di Dortmund dengan manis. Kroos dan Wembley melambangkan ironi untuk pemain 35 tahun itu. Dia pertama kali tampil dalam final Liga Champions saat musim debut di Dortmund, 2012-2013. Ketika itu, dia kalah di Wembley oleh Kroos dan rekan-rekan yang masih di Bayern Muenchen.
Kisah Reus terulang 11 tahun berselang. Bedanya, pengalaman pahit kali ini terjadi pada akhir kariernya dan Kroos tampil bersama Madrid. Padahal, sebelum final, dia bermimpi bisa menutup perjalanan dengan trofi Liga Champions. Dia ingin memberikan hadiah trofi besar untuk pertama kali kepada klub.
Baca juga: Ode Real Madrid dan Borussia Dortmund di Wembley
”Tidak ada yang lebih baik daripada memainkan laga terakhir Anda di final Liga Champions dan jadi juara. Memulai dengan final di Wembley pada 2013 dan mengakhiri dalam situasi yang sama pada 2024. Banyak cara yang lebih buruk untuk menyudahi karier,” ujar Reus dalam situs resmi UEFA.
Garis takdir Reus dan Kroos
Kisah akhir Reus dan Kroos yang berbanding terbalik di Wembley tidak jatuh tiba-tiba dari langit. Garis takdir itu seperti sudah tertulis di langit. Kedua pemain itu melewati karier masing-masing dengan pilihan dan perjalanan yang kontras di antara satu sama lain. Wembley hanya menjadi muara perjalanan tersebut.
Reus tumbuh besar sebagai pendukung Dortmund. Dia bahkan mengadu mimpi di akademi klub Dortmund, sebelum akhirnya dicoret pada usia 17 tahun. Sempat diragukan karena masalah fisik, dia mampu bersinar di Borussia Moenchengladbach. Dia sempat digadang-gadang sebagai talenta terbaik di tanah Jerman.
Pemain kelahiran kota Dortmund itu tidak menyimpan dendam kepada klub favoritnya. Saat direkrut kembali pada 2012, dia menyambut dengan tangan terbuka. Reus, di bawah asuhan Manajer Juergen Klopp, langsung mengantar Dortmund ke Wembley untuk tampil dalam final Liga Champions.
Baca juga: Seni Menyerang Real Madrid
Wembley menjadi penanda era baru Dortmund bersama Reus ketika itu. Namun, seusai laga terakhirnya, pria berambut pirang itu tidak pernah akrab dengan trofi dan kesuksesan. Dia dijuluki sebagai pesepak bola paling tidak beruntung. Reus belum pernah mengangkat trofi liga domestik ataupun kompetisi Eropa.
Apakah Reus membawa kutukan? Tidak. Dia berada di posisi itu karena kesetiaan. Saat banyak pemain menggadai loyalitas demi trofi, dia tidak. Reus bertahan di Dortmund walaupun sempat dilirik klub-klub besar, seperti Madrid dan Liverpool. ”Saya selalu memilih klub ini. Kenapa? Karena tempat saya di sini,” ujarnya.
Reus bertahan di tengah masa sulit Dortmund. Dia setia bersama klub saat Klopp dan para pemain bintang, seperti Mats Hummels dan Robert Lewandowski, hengkang. Baginya, bermain di Dortmund adalah mimpi terbesar sejak kecil. Dia tidak membutuhkan hal lain karena sudah berada di mimpi tersebut.
”Bermain untuk sebuah klub selama 12 tahun, itu pasti memiliki arti. Anda tidak bertahan hanya karena nama atau uang. Anda perlu merasa nyaman, memiliki lingkungan yang baik, dan memiliki rekan satu tim yang baik. Termasuk karena pendukung,” kata mantan pemain tim nasional Jerman itu.
Baca juga: Lebih dari tentang ”DNA” Real Madrid
Di sisi lain, Kross melewati jalan berbeda. Sang gelandang pensiun dengan segudang trofi. Dia seperti ditakdirkan untuk berprestasi. Lihat saja perjalanan kariernya. Seusai menjadi pemain terbaik di Piala Eropa U-17 2006, dia langsung direkrut klub tersukses se-antero Jerman, yaitu Bayern Muenchen.
Kroos melangkah ke tim utama sejak usia 17 tahun. Selain tiga kali menjuarai Liga Jerman, pencapaian terbesarnya di Bayern adalah meraih trofi Liga Champions 2012-2013. Semusim setelah itu, dia hengkang karena merasa kurang dihargai oleh pihak klub. Kroos menilai, ia pantas mendapat penghargaan lebih dari kerja kerasnya.
Pilihan Kroos selanjutnya sangat menarik. Dia berlabuh ke tim yang memiliki tradisi juara sangat kuat, yaitu Madrid. Kombinasi mentalitas pemenang dari pemain dan klub tersebut menjadi resep kesuksesan ”El Real” dalam satu dekade terakhir. Dia selalu diandalkan setiap pelatih Madrid, dari Carlo Ancelotti hingga Zinedine Zidane.
Sebelum kehadiran sang gelandang, Madrid hanya sekali menjuarai Liga Champions dalam rentang 12 musim. Namun, bersamanya, El Real memenangi 5 gelar dalam 9 musim. Dia ada dalam berbagai era kesuksesan Madrid, dari Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, hingga saat ini, Jude Bellingham.
Baca juga: Toni Kroos Menuliskan Keabadian di Real Madrid
Wajar jika perpisahan Kroos disambut meriah oleh pihak klub dan para penggemar. Dia sampai dibuatkan pesta perpisahan khusus di kandang Madrid, Stadion Santiago Bernabeu. Bahkan, ikon klub, seperti Iker Casillas, saja tidak mendapatkan sambutan seperti itu. ”Bagi kami, dia adalah salah satu yang terhebat,” puji Ancelotti.
Lalu, kisah siapa yang lebih baik antara Kroos dan Reus? Jawabannya tidak ada. Reus, sebagai pendukung Dortmund sejak kecil, selalu hidup dengan slogan klub ”Echte Liebe” atau cinta sejati. Dia mengamini prinsip tersebut dan sudah mencapai titik terbaik yang bisa dicapai di Dortmund. Loyalitas lebih tinggi daripada prestasi.
Berbeda dengan Kroos yang menjalani karier di klub-klub yang dibangun dari sejarah kesuksesan masa lalu. Dia selalu hidup dengan prinsip romawi ”veni, vidi, vici”. Dia datang, melihat, lalu menang. Pada akhirnya, kedua pemain itu seperti dua sisi rel. Mereka terpisah, tetapi sama-sama menuju ke arah yang sama. Garis finis itu adalah status legenda klub. (AP/REUTERS)