Perang Batin Ibunda di Balik Kesuksesan Karisma Evi
Ada perang batin ibunda di balik kesuksesan Karisma Evi dalam dunia para atletik. Dukungan keluarga tak pernah terputus.
Saat ini, Karisma Evi Tiarani boleh jadi adalah salah satu sprinter andalan Komite Paralimpik Nasional (NPC) Indonesia. Berbagai gelar juara ia rengkuh disertai pemecahan rekor waktu. Segala kesuksesannya tak lepas dari dukungan penuh ibunda yang sempat mengalami perang batin terkait karier atletik putrinya tersebut.
Prestasi paling anyar Evi tercipta dalam Kejuaraan Dunia Para Atletik (World Para Athletics Championships) di Kobe, Jepang, Selasa (21/5/2024). Berstatus sebagai pelari dengan klasifikasi T42, ia mampu finis tercepat setelah melawan para pelari dengan klasifikasi T63.
Catatan waktu Evi pun apik, yakni 14,65 detik. Capaian itu memecahkan rekor kejuaraan dunia nomor 100 meter putri klasifikasi T42, yakni 14,72 detik, yang tercipta di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2019 lalu. Menariknya, ia adalah pemegang rekor tercepat dari nomor itu pula.
Baca juga: Kembali Jadi Juara Dunia, Evi Buka Peluang Tambah Kuota Atlet Indonesia di Paralimpiade 2024
Momen itu disaksikan oleh sang ibunda, Istikomah (55), dari rumahnya, di Dusun Krambilsawit, Desa Talakbroto, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Setiap kali putri bungsunya berlomba, sebisa mungkin ia meluangkan waktu untuk menonton. Entah melalui saluran televisi atau siaran langsung dari internet.
”Syukur alhamdulillah. Bersyukur utamanya sama Allah, (Evi) bisa menang lagi,” kata Istikomah, menanggapi hasil lomba Karisma Evi, saat ditemui di tempat tinggalnya, Rabu (22/5/2024).
Menurut Istikomah, kesuksesan putri bungsunya itu tidak datang begitu saja. Kerja keras panjang sudah ditempuh sebelum sederet prestasi tergapai. Bahkan, menurut dia, pijakan mula sang anak untuk menjadi atlet dimulai sejak remaja.
Istikomah menceritakan, perkenalan Evi dengan dunia atletik berawal dari ajakan seorang atlet difabel kenalan adik iparnya untuk mengikuti audisi atlet paralimpiade pelajar tingkat provinsi di Semarang, Jawa Tengah, pada 2014 silam. Selama persiapan, Evi berlatih di lapangan desa setempat.
”Tetapi, waktu itu, malah bukan latihan lari. Dia justru dimasukkan ke tolak peluru. Padahal, badan dan tangannya kecil-kecil begitu. He-he-he,” kenang Istikomah.
Evi dinyatakan lolos audisi untuk menjadi atlet dari Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar Jawa Tengah. Namun, tim pelatih menyarankan agar ia berpindah cabang olahraga ke lari. Potensi Evi dinilai lebih besar pada cabang olahraga tersebut.
Kala itu, perasaan Istikomah campur aduk. Di satu sisi, ia gembira anaknya memiliki bakat terpendam. Di sisi lain, ia resah mesti berpisah dengan putri bungsunya itu karena atlet pelajar diwajibkan tinggal di asrama. Lebih-lebih anaknya itu baru berumur 13 tahun.
”Dia (Evi) masih kecil sekali, kan. Saya berat juga melepas dia. Rasanya seperti ada perang batin. Anak yang ke mana-mana enggak pernah sendirian. Lalu, tiba-tiba harus berpisah begini. Mana tidur sendirian juga, kan, di mes (asrama) itu,” kata Istikomah.
Walau agak berat hati, Istikomah akhirnya merelakan Evi tinggal di asrama atlet. Kerelaannya itu didorong tekad kuat putrinya yang ingin mengasah bakat. Sebagai orangtua, ia hanya bisa merestui. Apalagi, keinginan anaknya itu termasuk kegiatan positif.
Di tengah kegundahannya, Istikomah bisa sedikit bersyukur karena asrama atlet itu berlokasi di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Waktu tempuh Boyolali-Surakarta hanya 40-50 menit dari tempat asal mereka. Untuk mengobati rindu, hampir setiap akhir pekan ia datang menjenguk Evi naik bus.
”Saking seringnya menjenguk, saya sempat diomelinpelatih. Katanya, kalau terlalu sering dijenguk, nanti anaknya jadi tidak betah di asrama. Tetapi, ternyata dia malah tinggal di asrama atlet sampai sekarang. Hanya statusnya sudah jadi atlet NPC Indonesia,” tutur Istikomah.
Keikhlasan Istikomah melepas Evi ternyata berbuah manis. Insting tim pelatih yang meminta Evi berganti cabang olahraga cukup jitu. Pasalnya, Evi langsung meraih medali emas dalam debutnya pada nomor lari 100 meter di Pekan Paralimpiade Pelajar Nasional 2014.
Performa apik kembali ditunjukkan Evi sewaktu mengikuti ajang tingkat senior pertamanya, yakni Pekan Paralimpiade Nasional 2016 di Jawa Barat. Tiga medali emas digondolnya pada pergelaran itu, yakni 100 meter T44, 200 meter T44, dan lompat jauh T44.
Tak puas dengan prestasi tingkat domestik, Evi memburu medali dalam perlombaan tingkat internasional. Kiprahnya dimulai pada 2017 dengan terjun ke ASEAN Paragames. Lagi-lagi ia merebut tiga medali, yakni satu medali emas lompat jauh T44, satu medali perak 100 meter T44, dan medali perak 200 meter T44.
Di kancah Asia, Evi mulai unjuk gigi pada Asian Paragames 2018 di Jakarta. Ia berhasil kembali membawa pulang tiga medali, antara lain, 1 medali emas dari nomor 100 meter T42/T63 dan satu medali perak dari lompat jauh T42-44/T61-64.
Evi juga menampilkan kebolehannya di panggung dunia sekelas Paralimpiade Tokyo pada 2021 lalu. Sayangnya, ia belum berhasil naik ke podium. Meski demikian, ia tetap menjadi yang tercepat di kelasnya, yakni T42. Padahal, ia berlomba dengan atlet dari klasifikasi T63, yang kerap dianggap terbantu teknologi kaki palsu berbahan serat karbon.
Masa depan cemerlang
Komarudin, mantan pelatih Evi, menyatakan, mantan anak didiknya itu mempunyai prospek cemerlang. Namun, menurut dia, faktor paling menentukan terasahnya bakat Evi adalah ketekunannya sewaktu berlatih. Bahkan, kerap kali Evi menjadi sosok yang bangun paling pagi membangunkan teman-teman satu asramanya untuk latihan harian.
”Dia dikasih program latihan itu dibabat semua. Entah itu berat atau ringan. Itu dilakukan dengan senang. Tekun dan disiplinnya memang tinggi,” kata Komarudin, yang melatih Evi sejak 2014 hingga 2020 lalu.
Karisma Evi Tiarani (berbaju kuning), pemegang rekor Asia serta rekor Paralimpiade 100 meter klasifikasi T42, berlatih bersama tim attletik paralimpiade Indonesia di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (27/7/2022).
Dia dikasih program latihan itu dibabat semua. Entah itu berat atau ringan. Itu dilakukan dengan senang. Tekun dan disiplinnya memang tinggi.
Komarudin bangga performa Evi terus menanjak dari tahun ke tahun. Ia berharap agar mantan anak didiknya itu tidak pernah mengendurkan semangat. Hendaknya berbagai capaian yang telah direngkuh tidak membuat Evi besar kepala dan berpuas diri seketika.
”Ikuti semua kata pelatih. Tetap semangat dalam latihan. Dan, yang terakhir, pakailah ilmu padi,” ujar Komarudin.
Gilang Yahya (26), kakak sulung Evi, mengungkapkan, kepribadian sang adik tidak pernah berubah sedari kanak-kanak hingga berstatus sebagai atlet nasional. Ia tetap mengenal Evi sebagai adik bungsu manja yang masih tidur sekamar dengan ibunya setiap pulang ke rumah.
Menurut Yahya, adiknya itu juga tetap rendah hati meski bergelimang prestasi. Ia mencontohkan, sejumlah warga desa ternyata masih belum mengetahui tentang segudang capaian Evi dalam kancah para-atletik. Namun, hal itu tak menjadi masalah bagi Evi.
”Di rumah dia masih anak yang sama. Tetap kayak dulu. Biasa saja sama teman-temannya main dulu. Malah dia lebih apa adanya. Tidak aneh-aneh dan tidak mau kelihatan mencolok,” tutur Yahya.
Baca juga: Karisma Evi Tumpuan Terakhir Emas Atletik
Kini, Evi tengah menatap pesta olahraga difabel terbesar di dunia, yaitu Paralimpiade 2024 di Paris. Itu akan menjadi ajang keduanya untuk berlaga pada panggung paling bergengsi di antara seluruh atlet difabel dari seluruh penjuru bumi. Hanya atlet dengan level tertinggi yang masuk kualifikasi lomba.
Evi sadar, keluarganya berperan besar membawanya ke levelnya sekarang. Titik mulanya ialah kerelaan sang ibunda melepasnya ke asrama. Hingga saat ini, menurut dia, dukungan keluarga juga seakan tidak pernah terputus atas kariernya sebagai atlet.
”Keluarga selalu memberikan dukungan meskipun sejak pelajar harus tinggal di asrama. Orangtua tetap selalu berkunjung dan memberi dukungan, begitu pun sekarang,” ujar Evi.