Membangun Sepak Bola Putri seperti Seni ”Kintsugi”
Korea Utara menutup kisah Indonesia di Piala Asia Putri U-17. Saatnya membangun sepak bola putri dari puing kekecewaan.
GIANYAR, KOMPAS — Berakhir sudah perjalanan Indonesia di Piala Asia Putri U-17 2024. Tim putri Indonesia U-17 pulang dengan kepingan kesedihan dan kekecewaan akibat tiga kekalahan dangan skor telak. Tak ada yang salah dengan kegagalan, justru itulah yang menjadi bahan dasar untuk membangun sepak bola putri Tanah Air, seperti seni kintsugi dari Jepang.
Pertandingan melawan Korea Utara di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Minggu (12/5/2024), menutup kiprah Indonesia di Piala Asia Putri U-17. Indonesia menelan kekalahan ketiga dalam laga fase penyisihan Grup A dengan skor 0-9.
Seperti pada keikutsertaan perdana di Piala Asia Putri U-17 pada 2005, Indonesia pulang sebagai juru kunci Grup A dengan nol poin. Lebih dari lima gol bersarang di gawang Indonesia pada setiap pertandingan. Bedanya, pada edisi kali ini, ”Garuda Pertiwi” juga mencatatkan gol semata wayang lewat aksi Claudia Scheunemann.
Baca juga: Saatnya Tim Putri Indonesia Berguru pada Tim Terbaik Dunia
”Memang kami kalah, tetapi anak-anak berusaha sampai akhir. Saya kecewa, tetapi juga bangga. Di Piala Asia ini terlihat dan terasa sekali perbedaan level permainan Indonesia dengan negara lain,” ujar Pelatih Indonesia Satoru Mochizuki.
Indonesia pulang membawa serpihan-serpihan kesedihan dan kekecewaan dari rentetan kekalahan dengan skor telak itu. Kesedihan tidak terlalu kentara pada akhir laga melawan Korea Utara. Tidak ada tangis seperti dua pertandingan sebelumnya. Para pemain menyadari pengalaman menyakitkan di Piala Asia Putri U-17 ini berguna. Serpihan-serpihan itu justru dapat menjadi ”bahan” membangun sepak bola putri Tanah Air.
Jepang, negara asal pelatih tim putri Indonesia, memiliki budaya kesenian bernama kintsugi. Ini merupakan seni menyatukan kembali tembikar, seperti piring, mangkuk, dan vas, yang retak, rusak, atau pecah dengan emas. Benda-benda itu lantas bertransformasi menjadi sesuatu yang baru.
Memang kami kalah, tetapi anak-anak berusaha sampai akhir. Saya kecewa, tetapi juga bangga. Di Piala Asia ini terlihat dan terasa sekali perbedaan level permainan Indonesia dengan negara lain.
Filosofi dari seni ini dapat berguna bagi Indonesia selepas penampilan di Piala Asia Putri U-17. Indonesia dapat memungut kepingan-kepingan kekalahan mereka, menyatukannya, lalu membentuknya menjadi semangat anyar.
Baca juga: Kala Kasih Orangtua Sampai Pulau Dewata
Mochizuki berkali-kali mengatakan kepada anak-anak asuhannya bahwa kekalahan di Piala Asia Putri bukan akhir segalanya. Dengan usia yang masih mudca, para pemain masih memiliki kesempatan untuk terus mengembangkan diri. Tahun ini para pemain Indonesia kalah dari Korea Utara, Korea Selatan, dan Filipina. Beberapa tahun mendatang, Mochizuki optimistis, Indonesia bisa bersaing dengan tim-tim ini di ajang dunia.
Di sisi lain, ketidaksempurnaan sebenarnya ada di tim Indonesia sejak awal. Semua persiapan untuk Piala Asia Putri U-17 nyaris tidak ideal. Pelatih baru ditunjuk tiga bulan sebelum turnamen. Skuad pun baru terbentuk sebulan menjelang turnamen. Masalahnya, mereka kurang jam terbang karena jarang mengikuti turnamen atau kompetisi di dalam negeri.
Mochizuki mengamini filosofi wabi-sabi, yang terkait erat dengan seni kinstugi. Alih-alih memberontak, wabi-sabi mengajarkan untuk menerima ketidaksempurnaan, bahwa tidak semua hal melulu ideal dan indah. Mochizuki menerima kondisi tidak ideal itu dengan membangun dari apa yang ia punya saat ini.
”Pemahaman dari Jepang yang saya bawa ke sini adalah soal permainan sepak bola difokuskan pada keterampilan mendasar, seperti umpan, kontrol bola, dan menembak bola. Seharusnya memang teknik dasar ini diajarkan sejak dini sehingga saat remaja sudah bisa lebih memahami dan kemampuannya meningkat. Namun, tidak masalah, kita akan memulainya pada tim U-17 ini,” tutur Mochizuki.
Baca juga: Kekalahan di Piala Asia Putri U-17, Awal dari Segalanya bagi Indonesia
Seperti kintsugi, Indonesia butuh emas untuk merekatkan pecahan-pecahan kekecewaan itu menjadi sesuatu yang baru. Mochizuki, dengan pengalamannya menjadi tim pelatih saat Jepang menjuarai Piala Dunia Putri 2011, mungkin bukan emas itu. Ia adalah ”seniman” yang akan menyusun keping-keping kekecewaan itu menjadi tim putri yang jauh lebih ”indah”.
Lantas perekat berupa emas ialah dukungan penuh dari banyak pihak, termasuk federasi. Dukungan itu bisa berupa kompetisi yang digelar konsisten agar para pemain tidak minim jam terbang. Dengan itu, talenta-talenta sepak bola Indonesia pun bermunculan. Ini akan menjadi bagian dari persiapan panjang dan serius untuk keikutsertaan Indonesia pada ajang berikutnya.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengatakan, keikutsertaan Indonesia di Piala Asia Putri U-17 bukan perkara hasil, melainkan proses membangun sepak bola putri. Turnamen ini menjadi bagian dari program yang dilakukan PSSI untuk tim putri dalam jangka menengah dan panjang.
Ketika ditanya soal urgensi kompetisi dalam negeri setelah Piala Asia Putri, Erick tetap teguh dengan keputusannya untuk fokus lebih dulu pada tim nasional. Erick akan menerapkan strategi yang sama seperti sektor putra, yaitu membangun tim nasional dulu, baru setelah itu perbaikan kompetisi dalam negeri.
”Saya perlu membangun tim nasionalnya dulu. Kalau orang-orang dibalik dari akar rumput, kalau saya enggak. Tim nasionalnya dulu kita bangun. Dengan melihat bahwa tim nasional kita ada harapan, biasanya akar rumput juga akan terbangun,” tutur Erick.
”Nah, kalau tim nasional sudah konsisten dalam 2-3 tahun, baru kita gelar liga putri tahun 2026. Liganya pun tidak mungkin seperti liga putra yang ada promosi degradasi. Saya kebayangnya seperti di Amerika atau di Australia. Liga ini ada 6 klub dan bersifat tertutup,” ujarnya.
Erick menambahkan, setelah Piala Asia Putri U-17, akan digelar training camp jangka panjang. Namun, sebelum itu, tim akan dibubarkan lebih dahulu. Fokus pun beralih ke timnas senior yang akan disiapkan untuk laga resmi FIFA melawan Singapura.
Dominasi Korut
Melawan Korea Utara, seperti yang disampaikan Mochizuki, perbedaan kelas dengan Indonesia tampak nyata. Korea Utara dominan sepanjang laga. Tim asuhan Pelatih Song Sung Gwon ini menyuguhkan perpaduan kemampuan teknis di atas rata-rata dengan umpan-umpan akurat dan visi yang jelas.
Juara tiga kali Piala Asia Putri U-17 ini bahkan bisa membobol gawang Indonesia saat laga baru berjalan 57 detik melalui aksi Choe Il Son. Sembilan menit berselang, Choe Il Son mencatatkan gol kedua.
Baca juga: Bali Berharap Berkah Tuan Rumah Piala Asia Putri U-17
Choe tak berhenti. Dalam waktu yang berdekatan, Choe menambah dua gol lainnya pada menit ke-38 dan 40. Choe juga mencetak gol satu-satunya Korea Utara pada babak kedua. Choe merupakan salah satu pemain andalan Korea Utara. Dia baru-baru ini membantu tim putri Korea U-20 menjuarai Piala Asia Putri U-20 di Uzbekistan, Maret 2024.
Selain Choe, dua pemain Korea Utara lain turut mencetak gol. Mereka adalah Kang Ryu-mi (11', 45+3') dan Ro Un-hyang (14', 44').
Dominasi Korea Utara juga tampak bahkan dalam 20 menit pertama. Korea Utara sudah melepaskan 17 tembakan dengan 7 di antaranya mengarah ke gawang. Adapun Indonesia tak sekali pun mencatatkan tembakan, bahkan hingga akhir laga. Selama pertandingan, akurasi umpan tim berjuluk ”Eastern Azaleas” ini mencapai 91,1 persen, sedangkan Indonesia hanya 46,5 persen.
Dengan hasil ini, Korea Utara mengakhiri fase grup dengan catatan sempurna sembilan poin. Mereka menyapu bersih tiga pertandingan dengan kemenangan. Adapun Indonesia pulang dengan segudang pekerjaan rumah yang harus digarap demi pengembangan sepak bola putri Tanah Air.