Kekalahan di Piala Asia Putri U-17, Awal dari Segalanya bagi Indonesia
Kekalahan demi kekalahan Indonesia adalah pengalaman yang perlu diolah dengan baik. Ini awal dari segalanya.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
GIANYAR, KOMPAS — Pada turnamen kelompok usia seperti Piala Asia Putri U-17 2024, kekalahan bukan akhir, melainkan awal dari segalanya. Kiprah tim peserta seperti Indonesia bukan tentang menang dan kalah, melainkan soal bagaimana para pemain menunjukkan resiliensi ketika menelan hasil buruk ataupun saat realitas tak sesuai ekspektasi. Dukungan banyak pihak memegang peranan penting.
Kebangkitan moral diperlihatkan Indonesia saat menghadapi Korea Selatan pada laga penyisihan Grup A Piala Asia Putri U-17 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Kamis (9/5/2024). Kekalahan pada laga perdana kontra Filipina tidak membuat Indonesia terpuruk. Tim putri terbaik Indonesia pada usianya ini justru bermain lebih solid dan spartan menghadapi Korea Selatan kendati akhirnya kalah 0-12.
Hal serupa ditunjukkan Korea Selatan. Seperti Indonesia, Korea Selatan juga adalah tim yang ”terluka”. Pada laga sebelumnya Korea Selatan takluk dengan tujuh gol tanpa balas dari Korea Utara. Namun, tim berjuluk ”Taegeuk Girls” ini berhasil bangkit.
Soal mental, Indonesia paling tidak bisa bersaing dengan Korea Selatan. Pekerjaan rumah skuad belia ”Garuda Pertiwi” ialah perkara teknik dan fisik, yang begitu kentara perbedaannya, terutama pada babak kedua. Dalam hal ini Indonesia harus mengakui keunggulan lawan.
”Tadi di ruang ganti para pemain menangis. Itu menunjukkan mereka memiliki rasa kecewa dan keinginan untuk menang, saya rasa itu baik. Namun, tentu mereka tidak bisa berlarut-larut dan meratapi kekalahan tersebut,” tutur Pelatih Indonesia Satoru Mochizuki.
”Jadi, kalah itu bukan berarti selesai. Kalau menyerah, itu baru selesai. Dalam tim, kalah-menang itu biasa. Namun, harus tetap ada keinginan dan tekad untuk tampil lebih baik pada pertandingan selanjutnya,” ujarnya.
Jadi, kalah itu bukan berarti selesai. Kalau menyerah, itu baru selesai. Dalam tim, kalah-menang itu biasa.
Keikutsertaan Indonesia di Piala Asia Putri U-17 ini memang bukan soal kalah-menang. Ini perkara bagaimana Indonesia bisa menerima hasil pertandingan sebagai bagian dari pembelajaran dan momentum untuk menguatkan mental.
Atlet, termasuk pesepak bola, tidak cukup hanya memiliki kemampuan fisik dan teknik untuk menorehkan prestasi dan meraih mimpi. Pesepak bola juga perlu memiliki resiliensi atau kemampuan beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Dengan bekal itu, mereka tak hanya akan menggapai juara di lapangan, tetapi juga di kehidupan.
Kekalahan demi kekalahan merupakan hasil yang harus diterima para pemain belia. Resiliensi mereka diuji dalam turnamen ini. Apalagi, pada laga terakhir, mereka akan melawan Korea Utara, tim terbaik dunia untuk kategori U-17. Jika tak bisa bangkit, sulit bagi Indonesia mengatasi perlawanan Korea Utara.
Selepas pertandingan, para pemain tak bisa menutupi kesedihan mereka. Dalam hal ini, para pemain butuh dukungan moral, baik dari pelatih maupun orangtua. Tim pelatih langsung menyalami dan menenangkan anak-anak asuhannya. Pelatih juga secara bersama-sama mengajak para pemain ke pinggir lapangan untuk berterima kasih kepada penonton dan suporter yang datang.
Sebelum keluar lapangan, beberapa pemain meminta bertemu orangtuanya yang hadir menonton. Gelandang Indonesia, Adelia Ramadany, misalnya, langsung memeluk ibu dan neneknya secara bergantian sambil menangis. Keluarga Adelia pun berusaha menenangkannya.
”Saya tadi bilang ke Adel, kekalahan ini bukan akhir, justru ini awal segalanya. Adel harus merasakan kekalahan ini untuk bisa belajar dan menjadi pemain yang lebih kuat,” ujar Ida Cholida, ibunda Adel yang datang ke Bali dari Surabaya, Jawa Timur, untuk mendukung anaknya.
Tim tangguh
Terlepas dari itu, laga kontra Korea Selatan juga menjadi momentum Indonesia bermain dan belajar dari tim tangguh. Kendati tak diperkuat Casey Phair, pemain termuda yang tampil di Piala Dunia Putri 2023, Korea Selatan tak menunjukkan kesulitan dan tetap membuktikan mereka tetap layak menjadi penantang gelar. Korea Selatan bertekad meraih gelar kedua setelah Piala Asia Putri edisi 2009.
Tidak seperti Filipina yang bermain agresif dengan menekan sepanjang laga, Korea Selatan bermain lebih taktis dan sabar. Taegeuk Girls mengandalkan keunggulan dalam bola-bola atas, terbukti dengan beberapa peluang dan gol berasal dari duel udara. Mereka mencatatkan keberhasilan duel udara sebanyak 100 persen alias memenangi seluruhnya.
Di sisi lain, Indonesia juga sebenarnya tampil lebih spartan daripada laga kontra Filipina. Terutama pada babak pertama, Indonesia menunjukkan permainan yang diinginkan pelatih, yaitu umpan-umpan pendek yang akurat dan transisi cepat dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya. Beberapa pemain juga lebih berani dan percaya diri mengeluarkan kemampuan individu. Korea Selatan pun sempat kesulitan menembus pertahanan Indonesia hingga akhirnya mencetak gol pada menit ke-13 melalui Kim Hyo-won.
Namun, menjelang akhir babak pertama dan babak kedua, Indonesia mulai kehilangan fokus. Umpan-umpan pun kerap tidak akurat, sedangkan Korea Selatan kian menjadi-jadi dengan mencetak tujuh gol. Won Ju-eun, pemain tersubur saat kualifikasi dengan delapan gol, berhasil membobol gawang Indonesia sebanyak empat kali (pada menit 45+1, 50’, 61’, dan 86’). Lima gol sisanya dilesakkan Han Guk-hee (34’), Beom Ye-ju (39’), Park Ji-yu (41’), Kim Yee-un (59’), Baek Ji-eun (80’, 82’), dan Seo Min-jeong (90+2’).
Dengan hasil tersebut, Indonesia belum berhasil membalas kekalahan pada pertemuan pertama dengan Korea Selatan saat Piala Asia Putri U-17 2005. Dalam Piala Asia edisi perdana itu, Indonesia kalah 0-15.
”Kalau kalah telak gini, jelas butuh motivasi sih dari teman setim, dari pelatih, dari keluarga. Aku sendiri mencoba berusaha untuk cepat-cepat melupakan hasil tadi dan bangkit lagi lawan Korea Utara (Minggu, 12 Mei 2024),” tutur bek Indonesia, Indira Jenna.