Buruknya efektivitas serangan kembali menghukum Liverpool. ”Si Merah” patut melupakan trofi Liga Inggris.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
LIVERPOOL, MINGGU — Tak pernah dibayangkan oleh skuad Liverpool sebelumnya bahwa di dua pekan awal April ini nasib mereka berbalik drastis di Liga Inggris. Dari kandidat terkuat juara Inggris, kemudian kans kampiun itu mulai memudar usai tumbang 0-1 dari Crystal Palace, Minggu (14/4/2024), di Stadion Anfield.
Setelah menelan kekalahan Liga Inggris pertama di Anfield pada musim ini sekaligus sejak Oktober 2022, Liverpool memang masih bertahan di peringkat ketiga dengan koleksi 71 poin. Selisih poin mereka dengan Manchester City, sang juara bertahan, pun masih dua poin.
Namun, semua pemain Liverpool serta mayoritas pendukung mereka di tribune menundukkan kepala setelah mendengar peluit akhir ditiupkan. Mereka sadar peluang juara itu tidak lagi bergantung dari mereka sendiri.
Dua laga beruntun tanpa kemenangan membuat ”Si Merah” juga perlu berharap dua pesaing, City dan Arsenal, terganjal di enam pertandingan tersisa. Harapan itu layaknya hal yang semu, apalagi berkaca dari rentetan hasil City di tiga musim terakhir yang mampu menjaga tren kemenangan di periode krusial kompetisi.
Manajer Liverpool Juergen Klopp mengakui skuadnya tidak dalam penampilan terbaik. Ia menilai, di babak pertama, pemainnya tampil di bawah standar, terutama dalam skema counterpress yang selama ini menjadi identitas permainan Liverpool di era Klopp.
”Apakah pemain masih terdampak (kalah dari Atalanta)? Ya. Terkadang begitu reaksi manusia. Tidak bagus, tetapi itu bisa terjadi. Mereka tidak memiliki keyakinan (untuk bangkit),” kata Klopp seusai laga kepada Sky Sports.
Kegagalan mengalahkan Palace menunjukkan pula kebuntuan Liverpool untuk menaklukkan pertahanan lawan. Mereka mengkreasikan 21 tembakan, yang enam di antaranya, tepat sasaran, tetapi tidak ada satu pun yang bisa menaklukkan kiper Palace, Dean Henderson.
Padahal, dari enam tembakan yang mengarah ke gawang Palace itu, Liverpool mengoleksi 2,5 expected goals (xG). Artinya, Mohamed Salah dan kawan-kawan seharusnya bisa menghasilkan minimal dua gol. Alhasil, itu adalah catatan xG tertinggi Liverpool di musim ini yang tidak berbuah satu pun angka di papan skor.
Manajer Palace Oliver Glasner seperti sudah tahu gelagat Liverpool yang terlalu gemar mubazir peluang. Tim berjuluk ”Si Elang” itu menerapkan garis pertahanan mid-block untuk meredam serangan tim tuan rumah secepat mungkin, lalu melancarkan serangan balik pada 20 menit awal gim.
Taktik itu sudah berbuah manis pada kesempatan pertama Palace masuk ke kotak penalti Liverpool di menit ke-14. Penyerang sayap Eberechi Eze menyepak bola umpan silang dari bek sayap kiri, Tyrick Mitchell. Berdiri di antara dua bek tengah Liverpool, Ibrahima Konate dan Virgil van Dijk, Eze sukses memanfaatkan peluang itu menjadi gol.
Setelah gol tim tamu, suporter disuguhkan parade menyia-nyiakan peluang dari kedua tim, terutama Liverpool. Nasib buruk Liverpool sudah terlihat ketika di menit ke-27, sepakan gelandang Wataru Endo dalam situasi kemelut sepak pojok membentur mistar gawang Palace. Lalu, giliran tendangan kung-fu Luiz Diaz mampu ditepis Henderson dua menit berselang.
Di babak kedua, tingkah mubazir Liverpool semakin keterlaluan. Setidaknya ada tiga peluang Liverpool yang seharusnya bisa menggetarkan jala gawang Palace. Pertama, tembakan penyerang pengganti, Diogo Jota, bisa diblok bek Palace, Nathaniel Clyne, di depan garis gawang pada menit ke-72.
Selanjutnya, gelandang Curtis Jones tinggal berhadapan satu lawan satu dengan Henderson dalam transisi serangan balik di menit ke-75. Tembakan Jones pun melenceng ke sisi kiri gawang Palace. Terakhir, pada menit 90+1, bek Palace, Mitchell, bisa mengeblok sontekan Salah. Jika tak ada Mitchell, bola itu pasti masuk ke gawang karena Henderson hanya menyaksikan Salah menyontek bola.
Terkait terlalu sering membuang peluang itu, Andy Robertson, bek sayap kiri Liverpool, berkata, ”Ini adalah cerita yang kami alami dalam beberapa gim terakhir. Itu mengapa kami telah dihukum dalam beberapa pertandingan, termasuk di gim (kontra Palace) ini,” ucap Robertson seperti dikutip BBC.
Meski demikian, Robertson menilai tidak hanya pemain depan yang harus berbenah untuk keluar dari periode buruk saat ini. Skuad Liverpool juga harus berbenah untuk membenahi performa bertahan sebagai sebuah tim.
Penantian tujuh tahun
Adapun Palace perlu menanti tujuh tahun untuk kembali mengalahkan Liverpool di Anfield. Penantian mereka sejak April 2017 akhirnya berakhir.
Di sisi lain, Si Elang juga bisa kembali meraup kemenangan pada laga tandang di Liga Inggris musim ini setelah menjalani 10 gim nirmenang di luar kandang. Sebelum di Anfield, mereka bisa membawa hasil positif dari markas Burnley pada November lalu.
Henderson bangga dengan kemenangan penting yang mereka raih di Anfield. Ia menyebut kemenangan itu adalah buah dari keyakinan dan keberhasilan menjalankan taktik yang telah disiapkan sang manajer.
”Kami tahu setiap datang ke sini (Anfield), kami akan sangat sibuk. Kami melakukan banyak blok, itu adalah penyelamatan yang dilakukan teman-teman untuk saya, sehingga saya juga membalas performa mereka dengan beberapa penyelamatan,” ujar Henderson kepada BBC.
Palace juga seharusnya bisa mencetak lebih dari satu gol seiring catatan 1,87 xG. Ada dua peluang diciptakan Palace setelah mencetak skor.
Pada menit ke-17, sepakan penyerang Jean-Philippe Mateta disapu Robertson di garis gawang. Kans Mateta di menit ke-74 juga gagal berbuah gol karena ditepis kiper Liverpool, Alisson Becker.