Legenda Olahraga Mardi Lestari dan Kusuma Wardhani Sakit, Berjuang Saat Usia Senja
Sprinter legendaris Mardi Lestari dan pemanah putri legendaris Kusuma Wardhani mesti berjuang hingga usia senja karena keterbatasan finansial untuk berobat. Pemerintah diharapkan memberi perhatian kepada mantan atlet.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prestasi mentereng yang diukir saat aktif menjadi atlet tidak membuat mereka bisa hidup nyaman tanpa beban saat pensiun. Sprinter legendaris Mardi Lestari dan salah satu pemanah tiga Srikandi yang melegenda, Kusuma Wardhani, mesti berjuang hingga usia senja karena keterbatasan finansial untuk berobat.
Di era 1980-an, Mardi adalah sprinter andalan Indonesia yang namanya dielu-elukan seperti era keemasan Suryo Agung Wibowo di era 2007-2009 ataupun Lalu Muhammad Zohri saat ini. Terang saja, Mardi pernah mengharumkan Indonesia dengan menembus semifinal lari 100 meter Olimpiade Seoul, Korea Selatan 1988, prestasi yang belum pernah terulang lagi hingga sekarang.
Pelari kelahiran Binjai, Sumatera Utara, 19 Januari 1968, itu pun pernah memecahkan rekor nasional sekaligus sempat tercatat sebagai pelari tercepat di Asia saat membukukan waktu 10,20 detik dalam kejuaraan di Jakarta, 20 Oktober 1989. Rekor nasional itu bertahan hingga 20 tahun kemudian sebelum dipecahkan oleh Suryo Agung dengan waktu 10,17 detik ketika meraih emas SEA Games di Vientiane, Laos, 13 Desember 2009.
Namun, jejak kejayaan Mardi tak terlihat saat dirinya berbicara menceritakan riwayat penyakit dan perjuangannya berobat kepada Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dalam sambungan komunikasi video, Senin (21/8/2023). Tubuhnya kurus hingga tulang pipi menonjol dan berbicara cenderung terbata-bata.
Mardi berkisah, dia mengalami penyakit kelenjar getah bening empat tahun lalu. Kemudian, dia mencoba berobat, tetapi kondisinya tak kunjung membaik. Karena bergantung dengan banyak obat, penyakitnya merambat ke gangguan hati, ginjal, hingga infeksi paru-paru.
Setelah setahun mencoba berobat, Mardi akhirnya memutuskan beralih menjalani penanganan alternatif dengan ramuan herbal. Sayangnya, penanganan itu tidak bisa diganti oleh kantornya dahulu, Bank Sumut, sehingga dia mesti merogoh kocek pribadi dalam tiga tahun terakhir. Meski demikian, dirinya tetap memilih penanganan itu karena dirasa membuat tubuhnya membaik.
Saya mau minta dengan pemerintah segan karena dahulu juga saya berjuang untuk negara dengan ikhlas. Namun, kalau memang ada bantuan dari pemerintah, saya sangat bersyukur.
Untuk menutupi kekurangan finansial, Mardi akhirnya terpaksa menjual sejumlah aset dan mengontrakkan rumahnya. Kini, dia hidup menumpang dengan anaknya. ”Saya mau minta dengan pemerintah segan karena dahulu juga saya berjuang untuk negara dengan ikhlas. Namun, kalau memang ada bantuan dari pemerintah, saya sangat bersyukur,” ujar peraih tiga emas 100 meter dan satu emas 200 meter SEA Games sepanjang 1989-1993 tersebut.
Kusuma Wardhani adalah salah satu pencatat sejarah untuk olahraga Indonesia. Bersama Nurfitriyana Saiman dan Lilies Handayani, Kusuma mempersembahkan perak dari panahan beregu putri Olimpiade 1988. Itu merupakan medali perdana kontingen ”Merah Putih” di pesta olahraga sedunia tersebut dan satu-satunya dari panahan hingga saat ini.
Akan tetapi, saat pensiun sebagai atlet, Kusuma yang kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 20 Februari 1964, hidup serba terbatas. Puncaknya, saat pensiun sebagai PNS salah satu instansi di Makassar, dia kesulitan mencukupi biaya berobat penyakit yang dideritanya sejak lama.
Lilies yang berkunjung menjenguk Kusuma di RS Hermina Makassar, Minggu (20/8/2023), mengatakan, Kusuma mengalami penurunan kesehatan drastis pada Selasa (15/8/2023). Berdasarkan cerita anaknya, Kusuma mengalami stroke karena hipertensi atau darah tinggi yang tensinya sempat menyentuh 244 ketika pertama kali dibawa ke RS.
Sewaktu ditemui, lanjut Lilies, Kusuma tidak bisa merespons komunikasi dengan baik. Kusuma hanya diam dengan mata kosong saat diajak berbicara. ”Awalnya, Kusuma makan obat atau suplemen yang bagus sehingga tubuhnya tetap kuat. Namun, saat pensiun, finansialnya terbatas sehingga cuma bisa membeli obat seadanya yang ternyata membuat kondisinya memburuk,” kata Lilies.
Lilis menuturkan, dari diskusi dengan Nurfitriyana yang ikut menjenguk, mereka sempat berencana menjual ataupun melelang medali perak Olimpiade 1988 yang bersejarah. Ide itu muncul karena mereka pun bingung harus membantu seperti apa. ”Itu ide yang berat karena medali itu sangat bersejarah. Namun, kalau memang tidak ada lagi jalan keluar, kami berencana untuk menjual atau melelangnya,” ungkap Lilies dengan suara gemetar karena tak bisa menahan haru.
Berharap perhatian
Dengan adanya respons dari KOI, Lilies berharap pemerintah ataupun pemangku kebijakan olahraga Indonesia bisa memperhatikan nasib para mantan atlet berprestasi, seperti Mardi ataupun Lilies. Sering kali, saat pensiun, finansial mereka sangat terbatas sehingga kesulitan kalau tiba-tiba mengalami sakit.
”Kalau ada jaminan hari tua, terutama untuk kesehatan, itu akan sangat membantu para atlet ketika pensiun. Itu juga bisa menambah motivasi atlet aktif untuk memberikan semua kemampuan terbaiknya karena tahu sudah ada kepastian ketika mereka pensiun,” tutur Lilies yang berusia 58 tahun tersebut.
Kisah yang dialami Mardi dan Kusuma bukan cerita baru dalam dunia olahraga Indonesia. Itu kisah berulang yang tidak ada ujungnya. Perhatian kepada para mantan atlet muncul tatkala cerita-cerita miris itu mengemuka ke publik atau viral, seperti yang dialami legenda bulu tangkis putri Verawaty Fajrin yang akhirnya wafat karena kanker paru-paru di Jakarta, 21 November 2021.
Ketua KOI Raja Sapta Oktohari menyampaikan, pihaknya prihatin dengan situasi memprihatinkan yang dialami Mardi, Kusuma, dan mantan-mantan atlet lain yang sedang berjuang sembuh dari sakit mereka. Maka itu, KOI berencana untuk mencari solusinya dengan pemerintah dan Asosiasi Olimpian Indonesia (IOA).
KOI akan menginisiasi membuka Dompet Peduli Olimpian, yakni rekening untuk menampung pihak-pihak yang ingin menyumbang guna membantu olimpian yang nasibnya kurang beruntung. Untuk jangka panjang, KOI berencana mengusulkan IOA menyiapkan dana abadi bagi para olimpian.
”Kepada pemerintah, terutama legislatif, mereka perlu menyiapkan aturan yang memudahkan pihak swasta dalam mendukung dunia olahraga, antara lain dengan keringanan pajak. Urusan olahraga ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah ataupun KOI, melainkan butuh melibatkan semua pihak, khususnya swasta,” kata Okto menegaskan.