Di saat ingatan terhadap Tragedi Kanjuruhan mulai meredup, Midun menyalakan lagi lentera penolak lupa. Ia mengayuh sepeda ratusan kilometer untuk mengingatkan janji pemerintah yang belum tuntas dan menuntut keadilan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Di tengah suhu terik Jakarta pada Senin (14/8/2023) siang, Miftahuddin Ramli (52) bersujud lalu bangkit sembari menahan isak tangis. Midun, sapaan akrabnya, berjalan menjauhi pagar pembatas usai petugas keamanan Stadion Utama Gelora Bung Karno tidak bersedia meluluskan permintaannya untuk membawa sepeda ke dalam lapangan. Sambil ditenangkan rekan-rekannya dari kelompok suporter, ia menghela napas panjang dan tertunduk. Midun terpaksa mengubur keinginannya untuk menyuarakan pesan Tragedi Kanjuruhan yang tersemat di sepedanya.
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menjadi lokasi pemberhentian terakhir Midun yang mengayuh sepeda dari Malang ke Jakarta. Perjalanannya dimulai sejak 3 Agustus 2023. Pria asal Kota Batu, Jawa Timur, itu telah menyinggahi belasan kota dalam perjalanan sejauh 800-an kilometer. Dalam perjalanannya, Midun menggunakan sepeda yang telah dimodifikasi dengan menambahkan besi di bagian belakang untuk meletakkan keranda hitam bertuliskan ”135”, angka yang mengacu pada jumlah korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022.
Selain itu, ada juga tulisan di atas sebuah karton yang berisikan kalimat permintaan kepada pemerintah agar mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Pada bagian belakang sepeda tertaut juga tulisan soal penolakan terhadap rencana pemerintah merenovasi Stadion Kanjuruhan. Sepeda kecil itu jadi teman perjalanan Midun dari Malang. Di sepeda itu Midun meletakkan bekal pakaian, ban cadangan, lampu, baterai, kampas rem, dan kunci-kunci untuk keperluan menyervis sepedanya di tengah perjalanan.
Perjalanan ini berjudul ekspedisi lintas stadion. Selain menjalin silaturahmi dengan kelompok suporter di wilayah yang saya lewati (menuju Jakarta), tujuannya (perjalanan ini) untuk melawan lupa atau merawat ingatan bahwa Tragedi Kanjuruhan belum selesai.
”Perjalanan ini berjudul ekspedisi lintas stadion. Selain menjalin silaturahmi dengan kelompok suporter di wilayah yang saya lewati (menuju Jakarta), tujuannya (perjalanan ini) untuk melawan lupa atau merawat ingatan bahwa Tragedi Kanjuruhan belum selesai,” tutur Midun di Jakarta.
Melewati bermacam-macam kota di sepanjang perjalanannya menuju Jakarta, Midun selalu menyempatkan datang ke stadion di sana dan membawa masuk sepedanya ke lapangan. Melalui aksi itu, Midun juga menyampaikan pesan kepada semua pemangku kepentingan agar Tragedi Kanjuruhan tidak terjadi lagi di stadion-stadion seantero Tanah Air.
Midun tercatat sudah pernah membawa masuk sepeda beserta keranda di belakangnya ke Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya; Stadion Joko Samudro, Gresik; Stadion Jati Diri, Semarang; dan Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi. Maka, ia begitu kecewa karena gagal melakukan hal serupa di SUGBK, tujuan akhir perjalanan sekaligus simbol pusat aktivitas olahraga di Indonesia.
Persiapan panjang
Sebelum memulai perjalanan jauh ke Jakarta, Midun setidaknya perlu waktu sekitar tiga bulan untuk mempersiapkan fisik dan stamina. Hal ini tidak sulit dilakukan karena pada dasarnya Midun memang merupakan pribadi yang rutin beraktivitas fisik termasuk olahraga. Setelah permintaan cutinya sebagai aparat sipil negara disetujui, Midun mulai mencari sepeda selama seminggu. Seorang kawan dekat menawarkannya sepeda untuk dinaiki selama perjalanan.
Sepeda itu ternyata tahan banting di segala kondisi apa pun. Meski sempat harus diperbaiki sebanyak tiga kali di Semarang, Pemalang, dan terakhir di Bulungan, Jakarta Selatan. Setelah digunakan mengayuh sejauh ratusan kilometer, kampas rem sepeda Midun kerap habis. Selain itu, rangka sepedanya juga sempat dilas sekali. Tapi secara keseluruhan, kondisi sepeda, terutama ban, nyaris tidak ada kerusakan parah setibanya di SUGBK.
Rute yang ditempuh Midun adalah dari Malang menuju Pasuruan, Sidoarjo, kemudian ke Surabaya. Dari Surabaya, ia menempuh perjalanan melewati wilayah pantai utara Jawa menuju Gresik hingga ke Jawa Tengah. Setiap hari ia mengayuh sepeda hingga pukul 21.00 atau 22.00. Setelah malam dirasa terlampau larut, Midun memutuskan beristirahat.
Midun merasakan uluran tangan yang sangat tulus dari para kelompok suporter di sepanjang perjalanannya. Saat hendak beristirahat di malam hari, selalu ada kelompok suporter yang menawarinya untuk menginap di mes atau stadion. Demikian juga soal makanan, ia hampir tidak pernah kekurangan karena di setiap kota selalu ada saja orang murah hati yang memberinya secara cuma-cuma.
”Di setiap daerah itu selalu sudah ada yang menyambut dan itu dari berbagai elemen suporter, tidak hanya Aremania. Semakin ke barat, semakin bertambah ramai. Semangatnya luar biasa. Dari Karawang sampai Bekasi saya pikir yang membersamai saya hanya beberapa orang, ternyata banyak sekali seperti orang kampanye,” katanya.
Menurut Midun, para kelompok suporter yang membantunya itu saling berbaur tanpa mengenal sekat satu sama lain. Dalam perjalanan menuju Bekasi, Midun menyaksikan kelompok suporter Jakmania dan Viking berbaur untuk mengawalnya di jalan. Pemandangan inilah yang menyadarkannya betapa kelompok suporter di Indonesia itu sesungguhnya punya perasaan untuk saling menjaga layaknya saudara.
”Rivalitas antarsuporter itu harusnya hanya 90 menit di lapangan. Setelah itu kita semua bersaudara, bagian dari Indonesia,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Presidium Nasional Suporter Sepak Bola Indonesia (PNSSI) Richard Ahmad Suprianto melihat apa yang dilakukan Midun seperti pembakar kembali api ingatan yang meredup terhadap Tragedi Kanjuruhan. Para kelompok suporter di sejumlah daerah pun berempati dan mendukung perjuangannya dalam melawan lupa.
”Teman-teman suporter menghilangkan perbedaannya dan mendukung penuntasan kasus ini. Tragedi sudah sayup-sayup, 135 nyawa ini belum jelas bagaimana duduk perkaranya. Saya rasa kekuatan suporter tidak ada yang bisa membendung jika kita semuanya satu kata, satu hati, dan satu bahasa,” tutur Richard.
Perjalanan Midun dari Malang ke Jakarta adalah perjalanan melawan lupa. Rute melelahkan dan berliku yang dilalui Midun adalah yang kini juga dialami para keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dalam menuntut keadilan.