Sepak bola lambat tumbuh di Bali. Dalam sejarahnya, dua tim swasta menghadirkan era keemasan bagi sepak bola ”Pulau Dewata” di kompetisi nasional. Puncaknya adalah kehadiran Bali United yang bahkan menyatukan suporter.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Pulau Bali sejatinya tidak punya sejarah sepak bola yang mengakar sehingga tidak ada klub yang bisa memanfaatkan ketenaran Bali sebagai ikon pariwisata dunia. Lalu, datang Bali United yang mampu menumbuhkan kecintaan warga ”Pulau Dewata” terhadap sepak bola.
Kehadiran Bali United, yaitu pada awal 2015 seusai mengambil alih lisensi Persisam Putra Samarinda, menjadi titik awal kebangkitan sepak bola Bali. Sejak awal, Bali United menempatkan diri sebagai bagian yang parsial dari komunitas sepak bola di pulau wisata terkemuka sejagat itu.
Manajemen Bali United, yang dipimpin Yabes Tanuri selaku Direktur Utama dan Pieter Tanuri yang memegang saham individu mayoritas klub, menempatkan suporter secara setara dengan instrumen lain di klub, seperti pemain dan pelatih. Hal itu ditunjukkan lewat pemaparan visi-misi klub ke sejumlah kelompok suporter Bali pada awal kedatangan mereka.
Pada Desember 2014, kelompok suporter sepak bola di Bali, seperti Serdadu Kota, Brigaz Bali, Laskar Dewata, dan Bulldog, melakukan pertemuan dengan dua sosok utama Bali United bersama pelatih pertama Bali United, Indra Sjafri. Hadir pula sejumlah koordinator lapangan suporter klub-klub yang sudah eksis di Bali, seperti PS Badung, Perseden Denpasar, Persegi Gianyar, Persibu Buleleng, PS Bangli, Perst Tabanan, Persika Karangasem, Persada Jembrana, dan FSK Klungkung.
Kelompok-kelompok suporter itu lalu sepakat bersatu dalam panji Semeton Dewata. Julukan Bali United, yaitu ”Serdadu Tridatu”, pun tercipta. ”Pertemuan itu menjadi momen penting menyatukan suporter sepak bola di Bali yang bertahun-tahun terpisah-pisah berdasarkan wilayah asal. Komitmen besar Tanuri bersaudara untuk Bali United menjadi dasar kelompok suporter sepakat bersatu mendukung klub,” ujar Kambali Zutas, jurnalis yang juga pemerhati sepak bola Bali, Minggu (3/4/2023) lalu, di Denpasar.
Ketua Umum Semeton Bulldog Ketut Budi mengatakan, Bali United menjadi pelepas rindu suporter sepak bola di Bali yang ingin mendukung klub asal Pulau Dewata di kasta tertinggi Liga Indonesia. Atas dasar hal itu, ucapnya, sejumlah kelompok suporter Bali menanggalkan ego dukungan atas klub asal daerah mereka demi mendukung Bali United.
”Kami punya harapan besar terhadap kehadiran Bali United. Harapan itu pun disambut dengan pengelolaan klub yang sangat profesional, sehingga Bali bisa dua kali menjadi juara Indonesia dan tampil di Asia dalam waktu singkat,” kata Budi yang menjadi koordinator pendukung Serdadu Tridatu asal Kabupaten Buleleng.
Ketika sejumlah klub di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, sudah mulai eksis di awal abad ke-20, antusiasme sepak bola di Bali baru tercatat setelah Indonesia merdeka. Bahkan, ketika Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menyelenggarakan musim perdana Liga Perserikatan pada 1951, tidak ada klub Bali yang berpartisipasi.
Melihat situasi itu, PSSI sampai memberikan titah kepada Pelatih Tim Nasional Indonesia Antun ”Tony” Pogacnik untuk menggelar klinik kepelatihan dan mengajarkan sepak bola ke warga di sejumlah wilayah di Bali pada Mei 1955. Berdasarkan laporan koran berbahasa Belanda, Java-bode, edisi Selasa, 3 Mei 1955, Pogacnik melakukan pelatihan terhadap masyarakat Bali di daerah Denpasar, Tabanan, dan Singaraja. PSSI lalu menggelar turnamen segitiga. Hasilnya ialah keikutsertaan Persibal Bali dalam Liga Perserikatan edisi 1957.
Setelah berpartisipasi di akhir 1950-an, jejak Persibal di Liga Perserikatan menghilang. Pada 1973, tim Perseden Denpasar hadir sebagai duta Bali di kompeti nasional. Menurut Kambali, dalam buku Euforia Sepak Bola Bali (2020), penggunaan nama Bali tercatat pertama kali di era Galatama, yaitu oleh Caprina Bali FC pada musim 1983-1984. Musim berikutnya, Bali Yudha FC muncul sebagai perwakilan Bali lainnya. Tetapi, kehadiran kedua klub itu, kata Kambali, belum mampu menghadirkan persatuan bagi pendukung sepak bola Pulau Dewata.
Era emas pertama
Jauh sebelum Bali United hadir, sepak bola Bali sempat merasakan era keemasan perdana bersama klub swasta, Gelora Dewata, yang menjalani debut Galatama musim 1990. Gelora mengharumkan nama Bali ketika menembus final Galatama edisi 1993-1994. Sayang, mereka tumbang 0-1 dari Pelita Jaya pada laga final di Stadion Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah.
Pertemuan itu menjadi momen penting menyatukan suporter sepak bola di Bali yang bertahun-tahun terpisah-pisah berdasarkan wilayah asal. Komitmen besar Tanuri bersaudara untuk Bali United menjadi dasar kelompok suporter sepakat bersatu mendukung klub.
Berkat penampilan itu, Gelora menjadi tim Bali perdana yang tampil di kompetisi antarklub Asia. Mereka sempat tampil di Piala Winners Asia 1994-1995. Meski unggul 3-2 secara agregat melawan Kuala Lumpur FA di babak kedua, Gelora Dewata gagal tampil di perempat final akibat memainkan dua pemain yang belum terdaftar di data Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Gelora lantas mencapai puncak prestasi ketika menjadi juara edisi pamungkas Piala Galatama pada 1994-1995. Selanjutnya, Gelora Dewata menjaga eksistensi di Liga Indonesia hingga musim 1999-2000. Capaian mereka saat itu di antaranya menembus babak delapan besar pada musim 1995-1996 dan 1996-1997. Kisah Gelora berakhir ketika tim itu hijrah ke Sidoarjo, Jawa Timur, di awal milenium baru.
Abad baru meruntuhkan pula geliat sepak bola profesional di pulau wisata itu. Persegi dan Perseden sempat mewakili Bali di kompetisi kasta tertinggi Liga Indonesia. Akan tetapi, larangan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sepak bola membenamkan eksistensi kedua klub.
Kemudian, hadir Bali Devata di era Liga Primer Indonesia pada 2010. Ketiga klub itu hanya menjadi tim semenjana dan gagal bersaing memperebutkan gelar juara, sehingga tidak mampu menarik minat banyak warga Bali untuk hadir di tribune stadion pada pertandingan.
Dahaga masyarakat Bali akan prestasi diakhiri Bali United. Bersama klub itu, para semeton merasakan gelar juara Liga 1 2019 dan 2021-2022. ”Selama masyarakat Bali masih menginginkan Bali United, kami akan tetap di sini,” kata Yabes mengenai wujud komitmennya kepada sepak bola Bali.
Rasa bangga yang telah ada/ Tetap menyala terus bersinar. Itulah harapan semeton lewat penggalan anthem yang selalu mereka kumandangkan pada pengujung laga kandang Bali United.