Mau Dibawa ke Mana Fanatisme Suporter Sepak Bola?
Banyak nyawa telah melayang akibat kericuhan sepak bola. Akibat sikap fanatik, tindakan anarki dilakukan dalam koridor rivalitas. Pertanyaannya, mau dibawa ke mana sikap fanatisme suporter sepak bola ini?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F29%2F468af194-7671-472d-a453-31d2d88f894d_jpg.jpg)
Dukungan penonton saat tuan rumah timnas Indonesia menjamu Thailand dalam pertandingan Grup A Piala AFF 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Pada akhir tahun 2022, terjadi peristiwa yang memalukan sebelum pertandingan Indonesia melawan Thailand dalam Piala AFF 2022. Bus yang ditumpangi skuad Thailand diserang dan dihalangi oleh sekelompok suporter timnas Indonesia. Mereka menggedor-gedor bus dan mengacungkan jari tengah kepada para pemain dan pelatih tim sepak bola ”Gajah Perang” tersebut.
Sikap para suporter itu terus ditunjukan ketika pertandingan berlangsung. Mereka mengintimidasi suporter Thailand yang hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno, kembali menunjukkan jari tengah dan sampai mencopot bendera negara ”Gajah” itu dari tribune. Sorak yel-yel makian dan kata-kata yang merendahkan dilontarkan oleh suporter timnas Indonesia.
Jika menilik kembali ke akhir tahun 2019, kejadian yang patut disesalkan juga terjadi di stadion GBK ketika Indonesia kalah dari Malaysia dalam kualifikasi Piala Dunia 2022. Saat itu, kerusuhan pecah kala sejumlah suporter timnas Indonesia berkumpul di depan pintu VIP. Mereka memukuli kaca sembari mendobrak untuk masuk. Dari sejumlah laporan disebutkan, terjadi penyerangan terhadap suporter Malaysia karena adu mulut.
Baca juga: Bus Thailand Diserang, Suporter Indonesia Tidak Belajar dari Tragedi Kanjuruhan
Akibatnya, FIFA menjatuhkan sanksi denda kepada PSSI sebesar 45.000 franc Swiss atau sekitar Rp 643 juta. Beberapa bulan setelah itu, kelakuan tidak terpuji kembali dilakukan suporter timnas saat Indonesia berlaga di kandang Stadion Bukit Jalil, kandang Malaysia. Mereka dilaporkan tidak menjaga ketertiban, menyalakan kembang api, dan merusak sejumlah fasilitas. Hal ini membuat Indonesia harus membayar denda sebanyak 200.000 franc Swiss atau Rp 2,8 miliar kepada FIFA.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F09%2F24%2Fee464ed4-6faa-4b97-9b38-5572db4df1f1_jpg.jpg)
Keluarga dan warga memanjatkan doa untuk Haringga Sirla (23), suporter sepak bola Persija yang tewas akibat penganiayaan, di tempat pemakaman di Desa Kebulen, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (24/9/2018).
Di pertandingan nasional, kerugian akibat tindakan rusuh suporter tidak hanya menyebabkan kerugian uang, tetapi juga nyawa. Seorang Jakmania bernama Haringga Sirla kehilangan nyawanya akibat dipukul ramai-ramai oleh suporter Persib Bandung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada 2018.
Pada tahun yang sama, nasib yang serupa juga dialami oleh bonek bernama Micko Pratama yang tewas saat masih berumur 16 tahun. Truk yang dinaiki Micko dan sekumpulan bonek lainnya dihadang. Micko pun menjadi korban pemukulan sekelompok orang tidak dikenal saat sedang menuju ke pertandingan Persebaya vs PS Tira di Bantul, Yogyakarta.
Namun, dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada kerugian nyawa dalam sepak bola sebanyak tragedi yang terjadi pada tahun 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. Terhitung 135 suporter tewas dan ratusan lainnya luka-luka pada kerusuhan usai pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya.
Baca juga: Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan
Selain tindakan rusuh suporter yang menyebabkan kericuhan, penggunaan gas air mata, impit-impitan di ruangan pintu keluar, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dari aparat keamanan disebutkan menjadi penyebab dari tragedi yang memilukan ini. Satu hal yang patut dipertanyakan, kenapa dalam olahraga seperti sepak bola dapat terjadi peristiwa yang begitu tragis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F01%2Fd736cd81-38e6-478a-a216-ba6bc8459455_jpg.jpg)
Dua warga datang dan memperhatikan kondisi pintu 13 di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Selasa (1/11/2022). Genap satu bulan pascatragedi berdarah 1 Oktober yang menewaskan 135 orang dan ratusan lainnya cedera itu.
Thomas Horky, Profesor Komunikasi Olahraga di Universitas Macromedia, menjelaskan, layaknya olahraga populer lainnya, sepak bola memiliki suporter yang fanatik. Kata Thomas, rivalitas tinggi di antara para suporter fanatis ini bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Kerap kali, penggemar fanatis ini menyebabkan kerusuhan yang berbuntut musibah atau tragedi.
Kata Thomas, dalam sejarahnya, peristiwa tragedi luar biasa dalam pernah juga terjadi pada tahun 1964 di Lima, Peru. Sekitar 350 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang terluka karena kepanikan massa dalam pertandingan kualifikasi Olimpiade Peru vs Argentina. Semenjak itu, berbagai peristiwa serupa terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Dua hal yang menonjol dari berbagai peristiwa tragedi ini adalah kerusuhan disebabkan oleh suporter sebelum, selama, atau sesuai pertandingan, dan penanganan otoritas keamanan yang malah memperkeruh masalah. Kata Thomas, dua hal itu yang perlu diperbaiki untuk mencegah tragedi kembali terjadi.
Baca juga: Era Baru Pengamanan Pertandingan Sepak Bola
Para pemangku kebijakan perlu mendekati suporter secara intensif. Edukasi harus diutamakan. Juga harus ada edukasi dan pelatihan untuk kepolisian dan keamanan. Harus ditekankan pendekatan yang baik dan benar. Seterusnya, perlu ada cara baru untuk membangun stadion. Konstruksi juga harus mengutamakan keselamatan dan kenyamanan penonton.
”Para pemangku kebijakan perlu mendekati suporter secara intensif. Edukasi harus diutamakan. Juga harus ada edukasi dan pelatihan untuk kepolisian dan keamanan. Harus ditekankan pendekatan yang baik dan benar. Seterusnya, perlu ada cara baru untuk membangun stadion. Konstruksi juga harus mengutamakan keselamatan dan kenyamanan penonton,” tuturnya.

Kuadran model teoretis mengenai suporter sepak bola. Model ini mengidentifikasi ada empat macam suporter sepak bola sesuai dengan karakteristik masing-masing, yakni supporter, follower, fan, dan flaneur.
Identitas penggemar
Namun, sebelum bisa mengatasi masalah itu, para pemangku kebijakan perlu mengenali siapa para suporter dan kenapa mereka bisa sangat fanatik. Sosiolog Richard Giulianotti (2002) mengategorikan para penggemar sepak bola dalam kuadran yang dibagi berdasarkan dua jenis biner yang beroposisi, yakni traditional-consumer dan cool-hot. Dua biner ini merupakan klasifikasi jenis suporter yang didasari pada sifat dan karakteristiknya.
Biner cool-hot, atau dingin-panas, adalah istilah yang digunakan untuk memetakan tendensi para penggemar bola dalam mengasosiasikan diri dengan klub yang digemari. Jika dia dekat dengan klub baik dari sisi tempat tinggal maupun urusan perasaan, serta memiliki solidaritas yang tebal untuk mendukung klub yang digemari, ia dikatakan sebagai penggemar panas. Jika sebaliknya, dia akan disebut sebagai penggemar dingin.
Sementara, biner traditional-consumer adalah pemetaan yang membagi antara penggemar yang memiliki kedekatan kultural dan penggemar yang berbasis pada hubungan konsumerisme. Penggemar yang dekat secara kultural akan terikat dengan identitas budaya yang kuat dan memiliki relasi subkultural. Adapun penggemar dengan dasar konsumerisme memiliki identitas yang lebih berjurang dan tidak memiliki hubungan timbal balik dengan klub.
Baca juga: Subkultur Suporter Sepak Bola
Kategorisasi ini menghasilkan empat identitas penggemar sepak bola yang terbagi dalam masing-masing tempat di kuadran hasil irisan dua biner tersebut. Empat identitas ini, yaitu fan yang berada pada sisi kuadran consumer-hot, flaneur pada consumer-cool, followerpada traditional-cool, dan supporter pada traditional-hot. Identitas penggemar terakhir yang memiliki tendensi fanatisme sepak bola yang tinggi.

Seorang pendukung Belanda yang mengenakan kacamata raksasa terlihat sebelum dimulainya pertandingan sepak bola babak 16 besar Piala Dunia Qatar 2022 antara Belanda dan AS di Khalifa International Stadium di Doha, Sabtu (3/12/2022).
Fanatisme inilah yang jika ditambah dengan rivalitas berapi-api dan tidak dibendungi dengan menahan diri, dapat menimbulkan kelakuan anarkistis yang berlebihan. Mantan Deputi Sekjen Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Fanny Riawan menyebutkan, suporter sepak bola fanatik di Indonesia perlu ditangani dengan pendekatan yang lebih terorganisir.
Menurut Fanny, pemangku kebijakan mesti memahami sifat dari masing-masing suporter untuk dapat membentuk manajemen mitigasi yang tepat. Ia sendiri membagi suporter sepak bola Indonesia dalam tiga jenis, yakni pasif, aktif, dan hiperaktif. Kata dia, suporter hiperaktif adalah mereka yang sering disebut sebagai ultras dan hooligans dalam tiap pertandingan. Merekalah yang kadang menyulut kericuhan.
Edukasi, kata Fanny, menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah ini. Namun, edukasi adalah upaya jangka panjang yang membutuhkan waktu perubahan generasi. Sembari itu dilakukan, pemangku kebijakan perlu menangani suporter garis keras dengan cara-cara tertentu. Beberapa cara seperti strategi mengurai kericuhan, protokol penanganan massa, serta pengaturan keluar masuk stadion mesti diterapkan sesuai dengan karakteristik suporter hiperaktif yang dimiliki tiap klub.
Baca juga: Suporter Harus Terorganisasi dan Berbadan Hukum
"Usaha itu memang sulit karena ada banyak suporter yang memiliki sifatnya masing-masing. Tapi itu adalah tantangan yang harus diatasi oleh PSSI sebagai pemangku kebijakan untuk dapat memastikan keamanan. Masalahnya, sampai sekarang, penanganan suporter saat itu masih dilakukan dengan spontan tanpa ada upaya mitigasi yang baik," ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F19%2F93b0a2fb-800a-4056-a067-63ab92d50290_jpg.jpg)
Reka ulang anggota kepolisian berhadapan dengan suportes saat Tim Bareskrim Mabes Polri dan Polda Jawa Timur merekonstruksi ulang tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, di Lapangan Sepakbola Markas Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/10/2022).
Pengaruh tindakan anarkistis
Seorang penduduk suatu negara akan dipandang dunia sebagai refleksi negara asalnya. Hal ini nyata pula dalam sepak bola, dimana seorang suporter sepak bola adalah dilihat sebagai pantulan dari klub yang dicintai. Seluruh tindakan yang dilakukan oleh suporter, kecil atau besar, akan berdampak pada citra dari klubnya. Bahkan, lebih jauh lagi, akan berpengaruh pada bagaimana olahraga sepak bola dilihat.
Dosen Ilmu Komunikasi Sunan Kalijaga Yogyakarta Rama Kertamukti menjelaskan, kebiasaan ricuh seusai pertandingan merusak persepakbolaan Indonesia secara perlahan. Hal ini diperparah dengan penanganan keamanan yang tidak memberikan kepastian. Kata Rama, Tragedi Kanjuruhan merupakan titik terendah dari hal sepak bola Indonesia.
Imbasnya adalah sepak bola sebagai suatu merek dalam industri olahraga, kehilangan kepercayaan. Hal ini membuat banyak orang memandang menonton sepak bola sebagai kegiatan yang berbahaya. Kemungkinan orang bisa mengurungkan niatnya untuk menonton pertandingan sepak bola. Jika seperti ini, buntutnya adalah kerugian industri sehingga perkembangan sepak bola menjadi stagnan.
"Banyak orang datang dengan cinta mendukung klub mereka, dan harusnya pulang dengan cinta juga, terserah menang atau kalah. Tapi yang terjadi sekarang, malah sering ricuh, rusuh, hingga ada korban jiwa. Akhirnya, cinta pada sepak bola itu terkiksi. Ini tanda ada yang perlu dibenahi baik dari budaya pendukung maupun sistem sepak bola yang lebih luas. Harus ada komitmen dari semua pihak," kata Rama.
Baca juga: Menuntut Kedewasaan Suporter Indonesia
Perubahan berarti perlu dilakukan oleh suporter sepak bola dalam mengekspresikan cintanya kepada klub yang disenangi. Tidak hanya supaya mencegah tindakan anarkisme yang merugikan, namun menunjukkan sportivitas ada juga di bangku penonton. Sebab, jika tindakan anarkistis terus menyebabkan kehilangan yang memilukan, mau dibawa kemana sikap fanatisme suporter sepak bola ini?