Potensi Sepak Bola Nasional Belum Dikelola Maksimal
Kongres Luar Biasa PSSI 2023 menjadi momen pembenahan sistem sepak bola di Tanah Air demi memenuhi potensi besarnya. Potensi itu antara lain berupa perputaran uang triliunan rupiah dari kompetisi profesional, Liga 1.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR, ADRIAN FAJRIANSYAH, STEPHANUS ARANDITIO,
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI selama ini dinilai belum mampu mengelola sepak bola nasional yang menyimpan potensi sangat besar. Jika bisa dikelola dengan baik, sepak bola berpeluang menghadirkan dampak ekonomi dan sosial yang masif bagi bangsa ini.
Dalam laporannya, 2022, Nielsen menyebut 69 persen penduduk Indonesia tertarik sepak bola. Artinya, sekitar 189 juta orang di Tanah Air punya keterikatan atau minat dengan sepak bola. Tak pelak, Indonesia dikenal negara ”gila bola”.
Sejalan tingginya antusiasme itu, potensi ekonomi dari sepak bola nasional, misalnya kompetisi Liga 1, sangat tinggi. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pernah mengungkapkan bahwa akumulasi perputaran uang dari pelaksanaan satu musim Liga 1 mencapai Rp 1,35 triliun.
Menurut Mohamad Dian Revindo, peneliti LPEM UI, nilai Rp 1,35 triliun itu berasal dari dua produk ekonomi akhir dari kompetisi, yaitu tontonan di stadion dan hiburan melalui layar kaca. Melalui pertandingan di stadion tersaji perputaran uang sekitar Rp 643 miliar yang berasal dari pembelian tiket, ongkos transportasi penonton, biaya makan dan minum oleh penonton, serta pembelian pernak-pernik klub.
Adapun perputaran uang sekitar Rp 714 miliar yang mengalir lewat layar kaca berasal dari iklan kompetisi, iklan televisi, dan sponsor yang mendukung finansial klub.
”Perputaran uang yang besar itu berdampak positif untuk memicu kegiatan ekonomi di sektor lain yang bisa memberikan dampak ekonomi secara nasional sekitar Rp 2,6 triliun dan menciptakan 25.000 kesempatan kerja,” ungkap Revindo, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Namun, ia menegaskan, potensi itu belum maksimal dicapai karena berbagai persoalan sepak bola yang tidak maksimal dibenahi, seperti keributan antarsuporter dan mafia yang telah menjadi rahasia umum. Selain itu, menurut Revindo, PSSI juga belum serius mengelola dengan baik pembinaan usia dini yang bisa menghadirkan dampak ekonomi tersendiri.
”Dalam beberapa tahun terakhir muncul bisnis klub sepak bola yang digunakan keluarga (ekonomi) menengah untuk memberi anaknya aktivitas olahraga. Itu mengubah pula peran sekolah sepak bola (SSB) yang dulu adalah bagian rantai produksi pemain untuk klub profesional. Kini, tidak semua anak-anak di SSB ingin menjadi pemain bola,” ucap Revindo.
Sejak awal, KLB ini penting untuk mengetahui siapa yang kita pilih. PSSI harus membuat program jangka panjang untuk membentuk budaya sepak bola dengan membangun nilai, sistem, dan prosedur. (Ahmad Syauqi)
Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan mengakui, program kerjanya sepanjang 2019 hingga 2023 tidak berjalan maksimal, antara lain akibat pandemi Covid-19. Namun, ia menuturkan, upayanya untuk membenahi liga telah dimulai dengan menggandeng Satuan Tugas Antimafia Bola Kepolisian Negara RI, lalu menjalankan Liga 1 2020 tepat waktu, 29 Februari 2020.
”Saya menakhodai PSSI dengan banyak tantangan yang melaju turun curam dan naik sangat tajam. Badai Covid-19, yang menghentikan banyak aktivitas sosial, memberikan pengaruh besar, yaitu terhentinya kegiatan sepak bola kita. Namun, saya dan anggota Exco (Komite Eksekutif) tidak mau menyerah untuk menghadapi tantangan sehingga perlahan liga kembali berjalan normal dan disaksikan penonton,” kata Iriawan.
Ia menambahkan, kepengurusannya membawa sejumlah hal positif, seperti meloloskan tim nasional ke Piala Asia 2023 setelah absen sejak edisi 2007. Lalu, timnas putri juga kembali tampil di Piala Asia 2022. Pada saat sama, Indonesia juga menjuarai Piala AFF U-16 2022. Posisi Indonesia di peringkat FIFA pun naik, yaitu dari ke-172 (2020) ke posisi ke-151 (2023).
Menentukan masa depan
Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Yogyakarta Ahmad Syauqi Suratno menilai Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 2023 yang digelar pada Kamis (16/2) di Jakarta adalah momen penting untuk menentukan masa depan sepak bola Indonesia. Untuk itu, kata Syauqi, para pemilik suara wajib mempertimbangkan dengan cermat program kandidat ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota Komite Eksekutif PSSI periode 2023-2027 sebelum menentukan pilihan.
”Sejak awal, KLB ini penting untuk mengetahui siapa yang kita pilih. PSSI harus membuat program jangka panjang untuk membentuk budaya sepak bola dengan membangun nilai, sistem, dan prosedur,” ucapnya.
Anton Sanjoyo, anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan, menuturkan, pembenahan sistem sepak bola nasional perlu dimulai dengan mengubah anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PSSI yang mendesak dilakukan ketua umum terpilih.
Menurut dia, selama ini, AD/ART menjadi ”alat” pengurus PSSI untuk eksklusif dan membatasi kehadiran sosok profesional yang sungguh-sungguh ingin membenahi sepak bola nasional.
”Setelah mengubah AD/ART, ketua umum bisa lebih optimal melakukan pekerjaan rumah utama PSSI, yakni memperbaiki mutu kompetisi yang berdampak pada perbaikan kualitas pemain dan pelatih, menghidupkan kompetisi kelompok usia secara berjenjang, membenahi kualitas wasit, dan meningkatkan kualitas timnas,” ujar Anton.