Pelatih Spanyol Luis Enrique salah besar jika mengira seribu tendangan penalti di latihan cukup untuk mengantar mereka menang. Adu penalti lebih kompleks dari itu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
AFP/KARIM JAAFAR
Pelatih Spanyol Luis Enrique (tengah) dan Pelatih Maroko Walid Regragui (kanan) memberikan instruksi kepada para pemain masing-masing dalam pertandingan babak 16 besar Piala Dunia Qatar di Stadion Education City di Al-Rayyan, Qatar, Selasa (6/12/2022).
Pelatih tim nasional Spanyol Luis Enrique begitu yakin, adu penalti bukanlah lotre. Keberuntungan tidak berperan di dalamnya. Hanya kesiapan yang bisa membawa tim menang. Itulah alasan mengapa dia meminta anak asuhnya berlatih 1.000 kali tendangan penalti sebelum datang ke Qatar.
”Sekitar setahun lalu, saya memberi para pemain tugas untuk menendang setidaknya 1.000 penalti bersama klub. Tidak cukup hanya berlatih di timnas. Jika Anda sering berlatih, maka penalti Anda akan meningkat dan bisa mengatasi tekanan,” kata Enrique, Senin (5/12/2022), menjelang laga 16 besar.
Kepercayaan dirinya runtuh seketika di Stadion Education City, kota Al Rayyan. Dia hanya bisa terduduk diam di bangku cadangan, melihat tiga anak asuhnya gagal mengeksekusi penalti ke gawang Maroko. Spanyol, juara dunia 2010, harus rela tersingkir setelah kalah 0-3 dalam adu penalti.
Teori Enrique tidak bekerja. Kiper Maroko yang bermain di Liga Spanyol bersama Sevilla, Yassine Bounou, menyuguhkan realitas pahit. Adu penalti di fase gugur Piala Dunia berbeda dengan latihan. Pemain veteran sekelas Sergio Busquets yang sudah meraih semua trofi bergengsi saja bisa gagal.
AP PHOTO/MARTIN MEISSNER
Kiper Spanyol Unai Simon gagal mengantisipasi tendangan penalti pemain Maroko Achraf Hakimi yang memastikan kemenangan Maroko atas Spanyol 3-0 dalam adu penalti pertandingan babak 16 besar Piala Dunia Qatar di Stadion Education City di Al-Rayyan, Qatar, Selasa (2/12/2022). Maroko hanya sekali gagal melakukan tendangan penalti melalui Badr Beoun. Sementara tiga pemain Spanyol—Pablo Sarabia, Carlos Soler, dan Sergio Busquets—gagal mengeksekusi penalti.
Penalti selalu seperti undian koin. Kali ini kami mendapatkan ekor.
Busquets tidak sepemikiran dengan sang pelatih. Tidak realistis melihat gelandang dengan raihan 37 trofi di klub dan timnas digagalkan oleh kiper yang lebih banyak berkarier di divisi dua Liga Spanyol. Baginya, ada alasan adu penalti disebut adu tos-tosan. ”Penalti selalu seperti undian koin. Kali ini kami mendapatkan ekor,” ujarnya.
Enrique hanya bisa meminta maaf dalam konferensi pers setelah laga usai. Dia bertanggung jawab atas pilihannya mengambil tiga penendang pertama, yaitu Pablo Sarabia, Carlos Soler, dan Busquets. Akibat hasil itu, Spanyol menjadi tim pertama yang kalah empat kali adu penalti di Piala Dunia.
Sudah begitu banyak air mata yang tumpah akibat adu penalti. Banyak orang berpikir penalti terlalu sederhana untuk menentukan hidup dan mati tim. Namun, sebenarnya adu tos-tosan sangatlah kompleks. Banyak teori sejak adu penalti pertama di Piala Dunia 1982 dalam duel Jerman versus Perancis.
Salah satu teori dilanggar oleh Enrique, yaitu jangan menurunkan pemain cadangan pada menit-menit akhir hanya untuk menendang penalti. Sarabia, penendang pertama Spanyol, justru baru diturunkan pada menit ke-118 untuk menggantikan Nicholas Williams.
Menurut data gabungan Opta dan BBC dari Piala Dunia 1982-2018, persentase kesuksesan penendang yang masuk pada 5 menit terakhir laga hanya 50 persen. Peluangnya seimbang antara berhasil atau gagal. Padahal, rata-rata kesuksesan ekseksusi tiga penendang pertama mencapai 73 persen.
Tidak hanya Spanyol, Maroko juga merasakannya. Penendang ketiga mereka, Badr Benoun, masuk sebagai pemain pengganti pada menit terakhir babak kedua tambahan waktu. Hasilnya, Benoun menjadi satu-satunya pemain ”Singa Atlas” yang gagal mengeksekusi penalti.
Dua kegagalan di Stadion Education City bukan sebatas kebetulan. Mantan bek timnas Inggris, Jamie Carragher, pernah mengalaminya. Dia menggantikan Aaron Lennon pada menit ke-118 saat berhadapan dengan Portugal di perempat final Piala Dunia Jerman 2006.
Carragher berkata, masih canggung saat masuk ke lapangan. Dia hampir dua jam berada di bangku cadangan. Lalu, harus menendang penalti penentu hidup dan mati tim, padahal baru beberapa kali menyentuh bola. Beban itu ditambah dengan tekanan penonton yang tidak terasa sebelumnya.
AFP/ODD ANDERSEN
Para pemain Maroko merayakan kemenangan dalam adu penalti pada pertandingan babak 16 besar Piala Dunia Qatar 2022 melawan Spanyol di Stadion Education City di Al-Rayyan, Qatar, Selasa (6/12/2022). Maroko mencatat sejarah dengan maju untuk pertama kalinya ke perempat final Piala Dunia.
Saking canggungnya, dia sampai menendang penalti sebelum peluit wasit berbunyi. Bola berhasil masuk, tetapi penalti itu harus diulang. Carragher gagal pada percobaan kedua. Tembakannya membentur mistar seusai ditepis kiper lawan. Inggris pun ditaklukkan Portugal 1-3.
Sementara itu, Spanyol memilih pemain berposisi gelandang sebagai tiga penendang pertama. Padahal, penyerang adalah penendang dengan kesuksesan tertinggi, 63 gol dari 83 percobaan (75 persen). Gelandang (69 persen, 84-122) dan bek (67 persen, 49-73) berada di bawahnya.
Kompleksitas penalti
Pelatih timnas Inggris Gareth Southgate merasakan sendiri kompleksitas adu penalti. Sebelum Piala Dunia Rusia 2018, mereka mempersiapkan diri dengan banyak studi tentang penalti. Mulai dari teknik dan waktu tendangan, psikologis penendang, hingga penempatan bola.
Dengan persiapan matang, ”Tiga Singa” sukses meraih kemenangan adu penalti pertama di Piala Dunia, atas Kolombia 5-4, dalam babak 16 besar. Namun, tiga tahun setelah itu, tim asuhan Southgate takluk dari Italia dalam adu penalti di final Piala Eropa 2020 dengan persiapan serupa.
Tidak ada yang lebih mengerti penderitaan gagal penalti dibandingkan dengan Southgate. Sekitar 25 tahun sebelum kegagalan sebagai pelatih, dia sudah merasakan gagal mengeksekusi penalti sebagai pemain. Inggris kandas di semifinal Piala Eropa 1996, dikalahkan Jerman, akibat tendangan Southgate.
Southgate pun menyiapkan strategi terbaik agar anak asuhnya bisa menang dalam 120 menit jika harus melewati tambahan waktu. ”
Kami akan menghindari penalti sebisa mungkin, tetapi kami memastikan akan siap mental dan fisik jika harus menghadapinya,”
ujarnya.
Penalti memang hanya tendangan berjarak 11 meter yang melibatkan seorang pemain dan penjaga gawang. Namun, banyak faktor yang bisa memengaruhi keberhasilan atau kegagalan. Pemain butuh siap fisik, teknik dan mental, serta banyak keberuntungan.
Kompleksitas itulah yang membuat banyak pemain legendaris dunia gagal dalam adu penalti di panggung terbesar Piala Dunia. “Dewa” sepak bola Argentina Diego Armando Maradona hingga ikon penyerang Italia Roberto Baggio pernah menjadi korban ketidakpastian titik putih.
Mantan pelatih Inggris, Terry Venables, yang menghibur Southgate setelah gagal penalti pernah berkata, jangan mencari keadilan di adu penalti. Tidak akan ketemu. Sebab, orang tua pun sepertinya bisa saja membobol gawang kiper kelas dunia. Begitu pula sebaliknya. (AP/REUTERS)