Animo masyarakat cukup tinggi menyaksikan Piala Dunia Panjat Tebing 2022 di Indonesia. Itu diharapkan semakin memasyarakatkan panjat tebing guna membantu kelanjutan regenerasi atlet speed, lead, maupun boulder.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Seri ke-12 Piala Dunia Panjat Tebing 2022 di SCBD Park, Jakarta cukup menyita perhatian masyarakat. Tak peduli jadwal perlombaan berlangsung di tengah panas terik, warga mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa baik perempuan dan laki-laki tetap berbondong datang untuk menonton langsung aksi para pemanjat terbaik dunia.
Tingginya daya pikat ajang itu diharapkan bisa semakin memasyarakatkan panjat tebing yang popularitasnya masih tertinggal jauh dibanding sepak bola, bulu tangkis, bola basket, dan bola voli di Tanah Air. Dengan semakin banyak orangtua yang mengarahkan anak-anaknya menekuni olahraga tersebut, panjat tebing Indonesia bisa menjaga roda regenerasi prestasi di nomor perlombaan speed dan membuka asa meningkatkan prestasi di nomor lead maupun boulder.
Bersama istri dan tiga anaknya yang masih kecil, Adriatik Harisnanda (43) rela berpanas-panasan untuk menyaksikan babak kualifikasi nomor speed seri ke-12 Piala Dunia kali ini yang dimulai pada Sabtu (24/9/2022) pukul 13.00 atau saat mentari sedang terik-teriknya. Satu payung yang dibawa keluarga asal Tangerang, Banten itu tetap tidak bisa melindungi mereka dari sengatan pijar matahari yang memancar tanpa penghalang dari langit, dan memantul terkena terpal putih panggung tempat penonton di tengah arena ajang tersebut.
Adriatik sebenarnya sudah paham betul berpanas ria tidak bisa dihindari dari kejuaraan panjat tebing yang identik sebagai kegiatan luar ruangan. Sebab, Adriatik memang pernah menjadi pemanjat pelatnas di awal 2000an. Bahkan, dia mengaku ada sedikit unsur kesengajaan agar keluarganya merasakan suasana tersebut.
Ini sekalian membiasakan anak-anak dengan suasana kegiatan outdoor (luar ruangan). Sebab, selama ini, mereka lebih banyak main ponsel di rumah, terutama pas pandemi (Covid-19).
”Ini sekalian membiasakan anak-anak dengan suasana kegiatan outdoor (luar ruangan). Sebab, selama ini, mereka lebih banyak main ponsel di rumah, terutama pas pandemi (Covid-19). Lagi pula, panas matahari juga bagus untuk tubuh. Kalau sakit, itu biasa. Namanya hidup, kadang ada sakitnya,” ujar Adriatik berseloroh.
Terlepas dari itu, lanjut Adriatik, tujuan utamanya membawa keluarga adalah untuk memancing motivasi anak keduanya, Alysa (9) yang sedang suka-sukanya dengan panjat tebing dan mulai berlatih di klub enam bulan terakhir. ”Dengan menyaksikan langsung atlet terbaik dunia berlomba, Alysa bisa belajar bagaimana teknik yang atlet-atlet itu lakukan. Selain itu, Alysa bisa lebih paham makna perlombaan panjat tebing yang tak ubahnya miniatur kehidupan, ada waktunya berpikir, ada waktunya menggunakan kekuatan, dan ada waktunya pasrah dengan nasib,” katanya.
Seri ke-12 Piala Dunia memang menjadi kesempatan berharga untuk mencuri ilmu dari para pemanjat elite dunia secara langsung. Hal itu diungkapkan secara kompak oleh empat atlet daerah Kota Bandung, Jawa Barat, Aura Paramaratri (19), Syahfitri Ratmania (20), Puspita Januari (27), dan Muhammad Rizki Rahmad Fauzi (20).
Sejatinya, mereka berempat jauh-jauh datang dari Bandung ke Jakarta untuk mendukung rekan satu daerahnya, Raharjati Nursamsa yang berlomba di nomor speed seri ke-12 Piala Dunia. Namun, di balik itu, mereka pun menyimpan misi lainnya, yakni mengamati setiap detail kebiasaan para pemanjat dunia mulai dari cara pemanasan, cara mengambil jalur, memegang poin atau pegangan pada lintasan di dinding, dan memecahkan setiap permasalahan dalam nomor lead.
Kebutulan, sebagian besar mereka memilih fokus di nomor lead, yakni Aura, Syahfitri, dan Puspita. ”Kalau nonton dari internet, kita tidak bisa melihat secara detail kebiasaan para pemanjat dunia itu karena kadang ada gambar yang tidak diambil. Tetapi, kalau nonton langsung seperti ini, kami bisa melihat dengan detail bagaimana mereka pemanasan hingga gerak-geriknya dalam lomba. Semuanya sangat penting dipelajari karena sangat berpengaruh kepada performa,” tutur Puspita.
Aura, Syahfitri, dan Puspita menilai, Indonesia masih lemah di nomor lead maupun boulder karena masih tertinggal dari sisi pelatihan maupun peralatan penunjang. Untuk itu, dari seri ke-12 Piala Dunia, mereka berharap para pemangku kebijakan panjat tebing di Indonesia bisa belajar bagaimana membuat jalur dan menyediakan fasilitas penunjang berstandar dunia.
”Poin di nomor lead misalnya, itu perkembangannya pesat sekali. Bentuk dan ukurannya selalu berubah-ubah dari satu kejuaraan ke kejuaraan lain. Kalau kita tidak terus mengikuti perkembangan di dunia, kita susah untuk bisa bersaing dengan mereka (negara-negara yang sudah mapan di nomor lead),” tegas Puspita.
Momentum promosi
Secara keseluruhan, animo penonton babak kualifikasi nomor speed seri ke-12 Piala Dunia cukup tinggi. Jumlah mereka sekitar 300 orang dan setia menunggu hingga babak itu selesai sekitar pukul 15.00. Yang datang bukan hanya dari individu, kelompok, ataupun keluarga yang punya hubungan dengan dunia panjat tebing atau pencinta alam melainkan pula masyarakat umum yang awam sama sekali dengan kegiatan tersebut.
Hal itu tak lain karena keputusan panitia lokal yang tidak memungut biaya masuk kepada orang-orang yang ingin menyaksikan secara langsung ajang tersebut. Kebijakan itu memang untuk menyasar masyarakat umum agar bisa mengenal panjat tebing.
”Saya lihat panjat tebing ini menjanjikan sekali untuk dikenalkan kepada anak-anak. Sebab, olahraga ini tidak seperti bayangan banyak orang yang menganggapnya ekstrem dan tidak aman. Nyatanya, lombanya menggunakan peralatan pengaman yang sangat lengkap, antara lain dengan tali. Olahraga ini juga menjanjikan karier dan prestasi berjenjang karena ada kejuaraan dari level daerah, nasional, sampai internasional, seperti Piala Dunia ini,” ungkap Retno Dewati (53), guru SD Negeri Jembatan Lima, Jakarta Barat yang datang untuk menemani suaminya di seri ke-12 Piala Dunia.
Sekretaris Umum Pengurus Besar Federasi Panjat Tebing Indonesia (PB FPTI) sekaligus Ketua Panitia Seri ke-12 Piala Dunia, Florenciano Hendricus Mutter menyampaikan, secara realistis, masih sulit menerapkan tiket berbayar dalam kejuaraan panjat tebing di Indonesia. Sebab, panjat tebing masih kalah populer dengan olahraga lain, seperti sepak bola yang masyarakat rela antre untuk nonton walau tiketnya mahal. Iklim panjat tebing di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-negara maju, seperti di Eropa yang panjat tebing sudah menjadi bagian dari gaya hidup.
”Kendati demikian, dengan segala upaya, termasuk mengratiskan tiket masuk ke Piala Dunia, kami berharap itu bisa turut membantu panjat tebing lebih akrab dengan masyarakat. Dengan begitu, FPTI pula yang diuntungkan. Sebab, semakin banyak orangtua yang percaya mengarahkan anaknya berlatih panjat tebing, artinya kian banyak calon atlet baru yang bisa dijaring. Itu bisa menjaga roda regenerasi prestasi di speed dan membuka peluang munculnya atlet berbakat guna meningkatkan prestasi di lead ataupun boulder,” pungkas Hendricus.