Kesempatan Meningkatkan Standar Pembuataan Jalur Nasional
Hadirnya Piala Dunia Panjat Tebing 2022 di Indonesia diharapkan bisa membantu meningkatkan standar pembuatan jalur nomor ”lead” dan ”boulder”. Apalagi Indonesia sedang berusaha mengejar prestasi dua nomor tersebut.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hadirnya seri ke-12 Piala Dunia Panjat Tebing 2022 di SCBD Park, Jakarta, 24-26 September, tidak hanya bukti bahwa panjat tebing Indonesia semakin diakui dunia. Seri Piala Dunia pertama di Indonesia itu pun menjadi kesempatan berharga untuk meningkatkan standar pembuatan jalur nomor perlombaan lead dan boulder di Tanah Air. Apalagi Indonesia yang sudah bisa mendominasi nomor speed sedang berusaha mengejar ketertinggalan prestasi di lead dan boulder.
”Yang membedakan pembuat jalur nasional dan internasional adalah proses kerjanya. Di Indonesia, kami masih bekerja secara manual dengan waktu terbatas. Di luar, mereka bekerja dengan dukungan peralatan canggih dan waktu yang lebih leluasa. Saya berharap seri Piala Dunia ini bisa memberikan pemahaman baru kepada para pembuat kebijakan panjat tebing nasional agar kualitas pembuat jalur nasional jauh lebih baik,” ujar Ronald Novar Mamarimbing, asisten pembuat jalur seri ke-12 Piala Dunia, saat ditemui di Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Ronald yang menjadi salah satu dari dua pembuat jalur Indonesia yang berkualifikasi kontinental Asia itu mengatakan, dari sisi wawasan, pembuat jalur nasional sejatinya tidak jauh berbeda dengan pembuat jalur internasional. Terbukti, Indonesia sudah berpengalaman menyelenggarakan kejuaraan internasional sejak lama, antara lain Kejuaraan Asia pada 1996.
Yang membedakan, lanjut Ronald, hanya pada proses kerja. Di Indonesia, pembuat jalur masih bekerja secara manual menggunakan tali. Sebaliknya di luar negeri, pembuat jalur sudah menggunakan alat berat berupa mobil skylift.
Selain itu, di Indonesia, waktu kerja pembuat jalur sangat sempit. Sebagai contoh, dalam kejuaraan nasional atau Pekan Olahraga Nasional, pembuat jalur hanya diberikan waktu lima-enam hari untuk membuat 50 lintasan. Sebaliknya, dalam seri Piala Dunia, pembuat jalur juga diberi waktu lima-enam hari, tetapi cuma membuat delapan lintasan.
Dua faktor berpengaruh
Dua faktor itu sangat memengaruhi kinerja pembuat jalur untuk membuat lintasan yang berkualitas. Dengan dukungan peralatan canggih dan waktu yang lebih longgar, pembuat jalur bisa mengoptimalkan waktu untuk menuangkan imajinasi dan memastikan lintasan yang dibuat bisa dinikmati oleh peserta lomba.
Pembuat jalur ini sama kayak pelukis. Mereka butuh berimajinasi dan mencoba berulang kali hingga lintasan dipastikan layak. Sebab, tidak ada standar tetap dalam pembuatan jalur. Tingkat kesulitannya pun bersifat abstrak.
”Pembuat jalur ini sama kayak pelukis. Mereka butuh berimajinasi dan mencoba berulang kali hingga lintasan dipastikan layak. Sebab, tidak ada standar tetap dalam pembuatan jalur. Tingkat kesulitannya pun bersifat abstrak,” kata Ronald yang dianggap sebagai salah satu legenda panjat tebing Indonesia.
Ronald yang berpengalaman menjadi pembuat jalur sejumlah kejuaraan Asia dan dunia level yunior itu menuturkan, mekanisme kerja standar Piala Dunia itu diharapkan bisa dilihat dan diadaptasi oleh Pengurus Besar Federasi Panjat Tebing Indonesia (PB FPTI) untuk disebar ke seluruh daerah. Tujuannya, agar kualitas pembuat jalur Indonesia jauh lebih meningkat dan merata.
Memang, pembuat jalur yang bersertifikat internasional dibutuhkan dan Indonesia baru punya dua, yakni Ronald dan Rindi Supriyanto. Indonesia masih butuh tambahan empat-enam pembuat jalur bersertifikat internasional. Namun, di atas itu, Indonesia butuh pembuat jalur yang berwawasan dunia, bukan sekadar bersertifikat internasional. ”Bagi saya, status (bersertifikat internasional) itu nomor dua. Yang utama adalah kualitas dari sumber daya manusianya. Kita jangan sekadar kejar label, tetapi kemampuan pembuat jalur yang setara luar negeri,” kata Ronald.
Di luar itu, Kepala Bidang Kompetisi PB FPTI Irving Gamarta menyampaikan, pihaknya butuh mendorong produsen lokal yang membuat poin pada jalur perlombaan mengejar standar internasional. Sejauh ini, kualitas poin lokal dan luar negeri masih sedikit berbeda. Mengenai bahan, misalnya. Di Indonesia, poin masih terbuat dari resin. Di luar negeri, bahannya dari plastik poliuretan.
Kalau produk lokal lebih berkembang mengikuti standar internasional, boleh jadi itu akan turut menekan biaya untuk pembuatan jalur. Sekarang, karena produk lokal belum memenuhi standar Federasi Panjat Tebing Internasional (IFSC), PB FPTI masih perlu mendatangkan produk dari luar negeri, seperti dari empat vendor dari Swiss, Perancis, dan Bulgaria untuk seri ke-12 Piala Dunia kali ini. ”Produk dari luar itu harganya jauh lebih mahal,” kata Irving.
Persiapan Piala Dunia
Sementara itu, Ronald mengatakan, proses pembuatan dinding perlombaan sudah mencapai 100 persen dan untuk jalur sekitar 30 persen. Piala Dunia di Jakarta hanya memperlombakan nomor speed dan lead. Untuk jalur speed yang bersifat statis atau sama di setiap tempat, pembuatannya sudah tuntas.
Adapun jalur lead baru dimulai dua hari lalu dan ditargetkan tuntas pada Jumat (23/9). Pembuatan jalur lead dimulai untuk babak final dan dilanjutkan untuk semifinal serta kualifikasi. Jalur untuk final, semifinal, dan kualifikasi berbeda-beda dengan tingkat kesulitan masing-masing. Butuh waktu sekitar dua hari untuk menyelesaikan setiap jalur tersebut.
”Jalur final dibuat lebih dahulu karena lintasannya lebih susah. Kondisi kebugaran dan pikiran pembuat jalur jauh lebih segar di awal-awal sehingga jalur final didahulukan,” ujar Ronald.
Irving mengutarakan, seri ke-12 Piala Dunia kali ini akan diikuti oleh sekitar 200 atlet dari 27 negara. Mereka bakal berpartisipasi untuk perlombaan speed putra maupun putri pada 24 September dan lead putra maupun putri pada 25-26 September.
Sejak pekan lalu, para peserta mulai berdatangan, mulai dari Amerika Serikat, Kanada, India, China, Jepang, hingga Spanyol. Jumlah atlet yang sudah datang lebih kurang 30 orang dari nomor speed. Sebagian besar mereka berlatih di Jakarta Garden City (JGC), Jakarta Timur. Sejatinya, PB FPTI menyediakan sejumlah tempat, tetapi para atlet yang sudah datang lebih memilih ke JGC karena fasilitasnya permanen dan berstandar internasional.
”Para atlet itu baru bisa datang ke arena lomba pada hari perlombaan, terutama untuk nomor lead. Tujuannya, agar peserta tidak melihat lebih dahulu bentuk jalur perlombaan. Kalau tahu lebih dahulu, mereka berpeluang untuk mempelajari lebih cepat,” ucap Irving.