Nasib Pelatih Masih di Bawah Bayang-Bayang Atlet
Pelatih dinilai belum mendapat apresiasi sepantasnya terhadap apa yang telah mereka lakukan. Padahal, kesuksesan atlet tidak bisa dilepaskan dari pelatih di balik layar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2Ff5e0670c-7153-4de1-9e82-929694be1d2b_jpg.jpg)
Pelari gawang putri andalan Indonesia Emilia Nova (kanan) berlatih beban didampingi pelatih Fitri "Ongky" Haryadi di Stadion Madya Senayan, Jakarta, 17 September 2019. Jaminan masa depan, termasuk pensiun dan asuransi kesehatan, dibutuhkan pelatih untuk masa depan mereka.
Saat atlet meraih prestasi, peran pelatih seolah terlupakan. Terbukti, bonus ataupun apresiasi untuk pelatih selalu di bawah bayang-bayang atlet. Padahal, pelatih dan atlet adalah dua sisi mata uang yang tidak bias dipisahkan. Tanpa pelatih, atlet belum tentu bisa mencapai puncak prestasi. Maka itu, pelatih berharap mereka bisa mendapatkan apresiasi seperti yang didapat atlet, terutama jaminan penghasilan untuk masa tua atau pensiun.
Fitri ”Ongky” Haryadi tidak cukup beruntung saat menjadi atlet sebelum memutuskan menjadi pelatih pada 2014, saat dirinya berusia berusia 30 tahun. Pria kelahiran Jakarta, 30 Agustus 1984 ini sempat menjadi atlet loncat galah DKI Jakarta tetapi prestasinya mentok meraih perunggu di PON Kalimantan Timur 2008 dan Riau 2012.
”Prestasi saya tidak bisa berkembang lagi karena sempat cedera patah kaki kiri di dekat pergelangan kaki pada 2011. Setelah itu, sulit untuk bersaing. Apalagi atlet-atlet muda makin banyak bermunculan dan potensinya bagus-bagus,” ujar Ongky saat ditemui usai memimpin latihan di Stadion Madya Senayan, Jakarta, Kamis (2/9/2021).
Selama menjadi atlet, Ongky hanya mendapatkan apresasi berupa bonus dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 35 juta untuk perunggu 2008 dan Rp 45 juta pada 2012. Selebihnya tidak ada, termasuk pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil yang diidam-idamkannya. ”Saya cuma dapat perunggu, makanya sulit dapat penghargaan diangkat sebagai PNS. teman saya yang dapat emas saja belum tentu diangkat sebagai PNS,” katanya.
Baca juga: Jaminan Masa Depan Tokoh di Balik Layar
Nasib Ongky berubah ketika ditunjuk oleh KONI DKI Jakarta untuk menjadi pelatih atlet putri muda saat itu, Emilia Nova pada 2014 untuk persiapan PON Jawa Barat 2016. Dalam waktu singkat, pelatih keturunan Solo, Jawa Tengah ini bisa menyulap atlet kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1995 itu sebagai salah satu ratu lari gawang dan saptalomba Indonesia.

Di tingkat nasional, Ongky membawa Emil meraih emas sekaligus rekor PON lari 100 meter gawang, emas sekaligus rekor nasional saptalomba, dan turut berkontribusi mendapatkan emas estafet 4x100 meter putri di PON 2016. Di level internasional, dia mengantarkan Emil merebut emas lari 100 m gawang ASEAN University Games 2016 Singapura, perak sekaligus mempertajam rekor nasional saptalomba SEA Games 2017 Malaysia, perak lari 100 m gawang Asian Games 2018, dan emas 100 m gawang SEA Games 2019 Filipina.
Prestasi itu menjadi keberkahan untuk Emil. Dia mendapatkan bonus berlimpah, seperti uang Rp 500 juta untuk perak Asian Games 2018 dan Rp 500 juta untuk emas SEA Games 2019. Dirinya pun diangkat sebagai PNS di Kementerian Pemuda dan Olahraga usai Asian Games 2018. ”Emil beruntung, dia menjadi atlet berprestasi di tengah perhatian pemerintah yang sangat luar biasa untuk para atlet,” tutur Ongky.
Ketimpangan penghargaan
Namun, Ongky menilai, perhatian yang diberikan pemerintah kepada atlet berprestasi masih timpang untuk pelatih. Bonus yang diterima Ongky nilainya sekitar 45 persen dari bonus untuk Emil. Menurut Ongky, sepatutnya, apresiasi untuk atlet dan pelatih itu setara. Sebab, atlet bisa menjadi juara atau berprestasi tidak lepas dari peran pelatih yang berpikir keras membuat program latihan. ”Atlet bagus itu pasti ada pelatihnya. Pelatih bagus pasti melahirkan atlet bagus. Alangkah bagusnya penghargaan untuk atlet dan pelatih itu setara,” pesannya.
Hal yang paling diharapkan Ongky disetarakan adalah peluang atlet dan pelatih mejadi aparatur sipil negara. Selain atlet, pelatih juga ingin menjadi ASN atau memiliki pekerjaan tetap sebagai jaminan hari tua saat telah pensiun sebagai pelatih. Kalau pun telah melewati batas usia menjadi PNS, sekiranya ada akselerasi atau jalur khusus untuk pelatih berprestasi.
Saya tetap resah karena penghasilan saya cuma bergantung dari gaji pelatih saja. Kalau sewaktu-waktu dicoret sebagai pelatih di pelatda maupun pelatnas, saya tidak memiliki lagi penghasilan tetap.
”Jaminan masa tua untuk pelatih ini penting sekali karena pelatih pun tidak bisa menjadi pelatih selamanya. Mungkin saja, atlet yang dipegang tidak lagi berprestasi karena cedera dan butuh waktu lama untuk mencetak atlet berprestasi baru. Tidak semua pengurus cabang sabar menunggu lahirnya atlet baru itu. Kalau begitu, pelatih bisa dicoret sewaktu-waktu,” ujar Ongky.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2Fa625335c-c773-4872-acec-24b6e084fcaf_jpg.jpg)
Pelari gawang Indonesia Emilia Nova (kanan) bersama pelatihnya, Fitri "Ongky" Haryadi merayakan medali emas setelah menjadi pelari tercepat pada final lari gawang 100 meter putri SEA Games 2019 Filipina di Stadion Atletik, New Clark City, Filipina, 9 Desember 2019.
Kini Ongky berstatus sebagai pelatih di pelatda DKI Jakarta dan pelatnas Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI), dengan penghasilan yang cukup. ”Tetapi, saya tetap resah karena penghasilan saya cuma bergantung dari gaji pelatih saja. Kalau sewaktu-waktu dicoret sebagai pelatih di pelatda maupun pelatnas, saya tidak memiliki lagi penghasilan tetap,” katanya.
Ongky mencoba menyiapkan hari tua dengan membeli tanah atau rumah sebagai investasi jangka panjang. Selebihnya, kalau tidak dipakai lagi di pelatda maupun pelatnas, dia mungkin menjadi pelatih lepas untuk komunitas lari atau lembaga militer.
Baca juga: Pensiun dengan Tenang Setelah Purnatugas
Kalau tak laku menjadi pelatih lepas, dirinya berencana pulang kampung untuk membuka sawah. ”Mau bagaimana lagi yah, keahlian saja hanya melatih. Kalau memang tidak laku lagi sebagai pelatih, mungkin saya jadi petani saja di desa,” tutur pelatih lulusan Pendidikan Kepelatihan, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Jakarta pada 2010 tersebut.
Nasib Lukman
Berbeda dengan Ongky, pelatih angkat besi pelatnas angkat besi 2000-2013 Lukman cukup berprestasi ketika menjadi lifter angkat besi Lampung dekade 1980-1990-an. Pria kelahiran Bandar Lampung, 7 Juli 1966 ini mengoleksi lima emas dan tiga perunggu dari empat PON. Lukman juga mewakili Indonesia di lima SEA Games pada 1987-1995, dan mengoleksi lima emas dan dua perak.
Akan tetapi, Lukman mengaku, nasib sebagai atlet berprestasi zaman dahulu tidak sebaik saat ini. Mereka tidak mendapatkan bonus berlimpah, apalagi diangkat sebagai PNS. Apresiasi yang diberikan berupa sejumlah uang dari pemerintah daerah dan pusat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F49389234-a679-4293-960a-ac09d3e8e852_jpeg.jpg)
Pelatih angkat besi Lukman (kanan) saat bersama lifter Triyatno dan Eko Yuli Irawan Ketua menerima bonus Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang diserahkan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Rita Subowo di Kantor KOI, Jakarta, 7 September 2016.
”Karena karier sebagai atlet tidak menentu dan usia sudah 30 tahun, saya memilih pensiun pada 1997 walaupun pelatnas masih memanggil saya untuk SEA Games 1997. Kebetulan, saya mendapatkan kepercayaan Ketua Pengprov PABBSI (saat itu) Kalimantan Selatan Dharma Surya untuk menjadi pelatih di Kalsel, dan diberi kesempatan belajar di China dua kali pada 1997-1999,” ujar Lukman.
Tak lama, Lukman dipercaya menjadi pelatih di pelatnas selama 2000-2014. Dia sempat membawa lifter putri Raema Lisa Rumbewas meraih perak kelas 48 kg Olimpiade Sydney 2000 dan Athena 2004, Eko Yuli Irawan merebut perunggu 56 kg dan Triyatno merebut perunggu 62 kg di Beijing 2008, serta Triyatno merebut perak 69 kg dan Eko merebut perunggu 62 kg di London 2012.
Mulai 2014, Lukman tidak lagi bergabung dengan pelatnas dan meneruskan karir sebagai pelatih timnas Malaysia 2014-2016 dan pelatih timnas Thailand sejak 2018 sampai kini. Namun, dia sempat diminta Komite Olimpiade Indonesia menangani Eko jelang Olimpiade Tokyo 2020 dan mengantarkan lifter berusia 32 tahun itu membawa pulang perak kelas 61 kg.
Baca juga: Ini Bukan Soal Tidak Nasionalis
Selama menjadi pelatih, apresiasi yang diterima Lukman adalah bonus karena membawa lifter meraih medali di empat Olimpiade. Bonus terbesar diterimanya sepulang dari Tokyo 2020, yakni sebesar Rp 1 miliar. ”Sebenarnya, bonus yang diterima pelatih masih jauh di bawah atlet, tetapi saat ini kondisinya jauh lebih baik daripada sebelumnya,” katanya.
Walau bersyukur mendapatkan bonus cukup besar dari pemerintah, Lukman tetap resah dengan masa depannya. Dia tidak memiliki sumber penghasilan lain selain gaji sebagai pelatih dan bonus yang diterima saat atletnya berprestasi. Kariernya sebagai pelatih juga melewati pasang surut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F198a7d97-b7ad-4fd6-95de-81d8308baba5_jpg.jpg)
Pelatih angkat besi Lukman mengamati latihan lifter Eko Yuli Irawan di Empire Fit Club, Stadion Gelora Bung Karno, 25 Juni 2021. Lukman, yang kinni melatih tim angkat besi Thailand, mendampingi Eko Yuli dan Deni dalam persiapan ke Olimpiade Tokyo 2020.
Seperti tahun 2014, dirinya harus mundur dari pelatnas karena masalah internal. Hal itu membuatnya tidak berpenghasilan. ”Istri saya dokter dan penghasilannya cukup. Tetapi, sebagai suami, saya tetap bertanggungjawab menafkahi keluarga,” tuturnya.
Oleh karena itu, Lukman memilih merantau ke Malaysia (2014-2016) dan Thailand (2018-sekarang) dan terpisah dengan istri dan kedua ankanya yang tinggal di Balikpapan. Hal ini cukup membebaninya, karena kedua anaknya mulai meamsuki usia remaja. Bahkan, selama dua tahun bertugas di Thailand, Lukman hanya satu kali bertemu keluarga saat cuti di akhir 2019. Setelah itu, pandemi Covid-19 membuatnya tidak berjumpa dengan keluarga selama 1 tahun 8 bulan hingga berkesempatan pulang usai Olimpiade Tokyo.
”Gaji saya di Malaysia ataupun Thailand memang lebih besar daripada di Indonesia. Tetapi, kalau bisa memilih, saya ingin tetap melatih di Indonesia. Selain mengabdi untuk negara sendiri, juga bisa lebih dekat dengan keluarga,” terangnya.
Saat ini, Lukman menanti bisa kembali ke pelatnas Indonesia. Selain itu, dia berharap pelatih nasional yang berprestasi bisa mendapatkan jaminan hari tua. Jika tidak bisa sebagai PNS, minimal pelatih berprestasi diberi asuransi kesehatan jiwa dan tunjangan ketika pensiun. Dengan demikian, pelatih tidak bimbang memikirkan nasib. Jika tidak lagi dipakai pelatnas, mereka bisa kembali ke daerah dan membantu membina bibit-bibit atlet baru.
”Jadi, pelatih seperti saya tidak perlu susah-susah merantau ke luar negeri untuk menjaga asap dapur tetap menyala. Berat sekali rasanya terpisah dengan keluarga dan tidak bisa serta merta pula mereka dibawa ke luar negeri,” ujarnya.

Perhatikan proses
Ketua Komisi Kepelatihan dan Pendidikan Bidang Target Pengurus Besar Persatuan Menembak Seluruh Indonesia (PB Perbakin) Glenn C Apfel menyampaikan, sejauh ini, perhatian pemerintah untuk atlet dan pelatih memang belum seimbang. Padahal, atlet dan pelatih berada dalam satu paket. Tanpa pelatih, atlet tidak mungkin bisa mengembangkan kemampuannya.
Hal ini akibat pemerintah dan pihak terkait masih sebatas memandang prestasi dari produk akhir belaka, tanpa menghargai proses. Padahal, untuk mencapai prestasi itu, atlet menjalani proses panjang yang ditempa di tempat latihan. Dalam mengarungi proses ini, ada pelatih, tenaga pendukung, hingga pengurus cabang yang berperan.
Gaji saya di Malaysia ataupun Thailand memang lebih besar daripada di Indonesia. Tetapi, kalau bisa memilih, saya ingin tetap melatih di Indonesia. Selain mengabdi untuk negara sendiri, juga bisa lebih dekat dengan keluarga.
”Sejauh ini, apresiasi kepada pengurus cabang nyaris tidak ada. Padahal, pengurus cabang yang mencari bibit atlet di daerah, menyediakan tempat latihan, membina, dan memfasilitasi ikut kejuaraan. Mestinya itu juga diberi penghargaan, setidaknya tempat latihan menjadi lebih baik agar nanti prestasi bisa semakin meningkat,” katanya.
Menurut Richard Sam Bera, olimpian dan mantan perenang nasional, pelatih yang lebih banyak terlibat dari belakang layar, tidak mendapat pengharagaan seperti atlet. Padahal, peran mereka sangat krusial dalam perkembangan atlet.
“Ini adalah faktor penting yang perlu diperhatikan. Semua hasil prestasi atlet itu berasal dari pelatihnya. Karena itu, perlakuannya harus sama. Kalau sudah terbentuk kesejahteraan atlet, pelatih juga harus berada di posisi yang sama,” pungkasnya.

Sementara itu, pengamat olahraga nasional, Fritz E Simanjuntak menilai kesejahteraan pelatih juga tidak lepas dari jumlah kompetisi yang tersedia. Para pelatih baru bisa sukses hanya ketika atletnya juara. Kompetisi dan pertandinganlah yang akan membuktikan kapasitas pelatih, yang akan selaras dengan kesejahteraannya.
“Kalau atlet tidak bertanding, pelatih juga tidak kelihatan, tidak dapat uang juga. Jadi memang sama seperti atlet, harus banyak pertandingan. Contohnya saja tenis, siapa pelatih yang bagus sekarang? Tidak ada yang tahu, karena pertandingannya saja tidak ada. Sampai-sampai tenis tidak masuk prioritas di DBON, padahal kita dulu berprestasi di sana,” ucap Fritz.
Janji Pemerintah
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali menjelaskan, pemerintah pusat sangat memperhatikan kesejahteraan atlet dan pelatih nasional yang berprestasi. Terbukti, setelah Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 di Indonesia, 300-an atlet dan pelatih yang difasilitasi menjadi PNS di lingkungan Kemenpora.
Dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang disahkan lewat Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 pada peringatan Hari Olahraga Nasional ke-38, 9 September 2021, perhatian untuk atlet dan pelatih berprestasi menjadi satu paket dan lebih ditegaskan. Mereka akan diberikan jaminan hari tua dengan menjadi PNS, TNI/Polri, atau pegawai BUMN.
Jika hal ini tidak bisa dilakukan, Kemenpora akan berdiskusi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara untuk mencari solusi yang terbaik. Di samping itu, akan ada edukasi kepada atlet dan pelatih dalam pengelolaan keuangan agar berkesinambungan untuk hari tua.
”Yang jelas, urusan kesejahteraan atlet dan pelatih ini bukan hanya tanggungjawab Kemenpora melainkan tanggungjawab semua pihak terkait, dari kementerian/lembaga terkait hingga pemerintah daerah. Sebab, kalau Kemenpora sendiri, anggaran dan kewenangannya terbatas,” tutur Zainudin.
Bonus besar untuk peraih emas ganda putri bulu tangkis Olimpiade Tokyo 2020 Greysia Polii/Apriyani Rahayu mungkin sebuah penanda baik terhadap atlet. Namun, itu hanyalah pesta semu, yang dirayakan di hilir dari proses panjang. Banyak problem di hulu yang selalu terlupakan karena butuh biaya besar dan kurang seksi. Problem itu perlu diselesaikan jika Indonesia tak ingin hanya berjalan di tempat.