Pandemi Covid-19 turut memengaruhi para pelatih sepak bola usia dini, yang selama ini memang kerap terabaikan. Mereka kehilangan penghasilan karena tidak bisa melatih.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG
Pemain SSB Buperta Cibubur berlatih di Lapangan Buperta Cibubur, Jawa Barat, 15 September 2020. Para pelatih sekolah sepak bola kehilangan penghasilan di masa pandemi Covid-19 karena tidak bisa melatih.
M Yunus (59), Direktur Teknik Blue Soccer School, sekolah sepak bola (SSB) berbasis di Jagakarsa, Jakarta Selatan, harus hijrah ke Ciamis, Jawa Barat, sejak Jumat (10/9/2021). Untuk sementara, Yunus harus meninggalkan istri dan dua anaknya di rumah kontrakannya di kawasan Ragunan, Jaksel, demi bisa membuat dapurnya tetap ngebul.
Selama di Ciamis, Yunus memenuhi undangan rekannya untuk memberikan coaching clinic (klinik pelatihan) untuk SSB di wilayah itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Yunus karena sejak pandemi Covid-19 menyerang Indonesia, Maret 2020, ia tidak bisa lagi melatih anak-anak yang memiliki mimpi untuk menjadi pesepak bola profesional.
Bagi Yunus, yang mengawali profesi sebagai pelatih usia dini sejak akhir dekade 1980-an, kondisi pandemi benar-benar menghancurkan mata pencariannya. Larangan aktivitas di luar ruangan serta ditutupnya lapangan olahraga di Jakarta membuat ia tidak bisa melatih. Padahal, melatih di SSB adalah satu-satunya keahlian dan sumber finansial utama keluarganya.
Pendapatan Yunus selama berkecimpung di dunia sepak bola akar rumput sesungguhnya jauh dari ideal. Ia hanya menerima Rp 100.000 setiap pertemuan. Dalam sepekan terdapat tiga kali pertemuan, sehingga Yunus hanya menerima penghasilan Rp 1,2 juta per bulan. Jumlah itu amat jauh dari upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang berjumlah Rp 4,4 juta.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Suasana latihan di SSB Angkasa di Bandung, Jawa Barat, 30 September 2020.
Uang yang diterima Yunus sebagian besar digunakan untuk membayar biaya mengontrak rumah Rp 1 juta per bulan. Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Yunus juga menerima tawaran sebagai pelatin nonpermanen di beberapa SSB lain di wilayah Jakarta.
Ketika pandemi mengharuskanya ”meninggalkan” lapangan hijau, Yunus beralih profesi sebagai pembuat layang-layang. Ia membuat dan menjual sendiri layang-layang di sekitar kontrakannya. Namun, pendapatan berjualan mainan musiman itu tidak menentu. Penghasilan yang didapatkan Yunus maksimal hanya Rp 20.000 per hari.
”Istilahnya di masa Covid ini, kami sekeluarga pagi makan, sore enggak. Kondisi pandemi ini tentu bikin saya dan keluarga sedih, tetapi kami harus tetap semangat. Dengan semangat itu, saya senang ketika dapat tawaran untuk jadi pemateri coaching clinic di Ciamis,” ujar Yunus, Minggu (12/9/2021).
Kondisi yang dialami Yunus juga dirasakan oleh Arief Hidayat (62). Selama ini, Arief melatih SSB di kawasan Sentul, Jawa Barat. Ia menerima bayaran Rp 300.000 setiap pertemuan. Serupa dengan Yunus, setiap pekan Arief melatih tiga kali, sehingga bisa mengantongi Rp 3,6 juta setiap bulan.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Suasana latihan SSB Buperta Cibubur di Cibubur, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 15 September 2020. PSSI diharapkan lebih peduli pada pembinaan sepak bola di usia dini dan memperhatikan kesejahteraan para pelatih yang berdedikasi.
Akan tetapi, pandemi membuat dirinya harus mudik ke Sukabumi, Jawa Barat. Di Sukabumi, Arief memang memiliki sekolah sepak bola bernama Ardafa alias Arief Hidayat Football Academy, yang telah eksis selama lebih dari dua dekade. Namun, SSB di Sukabumi bukanlah sumber pendapatan bagi Arief.
”Setiap latihan rata-rata berjumlah 20 anak. Mereka hanya sanggup membayar iuran Rp 5.000 tiap pertemuan. Itu pun tidak semua anak memiliki uang untuk membayar, tetapi hal itu tidak masalah karena saya menganggap melatih di kampung sebagai kerja amalm,” kata Arief, yang menjadi kapten tim nasional Indonesia di Piala Dunia U-20 1979 di Jepang.
Kami berperan untuk membentuk fondasi sepak bola nasional, tetapi tidak ada perhatian yang diberikan kepada kami. Harapan kami adalah bisa segera kembali beraktivitas di lapangan hijau sehingga ekosistem pembinaan sepak bola bisa berjalan lagi.
Sebagai gantinya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Arief dan istri membuka warung makan di depan rumahnya di kawasan Nagrak, Sukabumi. Usaha itu menjadi sumber utama pendapatan keluarganya dalam satu tahun terakhir ini.
Berharap perhatian
Arief dan Yunus menjadi potret pelatih sepak bola di sektor pembinaan usia dini yang selama ini tidak mendapat perhatian, baik dari pemerintah maupun federasi, yaitu Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Padahal, dari hasil kerja keras dan pengabdian mereka lahir para pemain sepak bola nasional.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Suasana latihan di SSB Angkasa, Bandung, Jawa Barat, 30 September 2020.
Arief, misalnya, memang telah mendapat bantuan rumah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 2012 lalu. Namun, sumbangan kebutuhan papan dari pemerintah itu lebih sekadar respons atas viralnya mantan anak didik Arief, yakni Eriyanto yang menjadi kapten terbaik pada AC Milan Junior Camp Day Tournament 2010.
Eriyanto, yang kini membela Persis Solo, mendapat rumah dari pemerintah sehingga Arief pun ”kecipratan” bantuan itu. Mereka diberikan bantuan rumah dengan jumlah anggaran Rp 120 juta dari pemerintah pusat.
Di luar itu, Arief belum pernah merasakan berbagai bentuk perhatian lain dari pemerintah dan federasi. ”Saya berharap setidaknya di masa sulit saat ini ada perhatian nyata dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk membantu para pelatih di akar rumput,” tutur Arief, yang mulai terjun sebagai pelatih usia dini sejak 1994.
Sementara itu, Yunus juga menyampaikan harapannya agar PSSI peduli kepada insan-insan di level pembinaan usia dini. Ia menilai, PSSI selama ini hanya peduli terhadap kompetisi profesional yang memiliki nilai komersial tinggi. Adapun pembinaan usia dini masih dianaktirikan sehingga PSSI belum memiliki sistem kompetisi usia dini yang berkelanjutan.
”Padahal, kami memiliki peran untuk membentuk fondasi sepak bola nasional, tetapi tidak ada perhatian yang diberikan kepada kami. Harapan kami adalah bisa segera kembali beraktivitas di lapangan hijau, sehingga ekosistem pembinaan sepak bola bisa berjalan lagi,” ucap Yunus.