Bekal pekerjaan dan jaminan pensiun dapat membantu atlet tetap berdaya mewujudkan kesejahteraan finansial hingga masa senja pengabdiannya.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR
Presiden Jokowi diapit oleh pasangan ganda putri peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, Apriyani Rahayu (kiri) dan Greysia Polii, di Istana Kepresidenan Bogor, 13 Agustus 2021.
Bagi atlet, kesejahteraan memiliki rentang panjang dari pembinaan hingga masa pensiun. Karena itu, memberikan bekal pensiun berupa pekerjaan dan jaminan pensiun akan membantu kemandirian atlet serta mantan atlet dalam mewujudkan kesejahteraan finansial.
Persoalan kesejahteraan atlet di Indonesia, terutama secara finansial, tecermin dari hasil survei daring Kompas yang dilaksanakan pada 1-10 September 2021. Terdapat 330 atlet aktif dan mantan atlet dari berbagai cabang olahraga di 34 provinsi yang berpartisipasi dalam survei. Berdasarkan status keatletannya, responden terdiri dari 193 atlet aktif dan 137 mantan atlet.
Survei ini memotret kondisi kesejahteraan atlet saat ini dan harapan terhadap pemerintah untuk mewujudkan kehidupan mereka yang lebih baik mulai dari tingkat daerah hingga nasional. Hasilnya, jawaban para responden terbelah. Sebanyak 40,9 persen mengaku belum sejahtera dan sisanya merasa sudah sejahtera. Namun, ketika dikerucutkan lagi yaitu pada aspek kesejahteraan finansial, didapati 47,7 responden persen yang menyatakan hidupnya belum sejahtera.
Sumber pendapatan yang menopang pilar kesejahteraan finansial bagi atlet aktif didapat dari honor atau uang saku pemberian pemerintah serta pekerjaan selain sebagai atlet profesional dan amatir. Terkait skema penerimaan honor, enam dari sepuluh responden menyatakan bahwa mereka menerima honor atau uang saku dari pemerintah ketika mengikuti program pelatnas dan pelatda.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Lifter yunior Windy Cantika Aisah saat bersama lifter lainnya mengikuti latihan di Pelatnas Angkat Besi PB PABBSI, Markas Marinir TNI AL, Jakarta, 11 Maret 2020.
Namun, ada juga sebagian responden berstatus atlet aktif 12,4 persen yang mengaku tidak menerima sama sekali honor dari pemerintah. Kondisi ini bisa saja terjadi dan mereka menerima pendapatan berasal dari klub atau sumber dana lainnya di luar pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya, apakah nilai honor yang diterima dari pemerintah dinilai cukup oleh para atlet? Jawabannya, terdapat lebih dari setengah responden (55,4 persen) mengatakan bahwa uang yang mereka terima dipandang belumlah cukup. Sisanya, merasa nilai honor dari pemerintah yang mereka terima sudah cukup.
Ketika ditelisik lebih dalam lagi, ternyata nilai honor yang diterima berada pada angka kurang dari Rp 4 juta per bulannya. Nilai honor dinilai belum cukup untuk memenuhi kesejahteraan hidup. Hal ini sangat beralasan mengingat nilai honor tersebut masih di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta saat ini. Bukan hanya UMP Ibu Kota, nilai tersebut juga masih di bawah upah minimum kabupaten/kota di wilayah Bodetabek yang berada di atas Rp 4,16 juta.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah minimum salah satunya didasarkan pada kebutuhan hidup layak. Tidak heran jika para atlet berharap diberikan standar upah atau honor atau gaji yang mengacu pada kebutuhan minimum masyarakat.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Direktur Persija Development Ganesh Putra ketika ditemui di lapangan Persija Jakarta, Sawangan, Depok, Jawa Barat (8/10/2020). Bagi Ganesh, yang turut merancang Filosofi Sepak Bola Indonesia atau Filanesia yang menjadi kurikulum semua SSB di Indonesia, atlet muda harus berkorban untuk menjadi pemain profesional. Bahkan, menjadi wajar pula kalau ada pemain yang belum mendapatkan gaji atau honor ketika baru mulai berkarier di klub.
Belum tercapainya titik kesejahteraan bagi atlet memberi dampak bagi mereka untuk menambal lubang kesejahteraan hidup. Demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari, sebagian atlet mau tidak mau menekuni profesi lain di beragam bidang, baik sebagai pekerjaan utama maupun sampingan.
Ragam kegiatan atau pekerjaan yang dilakoni antara lain sebagai pelajar atau mahasiswa (28,5 persen), pegawai negeri (12,4 persen), bekerja sebagai pegawai swasta, wirausaha, serta pelatih olahraga atau pelatih atlet masing-masing sekitar 7 persen.
Cuplikan data tersebut sebenarnya menyingkap hal lain terkait kesejahteraan hidup atlet Indonesia selama ini. Sebagian besar atlet tidak dapat menggantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai olahragawan saja, tetapi juga harus mencari nafkah dari sumber pekerjaan lainnya.
Dengan kondisi demikian, tidak heran jika sebagian besar responden (63 persen) mengaku belum puas dengan pemberian pemerintah selama ini.
Peran pemerintah
Sebenarnya, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2014 memberi harapan agar kesejahteraan atlet terwujud. Regulasi tersebut mengatur tentang pemberian penghargaan olahraga yang memuat ketentuan mengenai atlet yang berhak memperoleh penghargaan.
Dalam Pasal 3 disebutkan, apresiasi berupa pekerjaan, jaminan hari tua, dan beasiswa termasuk dalam sepuluh jenis penghargaan yang dapat diberikan kepada atlet.
Namun, untuk dapat meraih penghargaan berupa kemudahan mendapat pekerjaan, seorang atlet minimal meraih medali perunggu di Asian Games, Olimpiade, atau Paralimpiade, atau minimal menyabet medali perak di ajang SEA Games. Bisa juga, atlet tersebut meraih medali emas dari Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas).
Kurnia Yunita Rahayu
Ajang Penghargaan Atlet Muda Berprestasi PB Djarum 2017 di Jakarta, Kamis (11/1/2017). Sebanyak 27 atlet mendapatkan penghargaan dan hadiah uang atas prestasi mereka selama 2017.
Mengenai dana jaminan hari tua, kesempatan untuk mendapatkannya lebih sengit dibandingkan kemudahan mendapat pekerjaan. Dituliskan bahwa syaratnya seorang atlet harus membawa pulang medali emas atau juara pertama kompetisi tingkat internasional.
Skema lainnya ialah dengan meraih juara pertama sekurang-kurangnya tiga kali di ajang kompetisi nasional. Satu lagi peluangnya dengan cara memecahkan rekor cabang olahraga di tingkat nasional atau internasional.
Dengan kata lain, akomodasi yang ditawarkan oleh pemerintah baru sebatas pada atlet peraih medali. Dapat dikatakan bahwa celah untuk meraih penghargaan semacam ini terbilang cukup sempit. Hal ini menyisakan sebagian besar atlet yang belum bisa berprestasi tidak dapat turut menikmati penghargaan serupa.
Selanjutnya, untuk dapat meraih penghargaan berupa beasiswa syaratnya seorang atlet perlu memenuhi satu dari tiga syarat berikut. Pertama, merupakan peserta didik dan berprestasi secara akademik. Kedua, meraih medali mulai dari tingkat daerah hingga dunia. Atau yang ketiga, memecahkan rekor cabang olahraga di tingkat nasional atau internasional.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah perlu segera menyusun sistem penghargaan serta pembinaan untuk meningkatkan kesejahteraan para atlet. Cara yang dapat ditempuh yaitu dengan merevisi UU Sistem Keolahragaan Nasional yang belum memberikan ruang lapang guna menyejahterakan atlet dalam jangka panjang.
Perbaikan regulasi ini dapat menjadi momentum memasukkan harapan kesejahteraan atlet saat ini dan di masa mendatang. Bagi atlet, ada tiga hal yang paling dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka, yaitu pekerjaan tetap, dana pensiun atau jaminan hari tua, dan tunjangan pendidikan.
Bentuk kesejahteraan ini memiliki dimensi panjang dari sebuah harapan akan pengabdian atlet dalam membela negara di ajang pertandingan olahraga. Jangan sampai harumnya nama bangsa saat atlet berjaya tidak mendapat penghargaan yang setimpal dibandingkan saat sang atlet memasuki masa pensiun.
Bekal pekerjaan dan jaminan pensiun dapat membantu atlet dan mantan atlet tetap berdaya mewujudkan kesejahteraan finansial hingga masa senja pengabdiannya. (LITBANG KOMPAS)