Kemampuan negara menjamin kesejahteraan mantan atlet menjadi cerminan keberhasilan bangsa menghargai warga negaranya yang telah berjuang mengharumkan nama bangsa.
Oleh
Yoesep Budianto
·6 menit baca
KOMPAS/YULVIANUS HARJONO
Eva Butar-Butar (kiri), legenda senam Indonesia, tengah melatih tiga anak asuhnya, atlet-atlet senam artistik, di GOR Senam Raden Intern, Jakarta Timur (23/11/2019). Eva merupakan salah satu mantan atlet senam yang kini menjadi pelatih senam artistik nasional.
Sejumlah mantan atlet masih harus bertanding dalam kehidupan sesungguhnya untuk meraih kesejahteraan. Kemampuan negara menyerap makna kesejahteraan di mata mantan atlet dapat menjadi awal harapan perbaikan dunia keolahragaan nasional.
Di balik gempita hadiah dan bonus yang diterima atlet-atlet berprestasi, sejumlah mantan atlet masih berjuang menggapai hidup sejahtera setelah pensiun. Mantan atlet silat peraih medali emas SEA Games Singapura 1983, Marina Martin Segedi, harus bekerja banting tulang sebagai sopir taksi setelah pensiun.
Perjuangan serupa juga dijalani Abdul Razak, mantan atlet dayung, peraih medali emas di SEA Games Malaysia 1989 dan semifinalis Olimpiade Barcelona 1992. Ia terdampar berprofesi sebagai nelayan kecil di Sulawesi Tenggara.
Dua kisah itu menjadi gambaran masih adanya ruang hampa kesejahteraan bagi mantan atlet di masa senjanya. Kondisi ini juga menunjukkan belum kokohnya desain jangka panjang pengelolaan atlet saat masih aktif hingga hari tuanya nanti. Keberadaan atlet yang belum sejahtera menuntut peran negara untuk menjamin kesejahteraan atlet setelah pensiun.
Jaminan kesejahteraan mantan atlet perlu mendapatkan perhatian khusus karena kemampuan hidup layak dan sejahtera merupakan hak dasar seluruh warga negara. Tidak sulit memulai langkah besar ini. Yang perlu dilakukan sebagai awalan adalah mengetahui konsep kesejahteraan di mata mantan atlet. Setelah mengetahui makna kesejahteraan dan kebutuhan untuk hidup sejahtera, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk mewujudkannya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Leni Haini, mantan atlet dayung asal Jambi, kini mengembangkan sekolah informal bagi anak-anak tak mampu di Kampung Legok, Danau Sipin, Kota Jambi, 13 Desember 2019.
Survei Kompas yang dilakukan secara daring terhadap 330 atlet aktif dan mantan atlet pada 1-10 September 2021 menangkap konsep kesejahteraan sekaligus harapan di mata mereka. Sebanyak 33,3 persen responden mendefinisikan kesejahteraan sebagai kondisi stabil dari sisi pekerjaan dan penghasilan.
Tak hanya pekerjaan dan penghasilan, ada 25,8 persen responden yang menilai penting memiliki tabungan, asuransi, dana pensiun, dan jaminan hari tua sebagai bagian dari standar hidup sejahtera. Sementara untuk hidup layak, terdapat 21,8 persen responden mengaku bahwa mereka sejahtera apabila bisa makan layak dan kebutuhan sehari-hari tercukupi.
Tiga makna ini, yaitu memiliki penghasilan, memiliki tabungan hari tua, serta dapat mencukupi kehidupan hidup sehari-hari, menjadi bentuk kesejahteraan yang didambakan mantan atlet. Apabila disederhanakan, definisi kesejahteraan bagi atlet meliputi jaminan kesehatan dan finansial, yaitu berupa pekerjaan layak, tabungan masa depan, serta kebutuhan sehari-hari yang tercukupi. Beranjak dari kondisi ini, apakah mantan atlet Indonesia telah mencapai taraf sejahtera?
Pensiun
Jika melihat dari dua aspek, yaitu kesehatan dan finansial, sebagian besar responden mantan atlet (65 persen) mengaku sudah sejahtera. Dalam artian mereka telah memiliki pekerjaan yang memberikan penghasilan rutin yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menabung.
Namun di luar itu, masih ada satu dari tiga responden yang belum menikmati gambaran ideal tentang kesejahteraan tersebut. Mereka masih harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kondisi tersebut semakin nyata terlihat jika mencermati lebih dalam dari aspek kesejahteraan finansial. Bagian terbesar responden mantan atlet (63,5 persen) menyebutkan dirinya belum sejahtera dari aspek finansial.
Banyak mantan atlet masih harus kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut tentu jauh dari gemilangnya prestasi mereka saat berlaga di berbagai kejuaraan saat masih aktif sebagai atlet.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Mantan atlet angkat besi Winarni di RSCM, Jakarta (6/11/2018). Saat itu, Winarni mendampingi anaknya menjalani operasi penyambungan usus besar ke tenggorokan.
Sebagaimana atlet aktif, problem kesejahteraan finansial ini bersumber dari minimnya penghasilan yang mereka terima. Lebih dari separuh responden menerima penghasilan di bawah Rp 4 juta. Penghasilan yang lumayan mencukupi dirasakan oleh mantan atlet yang mendapat kesempatan menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Minimnya penghasilan ini membuat mantan atlet tidak dapat mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk mempersiapkan masa depannya. Tidak heran jika jaminan masa depan menjadi urgensi bentuk kesejahteraan yang didambakan mantan atlet.
Sedikitnya 35,8 persen mantan atlet mengaku membutuhkan dana pensiun dan jaminan hari tua. Sementara 28,5 persen sangat butuh pekerjaan saat ini, sedangkan 16,8 persen lainnya perlu dana modal usaha.
Dana pensiun atau jaminan hari tua menjadi opsi terbanyak yang konsisten muncul di benak mantan atlet sebagai salah satu unsur penting kesejahteraan. Sayangnya, 75,2 persen mantan atlet ternyata tidak memiliki dana pensiun sama sekali.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Mantan atlet balap sepeda, Hendra Gunawan (77), menunjukkan tiga medali emas yang diraihnya pada Asian Games Jakarta 1962 di kediamannya di Gang Rawasalak, Kecamatan Gunung Puyuh, Kota Sukabumi, Jawa Barat (29/8/2018) silam. Hendra mengalami kebutaan pada kedua matanya sehingga mengganggu perekonomian keluarganya.
Hanya sedikit yang mendapatkan jaminan dari pemerintah, klub, dan sponsor selain pemerintah. Sementara 8 persen mantan atlet memilih mengupayakan sendiri dana pensiunnya. Tak hanya dana pensiun, asuransi kesehatan juga menjadi pekerjaan rumah sebab 35,2 persen mantan atlet belum punya.
Aturan terkait jaminan hari tua sebenarnya telah tertulis di Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2014 tentang Pemberian Penghargaan Olahraga. Namun untuk mendapatkan jaminan itu harus dilalui dengan sejumlah syarat.
Ada tiga ketentuan bagi atlet agar mendapatkan jaminan hari tua, yaitu harus pernah menjadi juara pertama di kejuaraan internasional, meraih juara pertama di tiga kali kejuaraan nasional, atau memecahkan rekor cabang olahraga tertentu.
DIONISIO DAMARA UNTUK KOMPAS
Mantan atlet sprinter 100 m Indonesia, Suryo Agung Wibowo, pada 13 November 2018. Ia mendirikan Suryo Agung Running School untuk membentuk gerakan dasar kepada anak usia dini.
Selain jaminan hari tua, pemerintah memiliki skema bentuk penghargaan lain. Setidaknya ada 11 bentuk penghargaan bagi atlet berprestasi, mulai dari beasiswa, pekerjaan, asuransi, hingga kenaikan pangkat luar biasa. Setiap jenis penghargaan memiliki syarat yang cukup berat.
Beratnya syarat yang harus dilalui atlet harus diimbangi dengan pembinaan yang maksimal agar setiap atlet memiliki kesempatan yang sama agar mampu mencapai prestasi terbaiknya. Pembinaan dan kesempatan bertanding di berbagai kejuaraan dunia juga membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh penghargaan dari pihak lain atau sponsor, serta mampu mengumpulkan dana dari hadiah-hadiah perlombaan untuk hari tuanya.
Hanya saja, pembinaan atlet Indonesia masih menghadapi banyak sekali hambatan. Setidaknya ada tiga penyebab kurang maksimalnya atlet saat masih aktif, yaitu pembinaan yang temporer, payung hukum kesejahteraan belum ada, serta tindak korupsi yang merugikan para atlet.
Kompas
Mantan pelari nasional, Supriati Sutono, dengan koleksi puluhan medali di kediamannya di perumahan Secapa TNI-AD di Hegarmanah, Bandung, Jawa Barat, 11 September 2014. Menjadi aparatur sipil negara (ASN) atau anggota TNI/Polri menjadi salah satu cara menyejahterakan atlet dan mantan atlet.
Harapan
Belum terpenuhinya kesejahteraan bagi mantan atlet menyiratkan harapan perbaikan taraf hidup mereka. Hasil survei Kompas juga menangkap secercah harapan para mantan atlet kepada negara. Tiga poin utama harapan mantan atlet adalah pemberian dana pensiun dan jaminan hari tua, pembinaan dan pendanaan, serta honor atau gaji.
Selain tiga poin itu ada hal lain yang menjadi sorotan terkait sistem pembinaan atlet, yaitu pemenuhan sarana dan prasarana olahraga, pendidikan formal/informal, serta kepastian hukum. Poin terakhir tentang hukum sejalan dengan sejumlah persoalan regulasi status kesejahteraan atlet.
Sayangnya, 75,2 persen mantan atlet ternyata tidak memiliki dana pensiun sama sekali
Kepastian hukum yang disertai sistem pembinaan terstruktur menjadi formula yang dinilai tepat oleh para mantan atlet untuk mencapai kesejahteraan, baik selama masih aktif maupun sudah pensiun. Demi realisasi formula tersebut, pemerintah serta mendorong minat dan regenerasi atlet.
Jangan sampai kisah pilu mantan atlet yang terlantar menjadi penghalang bagi generasi muda bangsa untuk menjadi atlet. Narasi tiga dari empat responden mantan atlet yang menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam melakukan pembinaan atlet memenuhi kesejahteraan atlet harus disapa dengan dukungan regulasi yang jelas.
Kepastian dari aspek hukum setidaknya dapat memberikan harapan baru sekaligus menjaga asa kesejahteraan mantan atlet tetap bersinar di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kemampuan Negara menjamin kesejahteraan mantan atlet merupakan cerminan keberhasilan bangsa menjamin kehidupan warga negaranya yang telah berjuang mengharumkan nama bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca besok: Perkuat Pembinaan demi Kesejahteraan Atlet