Karisma Evi Tiarani tercatat sebagai pemegang rekor Paralimpiade lari 100 meter klasifikasi T42. Namun, Evi tidak tercatat sebagai peraih medali, karena dia finis keempat pada final 100 meter T63 Paralimpiade Tokyo.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
TOKYO, SABTU - Karisma Evi Tiarani terjatuh ke lintasan atletik yang basah akibat hujan tepat setelah melewati garis finis pada final 100 meter putri klasifikasi T63 Paralimpaide Tokyo 2020 di Stadion Olimpiade Tokyo, Sabtu (4/9/2021) malam. Evi berjuang hingga akhir, mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk meraih medali. Namun, usahanya berakhir di posisi keempat di belakang trio sprinter Italia yang memborong medali.
Ambra Sabatini yang baru berusia 19 tahun meraih medali emas sekaligus memecahkan rekor dunia dengan catatan waktu 14,11 detik. Dia melampaui rekor dunia dan paralimpiade 14,37 detik, yang dicetak rekan senegaranya, Martina Caironi, pada babak penyisihan, Sabtu siang. Caironi dalam babak final meraih perak dengan catatan waktu 14,46 detik. Adapun Monica Graziana Contrafatto meraih perunggu dengan waktu 14,73 detik.
Trio Italia yang berada di klasifikasi T63 karena menggunakan bilah prostetik itu, kalah start dari Karisma Evi yang masuk klasifikasi T42 karena tidak menggunakan kaki palsu. Nomor T63 di Paralimpiade Tokyo diikuti oleh atlet dari kedua klasifikasi tersebut, yang memiliki keterbatasan pada kaki setara dengan amputasi salah satu kaki di bawah lutut.
Saat start, Evi langsung melesat meninggalkan trio Italia. Namun, dalam 20 meter awal, Sabatini dan Caironi sudah mendahului atlet berusia 20 tahun itu. Evi masih berada di posisi ketiga hingga separuh jarak. Tetapi Contrafatto bisa segera mendahului Evi dan finis ketiga. Evi terjatuh begitu melintasi garis finis karena memaksa diri mengejar ketertinggalan.
Evi finis keempat dengan catatan waktu 14,83 detik dan tercatat sebagai rekor Paralimpiade 100 meter T42. Hal ini menjadi ironi, karena dia pemegang rekor tanpa medali, pada lomba yang merupakan gabungan T42 dan T63. Dalam babak final itu, dari delapan pelari yang tampil, Evi satu-satunya atlet klasifikasi T42. Evi saat ini juga masih memegang rekor dunia 100 meter T42 dengan 14,72 detik, yang dia cetak saat meraih medali emas Kejuaran Dunia Atletik Paralimpiade di Dubai 2019.
”Evi memang kecewa dengan hasil ini, tetapi itu kenyataan yang harus dia terima. Prostetik startnya lambat, tetapi kecepatan akan lebih tinggi seiring jarak yang ditempuh, juga karena langkahnya bisa lebih panjang,” ujar Kepala Pelatih Atletik Paralimpade Slamet Widodo dari Tokyo.
Menurut Slamet, ada beberapa faktor yang membuat Evi kurang maksimal, salah satunya lintasan basah karena hujan. ”Evi bisa berlari 14,70-an detik dalam kondisi trek kering, tetapi tadi hujan lebat. Kaki palsu yang dipakai oleh ketiga atlet Italia juga bagus karena membuat kaki bisa menekuk. Dulu di Dubai Evi hanya bertemu Contrafatto, dan kaki palsunya beda karena tidak bisa menekuk. Jadi banyak faktor, dan lawan memang berat,” ujar Slamet.
Luar biasa
Cabang atletik sebenarnya menargetkan meraih medali dari Evi, tetapi target itu justru dipenuhi dari nomor 100 meter T37 melalui sprinter Sapto Yogo Purnomo yang meraih perunggu. Ini merupakan medali pertama atletik di ajang Paralimpiade setelah 33 tahun. Medali atletik terakhir diraih pada Paralimpiade Seoul 1988.
”Dari sisi perjuangan para atlet, penampilan mereka luar biasa. Mereka mempersiapkan diri dengan maksimal di tengah pandemi. Satu medali perunggu juga luar biasa karena setelah bertahun-tahun, atletik akhirnya kembali meraih medali Paralimpiade,” ujar pelatih atletik paralimpiade Indonesia Purwo Adi Sanyoto.
Evi memang kecewa dengan hasil ini, tetapi itu kenyataan yang harus dia terima. Prostetik startnya lambat, tetapi kecepatan akan lebih tinggi seiring jarak yang ditempuh, juga karena langkahnya bisa lebih panjang.
”Setelah ini, kami akan mulai fokus mencari bibit-bibit atlet baru untuk kita bina dengan target jangka menengah dan panjang. Nanti kami akan melakukan semacam safari ke daerah-daerah untuk mencari bibit-bibit atlet yang bagus, selain memantau di Peparnas Papua,” ungkap Purwo.
Slamet juga optimistis, dalam Peparnas Papua akan muncul atlet-atlet baru yang potensial untuk dibina menjadi atlet kelas dunia. ”Di Paralimpiade ini, Evi dan Yogo yang muda, lainnya sudah senior, jadi kita akan mencari atlet-atlet muda untuk dibina dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Itu juga menjadi persiapan ke Paralimpiade Paris 2024,” ujar Slamet.
Slamet juga berkaca pada Malaysia dan Thailand yang sudah memiliki tradisi emas dari atletik di Paralimpiade. Pembinaan Malaysia yang fokus pada atlet-atlet tuna grahita membuahkan medali emas lompat jauh T20, sedangkan Thailand yang mendominasi di nomor kursi roda juga sudah meraih empat emas di Tokyo.
”Kita harus mengejar ketertinggalan itu. Kekuatan kita pada atlet-atlet tuna daksa, di Asia kita sudah bisa dominan, tetapi di level dunia masih perlu ditingkatkan. Kita juga perlu terus memetakan kekuatan kita di intellectual impairment dan cerebral palsy untuk meningkatkan kemampuan bersaing,” tegas Slamet.