Zakia Khudadadi dari Afghanistan Menanti Secercah Keajaiban
Nama Khudadadi semestinya telah tercatat dalam sejarah sebagai atlet Paralimpiade perempuan pertama Afghanistan. Namun, kekacauan yang terjadi di Afghanistan membuyarkan semua angan indahnya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Mimpi Afghanistan untuk menyaksikan atlet perempuan pertama mereka tampil di panggung Paralimpiade sirna seketika. Kekacauan di kota Kabul akibat invasi pasukan Taliban membuat dua atlet Paralimpiade Afghanistan gagal berangkat ke Tokyo. Kini mereka menanti secercah keajaiban untuk bisa tetap tampil di Paralimpiade.
”Saya belum kehilangan harapan. Saya masih memiliki harapan bahwa seseorang di luar sana akan membantu,” ucap Zakia Khudadadi (23), atlet putri para-taekwondo Afghanistan, Rabu (18/8/2021).
Itu adalah kata-kata penuh harap yang diucapkan Khudadadi ketika dirinya terjebak di tengah kota Kabul yang saat ini telah jatuh ke tangan pasukan Taliban. Khudadadi, bersama atlet putra para-lari Hossain Rasouli, seharusnya sudah berada di Tokyo, Jepang, pada Selasa (17/8/2021). Mereka berdua mewakili Afghanistan di Paralimpiade.
Nama Khudadadi semestinya telah tercatat dalam sejarah sebagai atlet Paralimpiade perempuan pertama Afghanistan. Namun, kekacauan yang terjadi di Afghanistan membuyarkan semua angan indahnya.
Khudadadi yang seharusnya berjuang di atas arena mewakili Afghanistan kini meringkuk tidak berdaya, berjuang untuk bertahan hidup dari intaian pasukan Taliban. Ia berlindung di salah satu rumah milik keluarga besarnya di kota Kabul setelah turut terjebak di sana saat kekacauan terjadi.
Keluarga besar Khudadadi terdiri atas 10 orang dan mereka kini sedang tidak memiliki cukup makanan. Situasi itu membuat Khudadadi merasa kehadirannya di Kabul menjadi beban tambahan bagi keluarga besarnya. Apa yang bisa dilakukan Khudadadi saat ini hanya berlindung sembari harap-harap cemas tak ditemukan pasukan Taliban.
Ada ketakutan yang berkembang di kalangan atlet di Afghanistan, terutama atlet perempuan. Sebab, mereka akan menjadi sasaran bagi pasukan Taliban untuk dihukum.
Di kota-kota lain di Afghanistan, Taliban dilaporkan telah menyusun daftar nama dan alamat warga. Mereka kemudian pergi mengetuk pintu rumah penduduk satu per satu untuk menemukan pejabat pemerintah, jurnalis, aktivis, dan mereka yang bekerja dengan pasukan sekutu.
”Zakia mengatakan sangat takut untuk pergi ke luar rumah karena akan sangat berbahaya jika Taliban mengenalinya sebagai atlet Paralimpiade,” ujar Arian Sadiqi dari Komite Paralimpiade Afghanistan yang ditunjuk sebagai Ketua Kontingen Afghanistan.
Keluarga inti Khudadadi bermukim di kota Herat. Kota itu termasuk salah satu kota yang paling awal direbut tentara Taliban. Ketika Herat jatuh ke tangan Taliban, Khudadadi dengan berat hati meninggalkan orangtuanya di sana. Ia kemudian menuju ke Kabul untuk melanjutkan latihan dan mempersiapkan diri jelang keberangkatan ke Tokyo.
Namun, tanpa disangka-sangka, serbuan pasukan Taliban berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Mereka bisa segera menguasai Kabul dan memicu kekacauan di ibu kota Afghanistan tersebut. Warga Kabul beramai-ramai melarikan diri sehingga menyebabkan kepadatan serta situasi tak terkendali di bandara.
”Saya meminta dari Anda semua bahwa saya seorang perempuan Afghanistan, dan atas nama semua wanita Afghanistan, untuk membantu saya. Niat saya adalah untuk berpartisipasi dalam Paralimpiade Tokyo 2020. Tolong pegang tangan saya dan bantu saya,” ujarnya.
Sadiqi amat menyayangkan keadaan ini. Apalagi setelah melihat semangat Khudadadi dan Rasouli saat mempersiapkan diri untuk tampil di Paralimpiade. Khudadadi, misalnya, hanya punya waktu dua bulan untuk mempersiapkan diri. Fasilitas latihannya pun ala kadarnya.
Meski demikian, Sadiqi menyebut keduanya tidak mengeluh dan tetap berlatih dengan tekun. ”Mereka benar-benar bersemangat sebelum kekacauan ini. Mereka berlatih di mana pun mereka bisa. Kadang mereka berlatih di taman dan kebun belakang rumah,” katanya.
Mereka benar-benar bersemangat sebelum kekacauan ini. Mereka berlatih di mana pun mereka bisa. Kadang mereka berlatih di taman dan kebun belakang rumah.
Arti penting
Perjuangan Khudadadi untuk tampil di Paralimpiade lebih dari sekadar hasrat menunjukkan eksistensi Afghanistan di dunia olahraga. Lebih dari itu, keberadaan Khudadadi di panggung Paralimpiade bisa menjadi momentum kebangkitan olahraga di Afghanistan. Selama ini, keberadaan atlet perempuan masih merupakan hal langka di sana. Jumlah atlet Paralimpiade bahkan lebih sedikit.
”Di negara-negara seperti Afghanistan, Paralimpiade masih mendapat stigmatisasi. Orang-orang memandang rendah mereka dan tidak melihatnya seperti olahraga yang sehat,” kata Sadiqi.
Geliat Paralimpiade di Afghanistan boleh dibilang telah mati suri. Menurut Sadiqi, dukungan dari Pemerintah Afghanistan terhadap program-program dari Komite Paralimpiade Afghanistan sangat sedikit. Atlet-atlet Paralimpiade mendapatkan uang saku kurang dari 17 dollar AS per bulan.
”Sangat sulit menghadapi begitu banyak kendala ketika tidak ada dukungan dari pemerintah,” katanya.
Sangat sulit menghadapi begitu banyak kendala ketika tidak ada dukungan dari pemerintah.
Di tengah segala keterbatasan itu, Komite Paralimpiade Afghanistan tetap mencoba bertahan. Mereka berusaha mengirim atlet ke Paralimpiade untuk mendapatkan pengakuan. Jika sudah begitu, akan banyak warga Afghanistan yang terinspirasi dan menyadari gerakan Paralimpiade.
Sadiqi mengatakan akan mencoba berbagai cara agar Khudadadi dan Rasouli bisa tampil di Tokyo. Sadiqi berupaya menelepon Komite Paralimpiade Inggris untuk meminta bantuan. Selain itu, dia akan mencoba berbicara dengan Pusat Olahraga dan Hak Asasi Manusia (Centre for Sport and Human Rights) yang berbasis di Swiss. Jawaban dari pihak-pihak yang dimintakan bantuan itu akan memperlihatkan apakah Khudadadi telah salah berharap atau tidak.
”Saya tidak pernah memikirkan hal ini di kepala saya. Mari kita lihat bagaimana akhirnya,” ucap Sadiqi. (AFP/REUTERS)