Menjaga Asa Kebangkitan Jepang sebagai Tuan Rumah Olimpiade Tokyo 2020
Olimpiade Tokyo 2020 menjadi momentum untuk menunjukkan kebangkitan Jepang kepada dunia. Olimpiade juga diharapkan menumbuhkan semangat dan harapan warga Jepang dalam menghadapi situasi pandemi yang tidak menentu.
Olimpiade Tokyo 2020 memiliki arti penting bagi Jepang. Pesta olahraga terbesar ini menjadi momen untuk menunjukkan kebangkitan Jepang setelah mengalami stagnasi ekonomi dan berbagai bencana. Namun, agenda besar ini berada di ambang pertaruhan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang memburuk.
Sepuluh tahun lalu, tepatnya pada 2 September 2011, Tokyo (Jepang) bersama lima kota lain, yaitu Baku (Azerbaijan), Doha (Qatar), Istanbul (Turki), Madrid (Spanyol), dan Roma (Italia), mengajukan diri untuk mengikuti seleksi calon tuan rumah Olimpiade 2020. Sejak saat itu, keenam kota tersebut harus bersaing untuk mendapatkan penilaian tertinggi melalui dua tahapan prosedur pemilihan kota tuan rumah Olimpiade musim panas.
Penilaian pertama didasarkan pada kemampuan kota calon penyelenggara. Sementara tahap kedua adalah penilaian terkait aspek teknis dan pelaksanaan olahraga Olimpiade. Kedua tahapan ini termasuk proses penilaian terhadap data profil pencalonan kota dan kunjungan Komite Olimpiade Internasional (IOC) ke kota-kota calon tuan rumah.
Jepang mengerahkan segala sumber dayanya selama lebih kurang dua tahun untuk menunjukkan kesiapannya sebagai calon tuan rumah. Upaya ini termasuk menjalin dukungan politik untuk menambah suara saat voting dilakukan. Shinzo Abe yang saat itu masih menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang bahkan rela meninggalkan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Rusia demi menghadiri presentasi calon tuan rumah pada Kongres Ke-125 IOC di Buenos Aires, Argentina, pada 7 September 2013.
Perjuangan Jepang tersebut berbuah manis. Pada 7 September 2013, IOC mengumumkan Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade 2020.
Pengumuman tersebut disambut meriah oleh Shinzo Abe dan juga rakyat Jepang. Warga Tokyo sangat bersukaria. Mereka sampai membuat konfigurasi yang membentuk kata ”thank you” di Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo sebagai sambutan atas terpilihnya Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade 2020.
Pemerintah Jepang langsung menganggarkan biaya untuk mempersiapkan pesta olahraga itu. Anggaran yang diajukan cukup besar, yaitu 301,3 miliar yen atau sekitar 2,5 miliar dollar AS.
Anggaran tersebut kemudian meningkat hingga enam kali lipat pada 2015. Berdasarkan kalkulasi panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo dan Paralimpiade Tokyo serta Pemerintah Kota Tokyo, biaya penyelenggaraan naik menjadi 1,8 triliun yen atau 14,85 miliar dollar AS.
Peningkatan biaya persiapan disebabkan oleh meningkatnya biaya pengamanan dari aksi teroris, penambahan jumlah anggota panitia, serta pembangunan fasilitas guna penyelenggaraan Olimpiade. Anggaran tersebut juga termasuk pembangunan area atletik senilai 2,5 miliar dollar AS, biaya sewa bangunan (2,2 miliar dollar AS), kemananan (1,6 miliar dollar AS), dan transportasi sebesar 1,5 miliar dollar AS (Kompas, 21 Desember 2015).
Jepang juga membangun ulang Stadion Nasional yang sebelumnya dibangun khusus untuk perhelatan Olimpiade Tokyo 1964. Arsitek Jepang, Kengo Kuma, ditugaskan untuk mendesain bangunan baru stadion itu dengan biaya 153 miliar yen (Rp 17,3 triliun) untuk desain, pembangunan, dan perawatan.
Perhitungan ekonomi
Sambutan meriah dan anggaran besar tersebut menunjukkan keseriusan Jepang untuk menyelenggarakan Olimpiade. Apalagi, momen tersebut telah ditunggu bertahun-tahun setelah Olimpiade Tokyo 1964. Sejak saat itu, Jepang telah empat kali mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade musim panas, yaitu untuk Olimpiade 1988, 2008, 2016, dan 2020. Namun, hanya seleksi tuan rumah Olimpiade 2020 yang berhasil dimenangi.
Menariknya, kegigihan Jepang dalam pencalonan diri sebagai tuan rumah Olimpiade berkebalikan dengan mulai berkurangnya kota yang tertarik untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Sebagai gambaran, untuk Olimpiade 2004 terdapat 11 kota yang bersaing demi berhasil menjadi tuan rumah.
Ironisnya, menuju Olimpiade 2024, hanya ada dua kota yang meneruskan proses seleksi tuan rumah, yaitu Paris, Perancis, dan Los Angeles, Amerika Serikat. Padahal, dalam pengajuan awal, Budapest (Hongaria), Hamburg (Jerman), dan Roma (Italia) turut bersaing. Namun, ketiganya mengundurkan diri setelah sebagian besar masyarakatnya menolak dengan alasan biaya besar yang digunakan tidak memberikan keuntungan jangka panjang.
Alasan tersebut masuk akal melihat pada penyelenggaraan sebelumnya, biaya akhir Olimpiade melebihi estimasi biaya yang dianggarkan. Pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016, misalnya, anggaran yang diajukan sebesar 14 miliar dollar AS. Namun, pada akhirnya pembiayaan untuk acara ini mencapai 20 miliar dollar AS. Lalu pada Olimpiade London 2012, pembiayaan akhir mencapai 18 miliar dollar AS dari yang seharusnya 5 miliar dollar AS.
Selain biaya yang membengkak, pemerintah dan masyarakat kota yang menolak penyelenggaraan Olimpiade melihat bahwa pembangunan fasilitas untuk Olimpiade akan sia-sia. Sebab, pada akhirnya bangunan-bangunan tersebut mangkrak karena biaya pemeliharaan besar dan tidak lagi digunakan.
Terlepas dari hal itu, Jepang memiliki penilaian sendiri terhadap keuntungan dari penyelenggaraan Olimpiade. Shinzo Abe meyakini, Olimpiade Tokyo akan memberi napas baru bagi perekonomian. Ia mengatakan, pilar pendorong ekonomi akan bertambah, selain adanya pelonggaran moneter, stimulus anggaran, dan reformasi ekonomi. Apalagi, selama 15 tahun sebelum 2003, Jepang mengalami deflasi perekonomian.
Simbol kebangkitan
Di sisi lain, ada nilai lebih yang diperhitungkan Jepang jika penyelenggaraan pesta olahraga global ini berhasil. Olimpiade menjadi momentum untuk menunjukkan kebangkitan Jepang kepada dunia. Hal ini telah dikatakan Shinzo Abe sejak awal, ”Olimpiade 2020 menjadi kesempatan emas bagi Jepang untuk memperlihatkan kepada dunia, bagaimana kami mampu bangkit kembali setelah tragedi gempa bumi dahsyat menimpa wilayah timur negeri ini.”
Meneguhkan pernyataan itu, Profesor Jack Anderson, Kepala Hukum Olahraga Melbourne Law School University of Melbourne, mengatakan, Olimpiade Tokyo 2020/2021 ini menjadi agenda simbol kebangkitan Jepang. Sebab, Jepang telah mengalami stagnasi ekonomi dalam waktu yang lama, bencana tsunami, dan nuklir Fukushima.
Momen Olimpiade Tokyo 2020 ini seolah menggaungkan kembali semangat kebangkitan 56 tahun lalu dalam Olimpiade Tokyo 1964. Saat itu, Olimpiade menjadi momen Jepang untuk menunjukkan kebangkitannya setelah kalah dalam Perang Dunia II. Pesta olahraga ini menandai transformasi 20 tahun Tokyo dari reruntuhan bom menjadi kota modern.
Tokyo melakukan pembenahan dan pembangunan kota besar-besaran, yang kemudian menjadi warisan kota itu hingga saat ini. Desain bangunan dan teknologi modern hingga desain poster Olimpiade karya Yusaku Kamekura menjadi simbol bahwa Jepang telah muncul kembali sebagai negara yang kuat dan setara dengan negara barat.
Serupa dengan itu, pada Olimpiade Tokyo 2020, Jepang menyuguhkan kecanggihan teknologinya dalam publikasi dan penyelenggaraannnya. Ini pun untuk meyakinkan dunia bahwa Jepang patut diperhitungkan sebagai negara pengekspor teknologi terbaik di dunia.
Tak cukup dengan itu, ada aspek geopolitik yang sarat dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Ajang perlombaan olahraga terbesar ini menjadi citra Jepang untuk berhadapan dengan saingan regionalnya, yaitu China, yang akan menyelenggarakan Olimpiade musim dingin tahun depan. Jika Jepang batal dan gagal dalam penyelenggaraan Olimpiade tahun ini, kesempatan China untuk menunjukkan keunggulannya semakin besar.
Tantangan pandemi
Agenda besar Jepang dalam Olimpiade Tokyo 2020 mungkin dapat berhasil dalam situasi normal. Sayangnya, hantaman pandemi membuat cita-cita tersebut menjadi pertaruhan sekaligus peluang bagi Jepang. Menjadi pertaruhan karena penyelenggaraan tetap berjalan di tengah situasi pandemi yang tidak hanya mengancam keselamatan atlet dan masyarakat, tetapi juga kerugian ekonomi Jepang.
Pemerintah Jepang harus menghadapi tekanan penolakan penyelenggaraan Olimpiade saat pandemi dari masyarakatnya sendiri. Bahkan, hingga Sabtu (17/7/2021), demonstrasi penolakan ini masih terjadi di Tokyo.
Baca juga : Pertaruhan Tokyo di Masa ”Pericoloso”
Pemerintah Jepang kemudian memutuskan penyelenggaraan Olimpiade dilakukan tanpa penonton. Keputusan ini harus dikeluarkan melihat situasi pandemi yang memburuk. Jepang sendiri telah menunda pelaksanaan Olimpiade yang seharusnya diselenggarakan tahun lalu.
Tanpa penonton, Jepang mengalami kerugian ekonomi sebesar 23,1 miliar dollar AS. Keuntungan yang didapatkan Jepang dari promosi acara olahraga dan budaya setelah Olimpiade selesai diperkirakan akan berkurang 50 persen dengan nilai mencapai 8,2 miliar dollar AS. Ini belum termasuk keuntungan yang hilang akibat pembatalan dan pengurangan stan oleh sponsor-sponsor.
Situasi yang di luar dugaan ini memang harus dihadapi Jepang sebab penyelenggaraan Olimpiade tidak dapat dibatalkan oleh pihak tuan rumah. Berdasarkan perjanjian antara IOC dan Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade, pembatalan dapat dilakukan hanya berdasarkan keputusan dan persetujuan IOC. Kondisi yang dapat mendorong adanya pembatalan adalah situasi perang atau kekacauan sipil serta ancaman keamanan dan keselamatan peserta berdasarkan penilaian IOC.
Di tengah laju penularan Covid-19 di Tokyo yang meningkat jelang Olimpiade, memang adalah pilihan tepat membatalkan seluruh tiket penonton agar tidak menimbulkan kerumunan. Namun, hal itu saja belum cukup.
Upaya tersebut harus diimbangi dengan pengawasan protokol kesehatan secara ketat dan penambahan frekuensi tes. Sebab, dalam gelembung (bubble) para atlet dan timnya, Covid-19 masih saja ditemukan. Ini terjadi pada tujuh anggota staf hotel di Hamamatsu tempat tim atlet Brasil menginap.
Baca juga : Ambisi Ekonomi di Balik Olimpiade
Di lingkup masyarakat, pengetatan protokol kesehatan juga dilakukan. Hal ini juga perlu disertai percepatan vaksinasi mengingat per 11 Juli 2021, baru 29 persen populasi yang menerima vaksinasi pertama dan 18 persen yang sudah divaksinasi lengkap.
Di sisi lain, upaya keras tersebut dapat memupuk asa kebangkitan yang dicita-citakan melalui Olimpiade. Jika Jepang menunjukkan keseriusannya menjaga keamanan dan keselamatan atlet, tim, dan masyarakat, Olimpiade ini akan menumbuhkan semangat dan harapan dalam menghadapi situasi pandemi yang tidak menentu. Akan tetapi, sekali lagi hal itu bergantung pada keberhasilannya menyelenggarakan Olimpiade dengan aman dan memastikan laju penularan Covid-19 tidak meningkat di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Olimpiade, Antara Kemuraman dan Harapan akan Kegembiraan