Gareth Southgate menghidupkan spirit Inggris seperti pernah didengungkan Winston Churcill, 81 tahun silam. Kemenangan atas Jerman telah mengangkat rakyat Inggris dari penderitaan. Sejarah baru pun menanti mereka di Roma.
Oleh
Trias Kuncahyono
·5 menit baca
Rasanya seperti baru kemarin, mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill berpidato di depan Parlemen Inggris yang isinya menjanjikan kemenangan melawan Jerman. Semua yang diucapkan Churchill masih terngiang jelas. PM Inggris yang baru beberapa hari ditunjuk itu secara tegas menyatakan akan mempersembahkan ”darah, kerja keras, air mata, dan keringat” demi tercapainya kemenangan Inggris.
Padahal, pidato itu disampaikan pada 13 Mei 1940 silam. Inilah pidato terkenal yang lantas memompa moral pasukan Inggris. Pidato ini menginspirasi Inggris untuk melawan musuh yang saat itu sepertinya tidak terkalahkan: Nazi Jerman. Kemudian, pada 18 Juni 1940, Churchill kembali menyampaikan pidato untuk melanjutkan perang melawan Jerman. Di akhir pidatonya, Churchill mengatakan, ”Sekarang adalah saat yang terbaik.”
Janji Churchill itu menjadi kenyataan. Pada 7 Mei 1945, Jerman menyerah tanpa syarat. Perang Dunia II berakhir. ”Saudara-saudara sebangsa setanah air, ini bukan kemenangan partai atau kelas mana pun. Ini adalah kemenangan bangsa Inggris yang besar secara keseluruhan,” kata Churchill penuh kebanggaan. Padahal, kemenangan itu diraih berkat dukungan pasukan Sekutu, yaitu Rusia dan Amerika Serikat.
Tujuh tahun sebelumnya, pada 1938, di ”medan perang” yang lainnya, kesebelasan Inggris mempermalukan Jerman di rumahnya sendiri. Di Stadion Olimpiade Berlin, di hadapan 110.000 pendukungnya, Jerman dihancurkan Inggris, 3-6. Sebuah foto memperlihatkan tim kesebelasan Inggris memberikan salam Nazi saat lagu kebangsaan Jerman diperdengarkan sebelum laga itu dimulai.
Padahal, bagi Adolf Hitler (juga Benito Mussolini di Italia), pertandingan sepak bola diyakini menjadi sarana propaganda paling tepat karena mampu menarik massa di stadion. Tetapi, pada waktu itu, Jerman dipermalukan. Sejak saat itu, hingga tahun 1968, Jerman tidak pernah menang. Dari tiga kali pertemuan dalam pertandingan persahabatan, tiga kali Jerman kalah. Bahkan, pada 1966 di Inggris, Jerman harus mengakui keunggulan tuan rumah dengan skor 2-4 di Piala Dunia.
Akan tetapi, setelah Piala Dunia Inggris 1966, terjadi titik balik. Jerman gantian mendominasi. Sejak 1966 hingga 2017, dari 24 kali pertemuan, 15 kali Inggris kalah, tiga kali seri, dan hanya enam kali menang.
Sejak saat itu, terjadi permusuhan di antara kedua negara itu dalam dimensi sejarah dan politik. Padahal, sebetulnya, musuh bebuyutan Jerman—dalam sepak bola—adalah Belanda. Adapun musuh tradisional Inggris adalah Skotlandia. Tetapi, selalu ada yang menarik, penuh gairah, dan kontroversi dalam pertemuan Inggris dan Jerman. Menurut David Downing, Inggris versus Jerman adalah The Best of Enemies (2001).
Maka, bagi Jerman, Piala Eropa 2020 adalah momen untuk mempertegas dominasi mereka atas Inggris sejak 1968. Sejak saat itu, Jerman mengklaim sebagai negara sepak bola utama di Eropa. Sementara bagi Inggris, inilah kesempatan untuk menghentikan Jerman. Toh, mereka memiliki pengalaman pernah mempermalukan Jerman di kandangnya sendiri, Stadion Olimpiade Muenchen, 2001 silam. Saat itu, Inggris menaklukkan Jerman, 5-1, di kualifikasi Piala Dunia 2002.
Perlombaan kekuatan
Sejarah hubungan Inggris dan Jerman sarat persaingan. Keduanya pernah bersaing untuk menjadi kekuatan laut terbesar dan terkuat. Perlombaan kekuatan angkatan laut Inggris dan Jerman bisa disebut rangkaian persaingan paling spektakuler dalam pembangunan persenjataan maritim sebelum Perang Dunia I. Persaingan itu sering digambarkan sebagai perlombaan senjata pertama dan purwarupa persaingan di antara negara-negara industri modern.
Didorong keinginan mewujudkan Kekaisaran Jerman menjadi kekuatan dunia, RUU Angkatan Laut negara itu pada 1898 dan 1900 menetapkan arah untuk ekspansi angkatan laut besar-besaran ke wilayah yang ada di bawah kekuasaan Inggris yang waktu itu merajalela sebagai kekuatan laut (Dirk Bönker, 2015). Persaingan ini mewarnai pertempuran mereka pada masa Perang Dunia II.
Maka itu, pertemuan Inggris dan Jerman di lapangan hijau pun selalu dikategorikan sebagai pertandingan penting dan besar, meskipun Pelatih Inggris Gareth Southgate mengatakan duel mereka sebelumnya ”tidaklah relevan” dengan skuad saat ini. Pasukan Southgate ingin menuliskan catatan baru di buku sejarah, sepanjang mereka mampu.
Pasukan Southgate mampu menulis sejarah, momen mereka sendiri tanpa rasa takut, beban, maupun bayangan hantu masa lalu. Mereka, seperti dikatakan Churcill pada 81 tahun silam, telah mempersembahkan darah, kerja keras, air mata, dan keringat.
Maka itu, mengalahkan Jerman telah mengembalikan ”jati diri” Inggris sebagai negara asal-muasal sepak bola sekaligus merebut kembali tempat di antara jajaran elite sepak bola dunia. Mengalahkan Jerman adalah solusi paling jitu untuk keluar dari ”hantu-hantu” kekalahan masa lalu, hal yang menurut istilah mereka adalah ”naga-naga kekalahan masa silam” yang terus membayangi. Maka, mereka menyebutnya ”seperti muncul dari mimpi”.
Hal itu persis dengan kemenangan Inggris pada Perang Dunia I. Bagaimana seandainya pasukan Jerman menjejakkan kakinya di daratan Inggris? Saat itu, pasukan Jerman hampir menguasai seluruh daratan Eropa, kecuali Inggris.
Sebuah studi yang dilakukan Universitas York, Inggris, mengungkapkan, Jerman bisa memenangi perang seandainya mereka membuat beberapa perubahan kecil strateginya, yakni segera menyerang Inggris setelah Churchill berpidato pada 18 Juni 1940. Kesalahan besar Jerman lainnya adalah tidak melanjutkan menggempur lapangan udara Inggris setelah serangan pertama pada 13 Agustus 1940.
Hal itu mirip terjadi di laga Inggris versus Jerman, kemarin. Joachim Loew, pelatih Jerman, mungkin sudah yakin dengan taktiknya karena selama ini unggul. Tetapi, Southgate, yang tidak mau dikuasai lagi oleh ”naga-naga kekalahan dan kegagalan masa lalu”, hanya meminta pasukannya untuk membuat sejarah baru. Sejarah baru itu pun kini telah ditulis.
Maka itu, kemenangan atas Jerman adalah solusi keluar dari penderitaan dan ancaman sangat mengerikan. Kemenangan kali ini, 2-0, adalah solusi keluar dari hantu-hantu kekalahan masa lalu serta pembebasan dari kecemasan mengerikan setiap kali bertemu Jerman, beberapa dekade terakhir. Maka, sekarang, Inggris tidak akan lagi pernah mengenang, kapan kalah dari Jerman. Mereka mengenang, kapan membuat Jerman bertekuk lutut.
Hingga kemarin, Jerman selalu berteriak lantang, ”Empat Piala Dunia dan tiga Piala Eropa.” Teriakan itu dibalas Inggris, ”Dua Perang Dunia dan satu Piala Dunia.” Sekarang, teriakan itu ditambah ”Satu Piala Eropa”, meski belum selesai.
Jarak antara satu kemenangan besar dan kekalahan mengenaskan terkadang hanya berbeda satu langkah. Bahkan, kadang-kadang hanya dengan langkah pendek, seperti yang dialami Inggris pada Piala Dunia 2010, yaitu kalah 1-4.
Namun, kemarin, pasukan Southgate mampu menulis sejarah, momen mereka sendiri tanpa rasa takut, beban, maupun bayangan hantu masa lalu. Mereka, seperti dikatakan Churcill pada 81 tahun silam, telah mempersembahkan ”darah, kerja keras, air mata, dan keringat” demi menghancurkan kebanggaan Jerman.
Mengalahkan Jerman, bagi tim Inggris, adalah tugas suci sejarah, segala-galanya. Namun, bagaimana nanti saat berhadapan dengan Ukraina di Roma, Italia? Kiranya, orang-orang Inggris akan suka mengutip yang dikatakan Santo Austinus (354-430), ”Roma locuta est, causa finita est (Roma bicara, semua perkara selesai). Di Roma, tinta sejarah akan menuliskan catatan barunya sendiri. Sejarah tak mau didikte, punya kehendaknya sendiri.