Perkuat Sinergi Pemerintah dan Swasta
Dalam revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional, perlu ditegaskan pembagian peran pemerintah dan swasta dalam pembinaan olahraga. Selama ini, kedua pihak cenderung berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada sinergi.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional terus dilakukan. Salah satu usulan utama ialah perlu ada penguatan peran antara pemerintah dan swasta dalam pembinaan olahraga nasional ke depan.
Selama ini, pemerintah dan swasta acap kali berjalan sendiri-sendiri. Dalam kondisi tidak mudah, sejumlah swasta konsisten dengan upayanya turut berkontribusi memperbaiki pembinaan olahraga nasional.
Demikian mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) oleh Komisi X DPR RI secara daring, Senin (31/8/2020). Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR ini mengundang sejumlah narasumber, seperti perwakilan atlet, guru olahraga, pakar sains olahraga, dan sejumlah pengurus olahraga yang dikelola swasta.
Dalam hal ini, Liga Kompas Kacang Garuda (LKG) U-14 ikut diundang dan diwakili direkturnya, E Caesar Alexey. Ia mengatakan, LKG U-14 bergulir sejak 2010. Kehadiran liga sepak bola usia muda ini untuk mengisi kekosongan kompetisi usia muda di Indonesia yang nyaris tidak ada pada saat itu.
Baca juga: Revisi UU SKN Kunci Perbaikan Prestasi
Dalam perjalanannya, operator LKG U-14 sangat menjunjung semangat kejujuran dan sportivitas. Mereka melakukan pengecekan ketat agar tidak ada pencurian usia peserta. Mereka tak segan-segan memberikan sanksi kepada pemain, pelatih, hingga pendukung salah satu sekolah sepak bola (SSB) peserta yang berlaku tidak sopan, tidak sportif, ataupun melanggar aturan.
Kompetisi itu hadir bukan untuk mengejar prestasi semata, melainkan juga mengajak semua pihak terlibat menjalani pembinaan pesepak bola usia muda secara ideal, layaknya di negara elite Asia dan Eropa. Pelatih setiap SSB diminta memberikan kesempatan bermain untuk semua pemain yang dimiliki.
Lebih-lebih, pengelola liga memberikan bekal pendidika etika dan aturan bermain kepada pemain, pelatih, hingga penonton/pendukung semua SSB peserta di awal liga di setiap musim. Mereka juga memberikan bekal ilmu taktik strategi, asupan gizi, dan cara menghindari cedera.
”Kami pun melakukan pencatatan statistik lengkap per pemain dan rekaman video. Cara ini turut membantu semua SSB peserta untuk mengevaluasi performa tim ataupun pemain dan menyusun taktik strategi lebih baik,” ujar Caesar.
Berkat segenap cara itu, LKG U-14 bekerja sama dengan SKF Indonesia mampu membentuk tim tangguh untuk bersaing di Piala Gothia (Piala Dunia-nya pesepak bola usia muda) di Gothenburg, Swedia. Tim itu pernah duduk di peringkat kedua pada 2013 dan peringkat ketiga pada 2012 serta 2018. Alumnus LKG U-14 banyak pula yang menghiasi tim nasional sejumlah kelompok usia, antara lain penyerang timnas U-23 Egy Maulana Vikri.
Hambatan
Hanya saja, di tengah upayanya untuk turut membenahi pembinaan sepak bola nasional, LKG U-14 tetap tak lepas dari hambatan. Operator masih mengalami kesulitan mencari stadion yang layak untuk menggelar kompetisi. Sejauh ini, mereka menggunakan GOR Ciracas di Jakarta Timur karena fasilitas memadai dan harga sewa terjangkau. Akan tetapi, kualitas lapangannya patut diperbaiki karena tidak rata dan gundul di beberapa tempat.
LKG U-14 juga mengalami keterbatasan dana dan sponsor. Mereka tidak pernah mendapatkan bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun badan usaha milik negara (BUMN). ”Di samping itu, perekrutan pemain SSB peserta oleh klub Elite Pro Academy U-16 Liga 1 tanpa kompensasi yang layak bagi SSB bersangkutan sehingga tidak ada dukungan dana untuk mengembangkan SSB menjadi lebih baik,” kata Caesar.
Secara keseluruhan, Caesar menuturkan, akar masalah sepak bola Indonesia adalah pembinaan pesepak bola usia muda yang belum ideal. Sejauh ini, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) lebih memilih cara instan, antara lain lewat naturalisasi pemain asing menjadi WNI.
Baca juga: Utamakan Potensi Pemain Lokal
Walakin, PSSI tidak sepenuhnya disalahkan. Sebab, PSSI pun terkendala biaya untuk menggelar kompetisi usia muda di seluruh Indonesia. Atas dasar itu, dalam revisi UU SKN, harus ada sinergi antara pemerintah dan swasta agar pembinaan pesepak bola usia muda menjadi lebih baik.
Idealnya, kompetisi usia muda dari U-12 hingga U-18 digelar di seluruh daerah, antara sekolah formal atau SSB. Agar terwujud, perlu ada amanat untuk pemerintah untuk menggelar kompetisi tersebut. Pemerintah melalui Dinas Pemuda dan Olahraga atau Dinas Pendidikan berperan menyediakan lapangan atau arena yang layak.
Bagi swasta yang turut berkontribusi pada pembinaan olahraga usia dini, terutama sepak bola, selayaknya ada intensif khusus untuk keringanan pajak.
Lalu, mereka patut membentuk operator kompetisi di setiap kelompok umur melalui swasta, yayasan, ataupun pemerintah sendiri. ”Bagi swasta yang turut berkontribusi pada pembinaan olahraga usia dini, terutama sepak bola, selayaknya ada intensif khusus untuk keringanan pajak,” tuturnya.
Rangkul swasta
Ketua PB Djarum Yoppy Rosimin berharap pemerintah merangkul swasta dalam pembinaan olahraga nasional. PB Djarum misalnya. Mereka sudah berkiprah dalam pembinaan pebulu tangkis nasional sejak 1969. Lewat pembinaan dan program audisi bibit pebulu tangkis baru, mereka banyak mencetak pebulu tangkis andalan Indonesia, mulai dari pebulu tangkis tunggal putra Liem Swie King di era 1970-180-an hingga pebulu tangkis ganda putra Kevin Sanjaya di era sekarang.
Namun, upaya besar itu sempat diusik kontroversi tuduhan eksploitasi anak oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Audisi PB Djarum 2019 pun sempat terganggu dan dihentikan.
Padahal, audisi saat itu menyita minat sangat besar, yakni 4.119 peserta dari lima kota. ”Kalau audisi ini dihentikan, peluang untuk lahir bibit pebulu tangkis baru akan terdampak buruk. Sebab, selama ini, kami turut mencari bibit-bibit potensial di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Keringanan pajak
Selain itu, Yoppy sangat mendukung ada keringanan pajak untuk swasta atau sponsor yang turut berkontribusi terhadap pembinaan olahraga di Tanah Air. ”Kami menyarankan pula ada keringanan pajak untuk bonus maupun sponsor atlet. Selama ini, bonus dan sponsor yang diterima atlet ada potongan pajak cukup besar. Padahal, usia emas atlet sangat terbatas dan bonus ataupun sponsor sangat membantu mereka untuk menyiapkan diri pasca pensiun dari atlet,” katanya.
Dede Yusuf mengutarakan, seyogianya memang harus ada sinergi antara pemerintah dan swasta dalam pembinaan olahraga nasional. Pemerintah dari daerah dan pusat didorong bertanggung jawab untuk pembinaan atau pembibitan atlet, sedangkan swasta bisa terlibat dengan menyediakan wadah kompetisi.
”Dalam revisi UU SKN, harus ditegaskan pembagian peran pemerintah daerah hingga pusat dan swasta agar pembinaan olahraga menjadi optimal,” tuturnya.
Anggota Komisi X DPR, Andreas Pareira, menyampaikan, selain bertanggung jawab terhadap pembinaan atau pembibitan atlet, pemerintah pula yang perlu menyediakan fasilitas untuk pembinaan tersebut. Tujuannya, agar swasta bisa fokus untuk menyediakan kompetisi berkualitas, seperti dilakukan oleh LKG U-14.
Revisi UU SKN sudah diusulkan sejak tahun lalu dan telah memasuki tahap pembahasan saat ini. Sejauh ini, banyak usulan untuk mengubah sejumlah poin dari UU yang telah berusia 15 tahun tersebut. Bahkan, kalau revisi lebih dari 50 persen, tak tertutup kemungkinan akan lahir UU baru. ”Kami tidak akan terburu-buru melakukan panja. Kami targetkan UU ini selesai April 2021,” kata Dede.