Hari Ulang Tahun Ke-105 PSM Makassar masih terbilang lima bulan lagi, yakni 2 November 2020. Namun, jauh-jauh hari, kado istimewa untuk klub kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan itu sudah terkemas apik.
Oleh
Nasrullah Nara
·5 menit baca
Hari Ulang Tahun Ke-105 Persatuan Sepak Bola Makassar atau PSM masih terbilang lima bulan lagi, yakni 2 November 2020. Namun, jauh-jauh hari, kado istimewa untuk klub kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan itu sudah terkemas apik.
Sebuah buku tentang sejarah dan kiprah klub tersebut di belantika sepak bola Tanah Air siap diluncurkan. Judulnya Satu Abad PSM Mengukir Sejarah. Buku setebal 684 halaman tersebut berisi sejarah kelahiran PSM di era Hindia Belanda tahun 1915 (dengan nama semula Makassaarche Voetbal Bond); torehan prestasi tingkat nasional di era perserikatan dan Liga Indonesia; sumbangsih pemain ke tim nasional; hingga keikutsertaan klub ini mewakili Indonesia di kancah AFC.
Bersampul dominasi warna merah, buku ini ditulis oleh dua orang yang pernah ”menukangi” PSM di bidang media dan hubungan masyarakat, yakni M Dahlan Abubakar dan Andi Widya Syadzwina. Kedua penulis bisa disebut duet yang padu lintas generasi. Dahlan adalah sosok yang malang melintang bersama PSM pada era perserikatan. Adapun Syadzwina yang akrab disapa Wina mewakili era pasca-peserikatan (Liga Indonesia), pernah menjadi media officer PSM tahun 2011-2014 dan 2017-2019.
Ini persembahan kami untuk klub sepak bola yang sudah hadir dengan sederet prestasi di tingkat nasional. (M Dahlan Abubakar)
”Buku ini sebagai persembahan kami untuk klub sepak bola yang sudah hadir dengan sederet prestasi di tingkat nasional. Salah satu aspek menariknya, klub ini diperkuat pemain multi-etnik sejak zaman prakemerdekaan hingga kini,” ujar Dahlan Abubakar saat dihubungi di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (14/6/2020).
Sedianya buku ini diluncurkian Maret lalu. Undangan sudah beredar, tetapi acara urung dihelat karena pandemi Covid-19. Akhirnya, acara peluncuran dijadwal ulang untuk Juli-Agustus.
Dahlan mencatat, sejauh yang diketahui, buku ini merupakan karya pertama yang berkisah tentang satu klub sepak bola tertua di Indonesia secara lengkap. Meskipun fokusnya pada klub PSM, buku terbitan Fandom ini juga merupakan kepingan sejarah bagi sejumlah klub di Indonesia, baik yang pernah berhadapan dengan PSM di berbagai ajang tingkat nasional, termasuk perserikatan, maupun kompetisi lainnya, termasuk Liga Indonesia.
Sejumlah klub lain yang punya nama besar di Tanah Air dan pernah kontra dengan PSM ikut diulas sekilas, seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSMS Medan, Persipura Jayapura, PSIS Semarang, dan Arema Malang.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengapresiasi karya ini sebagai sesuatu yang strategis inspiratif bagi insan sepak bola di daerah Sulsel maupun di Tanah Air pada umumnya. ”Semoga memberi motivasi dalam peningkatan prestasi olahraga, khususnya sepak bola,” harap Nurdin dalam pengantarnya. Dia menyebut PSM telah menjadi milik publik sepak bola di Indonesia karena beberapa kali membawa bendera negara dalam berbagai ajang kejuaraan di dalam dan luar negeri.
Multikultur
Dahlan yang pensiunan dosen, jurnalis, dan kini menekuni dunia kepenulisan mencermati, nuansa multikultur kental mewarnai perjalanan sejarah PSM, sejak berdiri tahun 1915 oleh pemerintah Hindia Belanda. Semangat toleransi sangat tampak karena para pemainnya terdiri atas beragam suku dan asal-usul.
Ada keturunan Tionghoa, Ambon, Manado, dan tentu saja Bugis-Makassar-Mandar-Toraja. Bahkan, sejak era perserikatan bertransformasi menjadi liga Indonesia, PSM tidak saja diperkuat para pemain domestik, tetapi juga dari mancanegara. Pelatih domestik dan asing pun gonta-ganti membesut kesebelasan berjuluk ”Ayam Jantan dari Timur”, ”Juku Eja”, dan ”Laskar Pinisi” ini. Dahlan memaknai situasi tersebut sebagai bagian dari upaya mengikis fanatisme sempit dan menguatkan kesadaran nasionalisme di samping membangun wawasan global.
Torehan prestasi
PSM mulai ikut kompetisi nasional pada tahun 1951 yang masa itu bernama kejuaraan nasional. Pada era perserikatan, PSM tercatat lima kali meraih gelar juara, masing-masing pada musim 1955-1957, 1957-1959, 1964-1965, 1965–1966 dan 1991-1992.
Adapun di era Liga Indonesia, PSM meraih gelar di musim 1999/2000. Terakhir, PSM meraih trofi juara Piala Indonesia 2019 saat mengalahkan Persija Jakarta dengan agregat 2-1. Dalam kiprahnya di perserikatan dan era liga, PSM merupakan salah satu tim yang belum pernah terdegradasi dari divisi I. Prestasi di Piala Indonesia 2019 mengantar PSM meraih satu tiket untuk berlaga di AFC tahun 2020. Tahun sebelumnya, PSM juga mewakili Indonesia untuk ajang AFC setelah mencatat prestasi peringkat kedua Liga Indonesia. Saat itu, PSM mampu tembus babak perempat final.
Pemasok ke timnas
Proses penyusunan buku ini hanya memakan waktu beberapa bulan, bermula dari pertengahan 2019, saat muncul niatan untuk memberi kado bagi PSM yang baru saja meraih Piala Indonesia. Tidak terlalu sulit bagi Dahlan untuk menulis buku 23 bab ini. Sebab, sebelumnya, lelaki berkacamata ini telah menelurkan buku Ramang Macan Bola yang terbit tahun 2011 dan diluncurkan di Wisma Kemenpora, Jakarta, 9 Agustus 2011.
Sebagian data yang ada di dalam buku tersebut dikembangkan dengan wawancara dan dokumentasi liputan sejumlah media nasional, termasuk Kompas.
Ramang adalah ikon PSM yang juga tercatat sebagai pemain sepak bola nasional yang legendaris. Tak kurang dari Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) melalui laman resminya (www.fifa.com) mengenang kehebatan pria yang lahir 1924 dan meninggal 1987 ini.
Artikel berjudul Indonesian who inspired \'50s meridian itu mengulas kelincahan Ramang mengolah si kulit bundar saat memperkuat Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956. Ajang itu dianggap puncak sukses timnas Indonesia di level internasional. Waktu itu Indonesia berjumpa Uni Soviet. Beberapa kali Ramang bergerak lincah mengancam gawang pemain belakang Uni Soviet. Kalau saja baju Ramang tak ditarik oleh pemain belakang Uni Soviet, bisa jadi laga tak berkesudahan dengan skor kacamata (0-0).
Nama lain yang ikut mengharumkan nama PSM di kancah nasional di era 1950-an antara lain Maulwi Saelan dan Stepanuns Pattinasarany.
Pada era berikutnya muncul juga nama Ronny Pattiranasarany, Ronny Ririn, Syamsul Chaeruddin, Hamka Hamzah, dll. Nama yang paling santer disebut-sebut bakal masuk ke timans adalah Asnawi Mangkualam Bahar, putra Bahar Muharram, salah satu ikon PSM di era perserikatan.
Kendala stadion
Sayangnya, PSM yang menjadi gudang pemain berbakat tidak ditopang dengan ketersediaan fasilitas stadion yang memadai. Stadion Andi Mattalatta yang ditempati selama ini sebagai kandang tergolong tua karena dibangun tahun 1957. Selain konstruksinya sudah rapuh, kapasitasnya yang hanya maksimal 15.000 penonton pun tak memadai untuk menampung luapan suporter. Adapun Stadion Barombong yang dibangun pada era Gubernur Syahrul Yasin Limpo lima tahun lalu kini sudah mangkrak tanpa pernah difungsikan.
Untuk melakoni laga ajang AFC, PSM terpaksa berkandang di Stadion Pakansari, Bogor (2018), dan Stadion Madya Senayan (2020).
Untuk melakoni laga ajang AFC, PSM terpaksa berkandang di Stadion Pakansari, Bogor (2018), dan Stadion Madya Senayan (2020).
Kini Gubernur Nurdin Abdullah melalui APBD 2020 sudah mencoba menganggarkan Rp 200 miliar untuk merenovasi Stadion Andi Mattalatta. Namun, program ini kemungkinan besar berantakan karena keburu diganggu pandemi Covid-19.