Pada Minggu, 8 Mei 1983, atau 35 tahun yang lalu, dunia bulu tangkis mencatat penampilan fenomenal Icuk Sugiarto, pebulutangkis Indonesia, dalam final Kejuaraan Dunia 1983 melawan sesama atlet “Merah Putih”, Liem Swie King. Icuk yang kala itu masih berusia 20 tahun, menang 15-8, 12-15 dan 17-16 atas King dalam final dramatis di Kopenhagen, Denmark (Kompas, 9 Mei 1983).
Tampilnya Icuk sebagai juara dunia menghadirkan kegembiraan luar biasa di Tanah Air. Maklum, sudah sekian lama bulu tangkis Indonesia digoyang keperkasaan China, termasuk di tunggal putra. Sehingga, lolosnya Icuk dan King ke final, sudah memunculkan kebahagiaan tak terkira. Di semifinal, King menundukkan jagoan China Han Jian, adapun Icuk menyingkirkan bintang India, Prakash Padukone.
Perasaan haus prestasi, diwujudkan dalam respons sambutan meriah kepada Icuk, apakah itu di Jakarta, di kota kelahirannya Solo, juga di kota-kota lain seperti di Semarang dan Bandung. Jumat, 13 Mei 1983, setibanya di Jakarta, Icuk diarak dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, lalu menuju Senayan, Jalan Sudirman, Balai Kota DKI Jakarta, lalu menuju Istana Wakil Presiden, diterima Wapres Umar Wirahadikusumah.
Berbagai hadiah pun mengalir, bernilai puluhan juta. Di antaranya, kapling tanah seluas 500 meter persegi di Jakarta Selatan dari Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi), plus uang Rp 1 juta dari Justian Suhandinata, Ketua PBSI DKI dan PB Tangkas, klub di mana Icuk pernah bergabung. Hadiah kapling tanah juga diterima Icuk di Semarang dan Solo.
Yang paling istimewa ketika itu, hadiah berupa rumah lengkap dengan perabotannya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, senilai Rp 35 juta. Hadiah itu dari kelompok pengusaha Bakrie Brothers, pemilik klub Pelita Jaya, yang kala itu dinaungi Icuk.
Berhari-hari disibukkan oleh berbagai acara penyambutan dan seremonial, Icuk bergabung lagi di pelatnas dengan kondisi jauh dari bugar. Hasilnya, 30 Mei 1983, Icuk kalah 12-15, 15-10 dan 6-15 dari pebulutangkis Singapura, Wong Shoon Keat, pada laga beregu putra SEA Games Singapura 1983. Untungnya, kekalahan itu terjadi di nomor beregu putra. Sehingga, dengan kemenangan satu tunggal putra yaitu Liem Swie King, dan dua ganda (Christian Hadinata/Bobby Ertanto dan Liem Swie King/Hadibowo), Indonesia menang 3-1.
Tim Indonesia akhirnya merebut medali emas, setelah pada final menundukkan Malaysia dengan skor 3-2. Lagi-lagi, salah satu kekalahan tim “Merah Putih”, juga dari kekalahan Icuk, kali ini di tangan Razif Sidek, dengan skor 10-15 dan 7-15. Diberitakan oleh Kompas pada edisi 1 Juni 1983, “Icuk yang masih belum fit, nampak bermain seadanya saja. Ia hanya memukul bola-bola yang dekat, sementara yang agak jauh, lebih banyak ia biarkan sehingga Razif Sidek dengan cepat mengungguli dan kemudian menang”.
Kegembiraan di Istora
Selasa, 28 Agustus 2018, kegembiraan serupa terjadi di Istora Senayan, Jakarta, saat pebulutangkis tunggal putra Jonatan Christie merebut medali emas Asian Games 2018. Pada final tunggal putra melawan Chou Tien Chen (Taiwan), Jojo, panggilan akrab Jonathan, menang 21-18, 20-22 dan 21-15.
Mirip dengan fenomena kemenangan Icuk pada 1983, keberhasilan Jojo terjadi di tengah dominasi China, Malaysia, Jepang, Denmark dan India, di tunggal putra dunia. Selain kemenangan di final melawan Chou Tien Chen, Jojo juga tampil impresif di semifinal, saat menundukkan Kenta Nishimoto (Jepang).
Di era media sosial kini, kemenangan Jojo memunculkan euforia selama berhari-hari. Terlebih, ada aksi selebrasi kemenangan khas Jojo, dengan melepas kaus setelah memastikan kemenangan dan meraih medali emas. Foto dan video Jojo mengekspresikan kemenangan, viral berhari-hari. Ia menjadi salah satu atlet Indonesia paling tenar saat ini.
Publik berharap, kesuksesan Jojo, dan ganda Putra Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo merebut emas, menjadi momen kebangkitan bulu tangkis Indonesia. Khususnya di tunggal putra, pencinta bulu tangkis Indonesia merindukan era 1990-an, saat Indonesia terakhir kali menguasai tunggal putra dunia melalui Ardy B Wiranata, Alan Budikusuma, Joko Supriyanto, Hariyanto Arbi, berlanjut dengan Taufik Hidayat.
Ada beberapa syarat agar Jojo terhindar dari fenomena penurunan prestasi, meski itu berlangsung temporer, seperti dialami Icuk pada 1983 selepas dia tampil sebagai juara dunia. Syarat itu, salah satunya kedisiplinan menjaga kebugaran.
Lazim terjadi, kebugaran atlet Indonesia menurun saat berada di tengah libur pelatnas. Pola makan yang tidak teratur, dengan mengonsumsi sembarang makanan, menjadi penyebabnya. Terlebih lagi, publik Indonesia sering menggelar seremonial penyerahan hadiah, disertai jamuan makan. Undangan-undangan pasti mengalir untuk Jojo dan tim bulu tangkis putra kita, selepas Asian Games. Perlu ekstra hati-hati mengatur jadwal demi kebugaran atlet.
Sejumlah atlet berhasil mempertahankan kebugarannya hingga melewati usia emas mereka. Di dunia bulu tangkis tercatat Lin Dan, atlet China peraih dua emas Olimpiade, yang masih di peringkat ke-14 dunia, di usia 35 tahun. Peringkat Lin Dan satu tangga di atas Jojo yang berumur 20 tahun. Ada juga Lee Chong Wei asal Malaysia, yang kini bertengger posisi ketiga dunia, di usia 36 tahun.
Kita ingin Jojo, Anthony, juga Tommy Sugiarto dan Ihsan Maulana Mustofa, yang kini empat pebulutangkis terbaik Indonesia, berdasar peringkat Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), makin mandiri menjaga kebugaran. Kedewasaan atlet menjadi faktor krusial dalam hal ini. Kedisiplinan menjaga kebugaran tak bisa terus menerus mengandalkan pelatih. Atletlah penentunya. Jangan sampai bius ketenaran menjerumuskan atlet, dan menjauhkan mereka dari prestasi.