Saat menyimak pesta pembukaan Asian Games 2018 lalu, kita mendapat tontonan apik dan menarik. Tontonan tadi antara lain berupa tarian yang mengedepankan identitas kultural di belasan daerah di Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau, Betawi, Bali, sampai Papua. Konsep yang sudah tercetus sejak Oktober 2017 itu bertransformasi menjadi sajian memukau.
Eko Supriyanto dan Hartati adalah dua koreografer yang berperan banyak di dalam pembukaan tersebut terutama pada segmen Earth, Fire, dan Energy of Asia. Masing-masing segmen ini menyiratkan pesan tertentu yang bermuara pada pengungkapan kekayaan alam, budaya, dan persatuan bangsa.
“Kami mengetengahkan beragam tari, kostum, dan ornamen musik. Keragaman ini kita angkat untuk menunjukkan bahwa di Indonesia tidak ada yang sama,” kata Eko.
Pada segmen Earth yang berdurasi 9 menit Eko dan Hartati mencoba menggambarkan Indonesia dari sisi budaya dan alamnya. Di sana terdengar juga lagu-lagu daerah yang popular bagi banyak orang seperti Ampar-ampar Pisang, Sijali-jali, Manuk Dadali, dan Padhang Bulan. Tarian bernuansa hijau dan kuning ini diiringi lagu-lagu daerah yang diaransemen ulang menjadi medley. Peralihan lagu demikian lembut sampai tak terasa, demikian juga dengan tarian yang disajikan.
Eko dan Hartati menampilkan tarian-tarian tadi dalam orkestrasi sehingga terkesan nyambung meskipun kompleks. Ketika tarian dari satu daerah tampil, tarian dari daerah lain tidak diam, melainkan tetap menari di belakang tarian utama. Sehingga tarian yang melibatkan 450 penari ini terlihat utuh, semarak, dan megah.
“Kami menggunakan tradisi Indonesia, yakni prosesi atau ritual. Sehingga sekatnya tidak kelihatan. Tidak terasa berkelompok-kelompok begitu,” kata Hartati, koreografer lulusan Institut Kesenian Jakarta, ini.
Dia menjelaskan, pada Segmen ini masing-masing daerah menonjolkan pesan tertentu. Kalimantan bercerita tentang kekayaan hutan, ritual, dan hayati. Adapun Sulawesi tentang kekerabatan, sementara Maluku dan Papua mengutamakan pesan persaudaraan serta penghormatan kepada alam. Giliran Nusa Tenggara Timur menyampaikan pesan keindahan alam, keindahan ritual, dan keindahan laut.
Semangat api
Pada Segmen Fire, tarian berjalan dengan nuansa merah. Puluhan penari memasuki panggung dengan memutar tali yang di kedua ujungnya menyala api. Lalu disambung dengan kemunculan para atlet senior bergantian membara obor Asian Games. Ketika para atlet bergantian membawa obor, para penari terus memutar api pada tali. Sebagaimana sebuah ritual, nuansa segmen ini santai, tetapi penuh khidmat. Di penghujung segmen dipuncaki letusan kembang api berwarna merah dan kuning.
Lewat segmen ini, Eko hendak memberi persepsi semangat Indonesia lewat api dan gunung. Bahwa keduanya masih erat kaitannya dengan ritual dalam konteks positif, sakral sekaligus membangun semangat hidup. Konsep koreografinya terinspirasi tari Kecak Bali dengan energi saling mengisi. Segmen ini melibatkan 500 penari termasuk penari profesional yang biasa menari menggunakan api.
Sementara itu, pada Segmen Energy of Asia, Eko dan Hartati menampilkan sajian bernuansa futuristik. Ratusan penari berpakaian serba putih bertumpuk-tumpuk dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit. Mereka menari diselingi taburan kembang api di udara dan suara merdu empat penyanyi.
Nuansa serba futuristik tadi, menurut Hartati, merupakan simbol keterbukaan masyarakat Asia terhadap perkembangan dunia. Asia yang siap menerima teknologi baru sekaligus siap bersaing dengan masyarakat dunia.
Keterbukaan tersebut dalam konteks tradisi Indonesia, kata Eko menambahkan, siap hidup berdampingan. Tradisi di Indonesia berdinamika terhadap tradisi-tradisi modern atau tradisi baru yang datang dari luar. “Misalnya ada hip-hop ayang sangat diminati banyak kalangan di Indonesia. seni modern dan kontemporer sangat banyak bersinggungan dengan pengaruh luar. Manusia selalu mempunyai energi positif untuk saling mengisi dan belajar. Inilah Keterbukaan,” kata Eko.
Semangat relawan
Eko menyadari proses garapan kreatifnya untuk pembukaan Asian Games membutuhkan banyak energi tetapi menyenangkan. Dalam proses itu dia menemukan ketulusan dan disiplin yang selama ini sulit didapat. Dia mencontohkan proses seleksi para penari yang jumlahnya lebih dari 1300 orang untuk tiga segmen tadi. Mereka berusia 15 tahun sampai 80 tahun.
Pada bagian Segmen Fire butuh sekitar 500 penari, ternyata 70 persen di antaranya adalah bukan penari profesional, melainkan relawan. Banyak di antaranya dari luar Jakarta, bahkan luar Jawa. Mereka ingin menyumbang untuk kesuksesan dan menjadi bagian sejarah dari Asian Games 2018.
Para relawan ini datang dari berbagai daerah dengan modal hidup sendiri di Jakarta selama proses latihan. Bukan waktu singkat sebab latihan ini berjalan setidaknya sejak Maret lalu. Eko menerima mereka, tentunya setelah diseleksi sesuai kriteria. Dia memagang tiga prinsip, yakni disiplin, niat, dan fokus. Ketiga hal tersebut dipegang erat oleh para penari baru tadi. Tidak sedikit dari mereka yang meluangkan waktu untuk berjualan takjil atau keripik untuk biaya hidup di Jakarta.
“Di akhir pembukaan saya bukan bahagia karena tarian sudah selesai dan bagus. Akan tetapi karena akhirnya bisa bekerja sana dengan penari sangat tulus. Kerja kolaborasi yang luar biasa. Saya meyakini kita punya energi untuk bersatu,” papar Eko.