Viral Orangutan ”Setinggi Rumah”, Kenapa Konflik dengan Manusia Masih Sering Terjadi?
Video orangutan ”setinggi rumah” di Kaltim viral. Itu menunjukkan konflik manusia dengan orangutan masih terus terjadi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F08%2F31%2F8fd55994-45b3-4fc7-ac8e-84f2ae44e247_jpg.jpg)
Fanny (16), seekor orangutan, berjemur di tempat rehabilitasi Samboja Lestari, Kelurahan Margo Mulyo, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim, Jumat (30/8/2019). Kawasan ini terletak 25 kilometer dari perbatasan Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yang menjadi lokasi ibu kota negara baru.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini:
1. Ada berapa jenis orangutan yang kini hidup di Indonesia?
2. Diperkirakan berapa banyak orangutan yang bertahan di alam?
3. Mengapa orangutan sampai masuk ke permukiman warga?
4. Kasus terbaru apa terkait konflik manusia dengan orangutan?
5. Sebenarnya berapa banyak kasus konflik manusia dengan orangutan?
6. Apa saja upaya pemerintah untuk merehabilitasi orangutan?
7. Mengapa orangutan penting tinggal di hutan?
8. Dampak berbahaya apa yang muncul bila konflik orangutan dan manusia semakin kerap terjadi?
Sebuah video viral di media sosial yang merekam orangutan bergelantungan di sebuah pohon pada Minggu (7/7/2024). Pohon tersebut berada di samping sebuah rumah. Narasi dalam video itu menyebut orangutan ”setinggi rumah” di Kalimantan Timur.
Hingga kini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur masih menelusuri lokasi perekaman video orangutan (Pongo pygmaeus) yang bergelantungan di dekat rumah warga. Bila sudah ditemukan, BKSDA akan menangani satwa liar yang memasuki permukiman warga tersebut.
Ada berapa jenis orangutan yang kini hidup di Indonesia?
Saat ini, ada tiga jenis orangutan di Indonesia, yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Badan Konservasi Dunia (IUCN) memasukkan tiga spesies orangutan tersebut dalam daftar spesies terancam kritis atau satu tahap lagi menuju kepunahan di alam.
Pongo pygmaeus sendiri terbagi dari tiga ras, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang banyak terdapat di Kalimantan bagian barat, Pongo pygmaeus wurmbii (Kalimantan bagian tengah), dan Pongo pygmaeus morio (Sabah dan Kalimantan bagian timur, termasuk Taman Nasional Kutai).
Pongo pygmaeus morio memiliki rambut coklat kehitaman dan rahang paling besar. Satwa ini mampu bertahan pada kondisi yang ekstrem, seperti kemarau panjang dan pakan yang terbatas.
Baca juga: Menjelajahi Habitat Orangutan Liar di Taman Nasional Kutai
Berapa banyak orangutan yang bertahan di alam?
Populasi orangutan kalimantan saat ini berkisar 57.350 individu yang tersebar di 16 juta hektar areal hutan. Orangutan sumatera jumlah lebih sedikit, diperkirakan 13.710 individu, dan orangutan tapanuli tinggal 760 individu di tahun 2023.
Ancaman terbesar yang dihadapi orangutan ialah perubahan fungsi hutan sebagai habitat alami menjadi area konsesi, termasuk aktivitas pertanian oleh masyarakat, serta perburuan ilegal. Tidak sedikit yang meregang nyawa akibat masuk permukiman manusia.
Baca juga: Orangutan Belum Terbebas dari Ancaman Kepunahan
Mengapa orangutan masuk ke permukiman warga?
Sebenarnya orangutan yang masuk ke permukiman warga bukan pertama kalinya. Pada Februari 2022, orangutan terekam menyeberangi jalan di sekitar Simpang Perdau, Kutai Timur. Di lokasi ini juga pernah muncul orangutan pada 2021.
Lalu, Desember 2022, BKSDA Kaltim Seksi Konservasi Wilayah (SKW) 3 Balikpapan menerima laporan orangutan masuk ke area kamp pekerja perusahaan hutan produksi di Penajam Paser Utara.
Kemunculan orangutan di wilayah aktivitas manusia membuat konflik satwa dan manusia tak terhindarkan. Pada April 2019, BKSDA Kaltim dan sejumlah organisasi nonpemerintah merehabilitasi dua orangutan yang ditemukan dehidrasi di Kota Bontang.
Baca juga: Mengapa Orangutan Kerap Muncul ke Permukiman Warga di Kaltim?
Sebanyak lima peluru senapan angin bersarang di tubuh orangutan malang itu. Bahkan, salah satu orangutan mengalami luka sayatan dan satu jarinya nyaris putus saat ditemukan.
Dari temuan di Bontang itu, BKSDA Kaltim mencatat, orangutan memasuki perkebunan warga akibat alih fungsi hutan pada habitat orangutan. Saat hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan yang bukan sumber makanan Pongo, biasanya orangutan bermigrasi mencari tempat tinggal yang lebih nyaman.
Pemicu konflik lain adalah perkebunan atau permukiman warga yang masuk ke habitat hidup orangutan. Biasanya, orangutan akan memakan tumbuhan di sekitar habitatnya. Hal itu membuat pemilik kebun merasa merugi karena terancam gagal panen. Akhirnya, orangutan dianggap hama dan diburu.
Kasus terbaru apa terkait konflik manusia dengan orangutan?
Terbaru adalah beredarnya video di media sosial yang merekam orangutan bergelantungan di sebuah pohon pada Minggu (7/7/2024). Pohon tersebut berada di samping sebuah rumah. Narasi dalam video itu menyebut orangutan ”setinggi rumah” di Kalimantan Timur. BKSDA Kalimantan Timur masih mencari tahu lokasi pasti kejadian itu.
Namun, diduga kabar orangutan yang disebut ”setinggi rumah” itu diperkirakan efek pengambilan sudut kamera. Pohon yang dipegang orangutan itu berada di gundukan tanah sehingga terlihat orangutan lebih tinggi dari atap rumah warga.
Orangutan dewasa memang cukup tinggi, yakni 1,2-1,5 meter. Dengan usia 30-40 tahun, berat badan orangutan ada di rentang 33-80 kilogram. Orangutan jantan ukurannya 2-3 kali jauh lebih besar dari orangutan betina.
Baca juga: Viral Video Orangutan ”Setinggi Rumah”, Lokasinya Masih Misterius
Berapa banyak kasus konflik manusia dengan orangutan?
Konflik manusia dengan orangutan hingga kini masih terjadi. Pada 2021, misalnya, orangutan jantan yang diperkirakan berusia 15 tahun masuk ke permukiman warga di Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser.
Beberapa kali juga orangutan muncul di area pertambangan batubara di Kutai Timur (Kompas, 15/6/2021). Bahkan, orangutan pernah terekam menyeberang jalan di tengah hujan di Simpang Perdau, Kutai Timur.
Yoyok Sugianto dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman bersama timnya menerbitkan artikel ilmiah berjudul ”Sebaran dan Karakteristik Konflik Orangutan dengan Manusia di Kaltim”. Itu terbit di jurnal Agrifor Volume 22 Nomor 2pada Oktober 2023.
Tim tersebut mencatat, dalam kurun 2012-2021 terdapat 109 kejadian penanganan konflik antara orangutan dan manusia di Kaltim. Kejadian itu bermula dari munculnya orangutan ke permukiman atau tempat aktivitas manusia. Sebanyak 67 kasus di antaranya dilakukan rehabilitasi dan translokasi orangutan.
Lihat juga: Orangutan ”Setinggi Rumah” di Kaltim, Hoaks dan Fakta di Baliknya
Dari catatan tersebut, teridentifikasi kejadian terbanyak melibatkan orangutan jantan, yakni 42 kejadian. Orangutan jantan memang punya luas area jelajah sampai 46 hektar, lebih luas dibandingkan dengan orangutan betina yang area jelajahnya hanya 12 hektar.
Yoyok dan tim menulis, areal hutan tanaman, kebun masyarakat, pertambangan, dan kebun sawit menjadi lokasi paling banyak konflik orangutan dengan kelas umur dewasa. Sebab, lokasi-lokasi ini sering kali berbatasan dengan hutan alam dan kawasan lindung, tempat orangutan dan satwa liar hidup.
Selain itu, munculnya orangutan ke permukiman warga juga terjadi karena perubahan hutan menjadi areal penggunaan lain, seperti pertambangan dan pembangunan permukiman. Di Kaltim terdapat banyak izin usaha pertambangan, kehutanan, sampai perkebunan.
Apa saja upaya untuk merehabilitasi orangutan?
Pada November 2023, setelah menjalani belasan hingga puluhan tahun masa rehabilitasi, 12 orangutan dikembalikan ke rumah baru. Mereka menikmati alam liar. Seperti Cici, orangutan betina yang sudah 10 tahun direhabilitasi di Kalimantan Timur, kembali ke rumah aslinya di Kalimantan Tengah.
Pelepasliaran itu dilakukan oleh Yayasan BOS bersama BKSDA Kalteng juga Kalimantan Timur. Rinciannya, BKSDA Kalteng melepasliarkan delapan orangutan dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng, Kota Palangkaraya, ke hutan lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya, Kalteng.
Baca juga: Orangutan Direhabilitasi di Kaltim Dipulangkan ke Kalteng
Lalu, BKSDA Kaltim bersama Yayasan BOS melepasliarkan empat orangutan dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari ke Hutan Kehje Sewen yang terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kaltim.
Salah satu orangutan yang dilepasliarkan adalah Cici, orangutan betina berumur 24 tahun. Cici diserahkan BKSDA DKI Jakarta pada 8 Januari 2003 ke Yayasan BOS lalu dibawa ke pusat rehabilitasi di Kaltim. Ia menjalani 10 tahun rehabilitasi di sana. Setelah diteliti, Cici merupakan orangutan spesies Kalimantan Tengah atau subspesies Pongo pygmaeus wurmbii.
Mengapa orangutan penting tinggal di hutan?
Tahun ini, populasi orangutan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, meningkat selama beberapa tahun terakhir. Dari populasi sebelumnya 6.080 orangutan, jumlahnya kini bertambah menjadi 8.973 orangutan. Peningkatan itu terjadi lantaran habitat orangutan yang terjaga.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, peran orangutan sangat vital dalam menjaga keseimbangan alam di Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera, dua tempat yang terdapat populasi orangutan di dunia. Orangutan, antara lain, berperan menyebar biji-bijian sehingga membuat tutupan hutan menjadi kian lebat.
Baca juga: Populasi Orangutan di Taman Nasional Sebangau, Kalteng, Meningkat
Kebiasaan orangutan untuk buang air besar di berbagai tempat juga membuat tanah menjadi jauh lebih subur. Selain itu, semua makanan yang dimakan orangutan relatif bisa dimakan oleh manusia karena DNA orangutan memiliki kemiripan 97 persen dengan DNA manusia.
Kepala Balai Taman Nasional Sebangau Ruswanto menjelaskan, berdasarkan survei pada tahun 2016-2019, terdata 6.080 orangutan di taman nasional itu. Balai Taman Nasional Sebangau kemudian melakukan survei pada 2023. Hasilnya, terdata 8.973 orangutan.
Dampak berbahaya apa yang muncul bila konflik orangutan dan manusia semakin kerap terjadi?
Selain itu, terusirnya orangutan dari habitatnya sehingga membuatnya kian kerap berjumpa manusia rentan memunculkan penyakit berbahaya. Kepala BKSDA Kalimantan Timur Matheas Ari Wibawanto saat dihubungi, Rabu (10/7/2024), mengatakan, 97 persen DNA orangutan sama dengan manusia. Hanya ada 3 persen perbedaan DNA. Akibatnya, patogen penyakit berpotensi melompat dari manusia ke hewan atau sebaliknya yang kerap disebut zoonosis.
Jika manusia tertular, itu bisa menimbulkan penyakit baru dan menularkan ke manusia lain. Penyakit baru akan butuh waktu penyembuhan karena bisa jadi obatnya belum pernah ada.
Sebaliknya, jika orangutan yang tertular penyakit manusia, satwa itu akan berpotensi mati. Kepunahan orangutan akan semakin tinggi dan peran alaminya perlahan hilang.
Baca juga: Ancaman yang Mengintai bila Orangutan Kalimantan Kian Dekat Manusia