Gen Z Cemas Menyambut Indonesia Emas
Masa depan Indonesia yang diimpikan dalam visi Indonesia Emas 2045 tampak bergeming lantaran harapan yang tak selaras.
Visi Indonesia Emas 2045 terus digaungkan. Indonesia berharap menjadi negara maju saat berusia 100 tahun pada 2045. Apabila menilik persiapan untuk mewujudkan visi itu, sebagian anak muda generasi Z justru malah cemas.
Sekar Intifada (21) terang-terangan mengaku cemas visi Indonesia Emas 2045 akan terwujud. Sebab, sekarang saja biaya pendidikan tinggi terus naik hingga ”ke langit ketujuh”. Padahal, kata Sekar, pendidikan menjadi aspek terpenting untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana mau maju kalau biaya pendidikan makin tak terjangkau sebagian besar orang.
Dia sudah merasakannya. Dia terpaksa membuat keputusan berat, yakni angkat kaki dari kampus Universitas Gadjah Mada pada 2023 lantaran tidak sanggup menanggung biaya kuliah di jurusan perencanaan wilayah dan kota yang untuk ukurannya sangat tinggi.
Baca juga: Generasi Emas Siapkan Diri Menuju Indonesia Emas
”Enggak kuat bayar UKT (uang kuliah tunggal), UKT-nya memberatkan banget,” ujarnya, Rabu (14/8/2024). Ia pun terpaksa pindah ke perguruan tinggi swasta dengan biaya yang lebih murah. Dengan mengonversi sistem kredit semester (SKS) ke sebuah PTS itu, Sekar kini tengah menjalani kuliah semester ketiganya dengan jurusan yang sama.
Kasus Sekar adalah satu di antara 1.479 kasus pendidikan yang berkaitan dengan beban biaya ekonomi keluarga. Data ini dicatat Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada Januari 2022-Juni 2024.
Kini Sekar aktif mengadvokasi isu pendidikan gratis bersama Aliansi Pendidikan Gratis. Terbaru, aliansi ini tengah menggugat Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, regulasi yang mengatur besaran biaya operasional pada kampus negeri.
Bersama pelajar di Kabupaten Bekasi, Sekar juga aktif menolak praktik pungutan liar berkedok sumbangan yang berlaku di sejumlah SMA di Bekasi. Sumbangan tersebut dipatok dengan besaran tertentu yang bila tidak dipenuhi, kartu ujian atau ijazah akan ditahan.
Pada 12 Juli 2024, tuntutan sempat dipenuhi pihak sekolah. Namun, pernyataan pembatalan hanya dilakukan secara lisan. Sekar khawatir, pernyataan lisan tidak kuat. ”Tidak ada surat edaran tertulis sehingga tidak ada yang menjadi acuan untuk teman-teman bersuara dan mempertahankan hak-hak teman-teman pelajar,” ceritanya.
Di sela-sela itu, Sekar menyempatkan diri berbincang dengan sejumlah pelajar soal angan mereka untuk lanjut ke jenjang perguruan tinggi. ”Aku tanya kepada mereka, ’Kalian berani enggak masuk perguruan tinggi?’ Lima belas (orang) itu pesimistis bisa melanjutkan kuliah karena hari ini UKT mahal,” ujarnya.
Keraguan akan visi Indonesia Emas 2045 ini juga disampaikan Vedro Imanuel (22), yang menyoroti ketimpangan pendidikan di Indonesia. ”Fakta bahwa Jawa sentris atau Jakarta sentris masih terjadi di sektor pendidikan akan menjadi batu hambatan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang merata bagi semua,” ujar Vedro, Jumat (16/8/2024).
Vedro menyoroti fasilitas pendidikan yang tidak merata sebagai salah satu penyebab utama ketidakmampuan Indonesia bersaing secara global dalam penguasaan teknologi. Di Jakarta, dia telah menikmati pelajaran teknologi dan informasi sejak di bangku SD hingga SMP, tetapi kondisi ini tidak dirasakan merata di daerah lain.
Fakta bahwa Jawa sentris atau Jakarta sentris masih terjadi di sektor pendidikan akan menjadi batu hambatan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang merata bagi semua.
Dilansir dari data International Telecommunication Union (ITU) pada akhir 2020, sekitar 2,9 miliar orang di seluruh dunia masih belum terhubung ke internet. Kondisi ini jauh lebih parah di negara-negara berkembang, di mana hanya sekitar dua dari sepuluh orang yang memiliki akses dalam jaringan (online).
Ketimpangan akses internet juga masih terjadi di Indonesia, terutama di daerah luar Pulau Jawa. Hal ini sangat terasa selama pandemi Covid-19 di mana orang terpaksa harus belajar atau bekerja dari rumah. Mengutip harian Kompas pada 2022, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, masalah kepemilikan telepon seluler dan keterbatasan kuota internet menghambat kegiatan belajar-mengajar, bahkan setelah dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung.
Di sisi lain, Nurul Syifa (21), mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, menggarisbawahi ketidakcukupan fasilitas pendidikan yang sering kali menghadapi masalah teknis. ”Kadang proyektor aja enggak bisa nyala, bangku (di kelas) kurang, terus kita juga enggak bisa lama-lama di perpustakaan,” keluhnya, Kamis (15/8/2024).
Meskipun Jakarta sering kali dianggap sebagai pusat pendidikan yang lebih maju, fasilitas yang ada di kota ini pun masih jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan pelajar secara optimal. Kondisi ini tentu lebih parah di daerah perdesaan yang mana akses dan kualitas pendidikan jauh lebih tertinggal.
Baca juga: Indonesia Emas 2045 Perlu Dibarengi Pengembangan Sains Dalam Negeri
Jauh dari cukup
Vedro menilai pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari cukup untuk mendorong penguasaan teknologi di kalangan pelajar. ”Bahwa banyak anak usia belajar yang memiliki kemampuan digital dan teknologi yang baik adalah fakta. Namun, banyak dari mereka belajar secara otodidak, bukan dari pembelajaran di sekolah,” ujarnya.
Ia mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang terlalu fokus pada aspek industrialisasi, meninggalkan pendidikan karakter yang seharusnya menjadi jati diri bangsa. ”Pendidikan sekarang ini kabur, hilang fokus. Pendidikan kehilangan jati dirinya, terlalu industrialis, fokus mencetak robot-robot baru,” tuturnya.
Vedro berharap perubahan harus dilakukan dengan langkah yang tepat dan tidak terburu-buru. Sebelum berbicara tentang visi besar, seperti Indonesia Emas 2045, pemerintah perlu menyelesaikan masalah mendasar terlebih dahulu, seperti kesejahteraan guru, perbaikan fasilitas sekolah, dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kondisi saat ini. ”Jangan ngoyo, nanti malah loyo,” katanya.
Baca juga: Beban Berat Mahasiswa di Tengah Kenaikan UKT dan IPI
Rachmad Ganta Semendawai (25) pun turut meragukan visi Indonesia Emas 2045. Menurut Ganta, Indonesia perlu menyelesaikan masalah fundamental pendidikan, yakni aksesibilitas.
Dia menyebut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada Juni 2022 di mana hanya 6,41 persen warga Indonesia yang sudah menempuh pendidikan tinggi. ”Ledakan penduduk tanpa persiapan kualitas yang memadai akan menjadi sebuah horor untuk sebuah generasi,” tuturnya, Kamis (15/8/2024).
Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja juga menambah beban kekhawatiran penulis lepas ini. Katanya, undang-undang ini jadi sebab sulitnya menjadi pegawai tetap, sedangkan pegawai kontrak dan pemagang menjamur.
Ledakan penduduk tanpa persiapan kualitas yang memadai akan menjadi sebuah horor untuk sebuah generasi.
Mungkin, katanya lagi, berkat UU Cipta Kerja, ekonomi Indonesia akan melesat maju. ”Namun, itu berangkat dari pengorbanan pahit sebuah generasi yang menghadapi politik upah murah dan segudang masalah,” keluhnya.
Atas segudang masalah ini, Ganta berpesan kepada semua kaum muda agar selalu merawat harapan dan amarah agar terus menuntut perubahan. ”Dan yang bisa menjawab Indonesia 2045 bukanlah orang tua berdasi yang sedang duduk nyaman di pemerintahan. Anak-anak muda yang lebih berhak bicara mengenai Indonesia 2045 karena generasi kitalah yang akan berhadapan dengan periode itu,” katanya.
Masa depan Indonesia, yang diimpikan dalam visi Indonesia Emas 2045, tampak bergeming lantaran harapan yang tak selaras dengan realitas. Agar mimpi ini tidak hanya tinggal wacana, penting untuk memberi ruang bagi suara muda yang akan menggenggam tongkat estafet pada hari-hari mendatang.
Catatan: Artikel ini merupakan kerja sama dengan peserta magang harian Kompas, Rilanda Virasma Meiprita, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang; dan Daffa Almaas Pramesthy, mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta.