Mahasiswa Sukarelawan di Balik Hitung Cepat Pemilu
Persiapan yang matang dari Litbang ”Kompas” membuahkan minimnya hambatan saat eksekusi.
Oleh
BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Di balik proses hitung cepat (quick count) dan survei pascapencoblosan (exit poll) Pemilu 2024 yang digelar Litbang Harian Kompas, ada keterlibatan ribuan mahasiswa. Bagaimana pengalaman mereka di lapangan?
Renaldi Saputra (21) berkesempatan menjadi pewawancara exit poll Litbang Kompas di tempat pemungutan suara (TPS) wilayahnya yang bertempat di Kampung Lio Citayam, Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat. Ia mengaku sempat khawatir karena ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi pewawancara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Karena pengalaman pertama, saya sempat takut salah bicara saat wawancara. Takut respondennya merasa tidak nyaman. Tapi, untungnya respondennya ramah-ramah dan baik-baik,” tutur mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Depok itu, Kamis (15/2/2024).
Karena pengalaman pertama, saya sempat takut salah bicara saat wawancara. Takut respondennya merasa tidak nyaman.
Bagi Renaldi, kenyamanan responden merupakan prioritas. Terlebih pertanyaan wawancara merujuk pada preferensi politik mereka. Oleh karena itu, ia punya strategi untuk membuat responden tetap nyaman.
”Untuk wawancaranya, saya menginformasikan dan mengingatkan kepada mereka bahwa jawaban mereka akan anonim, kerahasiaan terjaga. Terus, saya juga mengajak responden untuk agak menjauh dari TPS saat diwawancara. Ini cara supaya mereka lebih nyaman karena enggak dikelilingi banyak orang,” tuturnya.
Dalam memilih responden, salah satu pertimbangan mahasiswa jurusan Sistem Informasi tersebut adalah demografi usia. ”Sebenarnya saya memilih respondennya random saja, tapi saya juga lihat dari segi umur. Misalnya, saya ambil anak muda yang terlihat sebagai pemilih pemula, dan juga orang tua, seperti ibu-ibu. Jadi, jawabannya bisa lebih beragam,” ujar Renaldi.
Keadaan di lapangan tak selalu sejalan dengan rencana. Hal ini dirasakan oleh Renaldi saat hujan deras mengguyur daerahnya di hari pencoblosan. Ia mesti menunggu kedatangan responden lebih lama. ”Saat hari-H, saya standby dari jam 07.00 pagi. Tapi, pagi-pagi, kan, hujan deras,” ujarnya.
Tantangan juga dihadapi oleh Faris Humam (26) yang berkesempatan menjadi koordinator lapangan (korlap) di tiga kecamatan di Kabupaten Tangerang: Kecamatan Pasarkemis, Rajeg, dan Sukadiri. Dalam prosesnya, sempat ada keterlambatan dari tim lain untuk mengirimkan e-mail konfirmasi bahwa data exit poll sudah diterima.
Sebagai korlap, Faris mesti sigap mengatasi persoalan dan memberikan arahan kepada para pewawancara. ”Walaupun sempat terkendala karena belum menerima e-mail konfirmasi dari exit poll, para interviewer tetap melanjutkan pekerjaan,” katanya.
Saat hari-H, saya standby dari jam 07.00 pagi. Tapi, pagi-pagi kan hujan deras.
Bagi Faris, kerja sama antarpihak juga menjadi kunci lancarnya lika-liku pekerjaan di lapangan. Ia bersyukur atas bantuan dan dukungan koordinator daerah (korda) dan koordinator wilayah (korwil). ”Untungnya ada korda dan korwil yang keren banget. Yang sering gue hubungi itu Kak Andriani dan Mbak Santi. Setia banget nemenin sampai pagi buta, sampai semuanya kelar,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Faris, ada kendala minor dari responden. Terdapat responden yang tak bersedia untuk memberikan data dirinya, seperti nomor telepon. ”Tapi, lebih banyak responden yang antusias, sih. Karena kita informasikan juga bahwa ini survei dari Kompas, jadi mereka lebih banyak yang yakin dan bersedia,” lanjutnya.
Meskipun menghadapi kendala, momen yang tak terlupakan juga mewarnai lika-liku tim lapangan Faris. Ia bercerita, salah satu pewawancara yang ada di bawah koordinasinya mendapatkan sambutan hangat dari warga di salah satu TPS.
”Ada interviewer yang sampai dikasih penginapan di salah satu wilayah TPS. Pokoknya dia udah kayak warga di sana. Dia menginap dari tanggal 13 Februari sampai semuanya benar-benar selesai. Jadi, memang warga welcome banget,” kata Faris yang sudah punya pengalaman terlibat dalam survei Kompas sebelumnya.
Selain dinamika lapangan, lika-liku di war room sebagai ruangan hitung cepat juga menarik untuk ditelisik. Wiwin Destri (20), mahasiswi Sistem Informasi Universitas Islam Negeri Jakarta, mendapat kesempatan menjadi validator dalam hitung cepat. Ia diterima melalui proses rekrutmen yang dibuka oleh Litbang Kompas.
”Sebagai persiapan, kami mendapatkan briefing dan simulasi tanggal 12 Februari. Dari simulasi ini aku jadi paham 80 persen untuk proses hitung cepat dan akhirnya di hari-H bisa 100 persen paham,” kata perempuan yang juga sedang magang sebagai desainer grafis di Penerbit Buku Kompas ini, Rabu (14/2/2024).
Wiwin mengungkapkan, persiapan yang matang dari Litbang Kompas membuahkan minimnya hambatan saat eksekusi. ”Kasus-kasus yang terjadi di hari-H itu sudah diprediksi saat simulasi, baik dari input data, konfirmasi, proses data, maupun live quick count ditayangkan, semuanya lancar,” tuturnya.
Pertama kali berpartisipasi dalam hitung cepat, Wiwin merasa ilmu yang didapatkannya sangat berharga. ”Ilmu mengolah data aku benar-benar dapatkan di sini. Selain itu, belajar untuk lebih teliti. Dapat juga ilmu-ilmu gratis seputar pemilu dari senior-senior (mahasiswa dan peneliti Kompas),” ungkapnya.
Baik Renaldi, Faris, maupun Wiwin berharap yang terbaik untuk hasil pemilu. ”Siapa pun yang terpilih, semoga aspirasi dan janji-janjinya bisa ditepati dan dilaksanakan dengan baik,” ujar Renaldi.
Tulisan ini hasil kolaborasi dengan intern Kompas, Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dan Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.