Merangkul Kebahagiaan dengan Melepas yang Tak Bisa Dikendalikan
Banyak hal yang bisa dilakukan anak muda untuk meraih kebahagiaan. Dengan begitu, mereka bisa menghadapi segala tantangan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, SUSIE BERINDRA
·4 menit baca
Untuk meraih kebahagiaan, banyak hal yang bisa dilakukan anak muda. Dua sesi yang berbeda dari Kompasfest 2023: Creation menghadirkan dua pembicara yang memberikan motivasi untuk meraih kebahagiaan menghadapi segala tantangan. Kompasfest yang berlangsung pada 17-18 Juni 2023 di Senayan Park, Jakarta, menghadirkan 50 pembicara yang terbagi di sesi conference dan klass.
Penulis buku Filosofi Teras, Henry Manampiring, mengajarkan stoikisme yang mengajak individu tidak terganggu dengan hal-hal eksternal yang tak dapat dikendalikan. Sementara Raden Prisya, praktisi mindfullness, mengajak anak muda untuk mengenali diri sendiri. Dia juga mengajarkan journaling dalam kehidupan keseharian.
Dalam sesi conference Kompasfest 2023: Creation bertema @Unleashing the Power of Stoicism in Youth”, Sabtu (17/6/2023), Henry menyampaikan stoikisme yang mengajak seseorang tidak terganggu dengan hal-hal eksternal, seperti pendapat orang lain, cuaca, dan bencana. Dengan fokus ke hal-hal yang dapat dikendalikan, individu diharapkan dapat mencapai kebahagiaan.
Henry merupakan penulis buku Filosofi Teras yang menjadi best seller dan telah dicetak ulang puluhan kali dengan beberapa penambahan dalam edisi terbaru. Buku ini berisi filosofi Yunani-Romawi kuno, yaitu Stoikisme, yang bisa diterapkan kaum muda untuk mengatasi emosi negatif.
Adapun Stoikisme didirikan pada abad ke-3 sebelum Masehi di Athena, Yunani, oleh pedagang Fenisia Zeno dari Citium. Ada tiga filsuf yang menggunakan Stoikisme di kehidupan sehari-hari, yakni Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius.
Aplikasi Stoikisme sempat meredup di abad ke-4 ketika Kekaisaran Romawi menetapkan Kristen sebagai agama resmi negara. Stoikisme kembali populer di abad ke-21 (Kompaspedia, 1/8/2022).
Menurut Henry, Stoikisme atau Stoa menuntut seseorang untuk mengkritisi nalarnya saat emosi negatif muncul. Misalnya, saat Anda kesal karena difitnah rekan kerja, Anda mesti bertanya beberapa hal ke diri sendiri. Kenapa saya kesal? Apa ini rasional? Apa saya punya ekspektasi tertentu dari rekan kerja itu sehingga saya kesal saat difitnah?
Setelah mempertanyakan hal itu, perlu disadari bahwa perilaku hingga perspektif rekan kerja tersebut atas diri kita bukan sesuatu yang mampu dikendalikan. Hal itu sepenuhnya di bawah kendali sang rekan kerja, orang lain.
Adapun Stoikisme menekankan pentingnya fokus ke hal-hal yang bisa dikendalikan. Henry mengatakan, hanya ada tiga hal yang bisa dikendalikan seseorang, yaitu pikiran, perbuatan, dan perkataan.
”Ini kelihatan simple, tapi tidak banyak yang menghayatinya. Kita bisa marah-marah di media sosial ketika ada yang bilang kita gemukan atau enggak glowing. (Perkataan) orang lain itu di luar kendali kita. Yang bisa kita pilih (atas kejadian itu) adalah respons kita,” tuturnya.
Mengutip filsuf, Henry mengatakan, orang yang masih terpengaruhi oleh omongan orang lain belum menjadi individu yang merdeka. Orang yang terpengaruh, bahkan memiliki emosi negatif karena itu, akan rugi sendiri. Selain menghabiskan waktu, energi pun ikut habis.
”Kalau semua orang kayak begitu (menerapkan Stoikisme), dunia mungkin lebih chill. (Kita) enggak cepat termakan hoaks, enggak cepat termakan orang yang mau mengadu (domba),” katanya, menambahkan.
Stoikisme juga mengajarkan agar seseorang memikirkan segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Hal ini bahkan bisa diterapkan sejak bangun tidur. Misalnya, saat bangun, seseorang memikirkan bahwa hari ini ia bisa dimarahi bos, terlambat masuk kerja, atau terjebak macet.
Hal ini tidak dianggap sebagai pesimisme, tetapi dorongan untuk realistis terhadap kehidupan. Hal ini sekaligus mendorong agar seseorang bersiap-siap dengan segala kemungkinan buruk. Misalnya, agar tidak terjebak macet dan terlambat masuk kerja, ia harus berangkat pagi, atau memilih kendaraan umum yang bisa menembus macet.
”Tidak apa-apa untuk membuat rencana besar atau kecil. Tapi, kita mesti mengingatkan diri pada kemungkinan gagal. Konsekuensinya, ya, jadi ada plan (rencana) B. Tapi, kita juga jadi menyiapkan diri bahwa alam semesta tidak selalu mengikuti keinginan kita,” tutur Henry.
Mengenal diri sendiri
Di sesi klass, Minggu (18/6/2023), Raden Prisya mengajak anak muda untuk mengenali diri sendiri. Sesuatu yang memang tak mudah dilakukan saat ini.
”Mengenal diri sendiri di era sekarang jauh lebih sulit. Paparan info luar biasa banyaknya. Digitalisasi menggila. Paparan informasi yang kita terima sama dengan informasi yang diterima nenek kita seumur hidup. Bayangkan saja, bagaimana kita terus berpikir. Bahkan tidur pun sambil berpikir,” kata Prisya dalam sesi ”Why You Don't Know Yourself?”.
Tantangan lainnya ialah tekanan media sosial yang tinggi. ”Saat kita posting sesuatu enggak ada yang like, rasanya sedih. Penghargaan diri apa kabar,” ujarnya.
Untuk itulah, Prisya memberikan solusi kepada anak muda dengan mengenali diri sendiri. Dengan demikian, kita juga mengenali potensi diri. ”Coba baca di slide ini. Sadari diri dan hidupmu karena kertas ujian kita enggak ada yang sama,” ujarnya.
Prisya mengatakan, untuk mengenali diri sendiri, bisa dimulai dengan merawat diri secara fisik, misalnya dengan berolahraga dan tidur cukup. Setelah merawat tubuh, barulah bisa memikirkan emosi. ”Kalau emosi kita stabil, hubungan dengan orang lain juga lebih enak. Selain itu juga belajar untuk menajemen waktu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Prisya juga memberi pelatihan jurnaling. Peserta diminta menuliskan sepuluh emosi yang dirasakan saat itu dalam waktu 1 menit. Tidak semua peserta bisa menuliskan sepuluh emosi dalam waktu singkat. Paling banyak enam emosi yang didapatkannya. Setelah itu, dia meminta peserta mengeksplorasi lagi satu per satu emosi yang dirasakan.