Siasat Berteman Kala Pandemi
Setelah pandemi, mahasiswa berusaha kembali menjalin pertemanan yang tertunda. Pertemanan itu sangat penting bagi kesehatan jiwa dan raga
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F26%2Fec079119-9cc5-456d-94ed-d456f89a7f14_jpg.jpg)
Suasana di kantin kampus yang dipenuhi mahasiswa di Universitas Budi Luhur, Jakarta, Kamis (26/1/2023). Selama pandemi, anak muda bersiasat mencari teman akrab. Sejak perkuliahan berlangsung hibrida, mereka senang bisa bertemu dengan teman-temannya lagi.
Pandemi membuat pola menjalin pertemanan di kampus ikut berubah. Namun, kegembiraan untuk bertemu orang baru membuat mahasiswa bisa beradaptasi mengatur siasat dalam menghadapi dinamika tersebut. Yuk, berteman di kampus itu biar gaul, gitu loh!
Suasana kampus berangsur pulih dari pandemi sejak awal tahun 2022. Kegiatan kuliah, acara kampus, dan berbagai kegiatan lainnya yang berlangsung secara daring menjadi hibrida lalu berlanjut menjadi pertemuan langsung.
Nabila Yasmin Nurrita alias Bibil (20) adalah salah satu orang yang turut merasakan proses tersebut. Mahasiswa di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, ini mulai berkuliah pada 2020 di mana proses tahap persiapan bersama (TPB) masih berlangsung secara daring.
“Aku sih jujur merasa kesepian waktu itu karena aku anaknya ekstrover. Aku membutuhkan dukungan ya walaupun tugasnya juga tugas individu. Tapi karena masih online jadi bingung juga bagaimana mendekati mereka,” kata Bibil yang mengambil jurusan Seni Rupa Intermedia dari Bandung, Rabu (25/1/2023).
Hanya saja, jarak digital tak membuat dirinya urung menjalin pertemanan. Bibil mulai mengobrol dengan teman-teman lewat Zoom sebelum kelas dimulai. Topiknya bisa macam-macam termasuk materi kuliah. Percakapan itu kemudian berlanjut ke platform percakapan digital lainnya, seperti Line. Dari situ, ia mulai mengajak mereka untuk berkenalan hingga mengerjakan tugas bareng di rumah.
Bibil senang ketika kegiatan perkuliahan sudah bisa secara tatap muka karena jadi bisa bertemu mereka. Namun, ada dinamika tersendiri ketika menjalin pertemanan baru secara daring yang berlanjut ke pertemuan langsung di kampus. Gadis asal Bandung ini mendapati beberapa teman dengan kesan yang bertolak belakang saat berinteraksi di dunia maya.
“Ada yang waktu di-chat itu beda ya kayak menggebu-gebu atau pakai stiker bervariasi. Tapi pas ketemu dia ternyata anaknya kalem. Balik lagi ke pribadi masing-masing ya. Aku jadi bisa belajar tentang keragaman perilaku manusia,” tutur Bibil. Bibil menilai, pertemanan secara langsung memang lebih efektif dalam mengenal orang. Jika lewat daring, selalu terasa ada jarak meskipun intens berkomunikasi lewat platform media sosial. Kepribadian seseorang sulit terbaca karena tidak ada pengalaman langsung melihat ekspresi wajah dan mendengar intonasi suara.

Kezia Rambu (tengah, kedua dari kanan), mahasiswi angkatan 2022 dari Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di BSD, Tangerang, berpose bersama teman-teman di kampus
Sama halnya dengan Kezia Rambu (18), mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di BSD, Tangerang. Gadis manis ini baru resmi menjadi mahasiswa pada 2022. Ia menjalani proses ospek secara hibrida. Mau tak mau perkenalan awal dengan teman-teman kampus terjadi di ruang virtual.
"Saat pertemuan daring sih pada hadir tapi kita kebanyakan off camera. Terus ada yang pakai foto tapi foto lama kayak waktu masih SMA bahkan SMP. Padahal waktu pandemi penampilan orang-orang kayak berubah gitu kan," kata Kezia dari Tangerang Selatan.
Masalah terjadi ketika penutupan ospek berlanjut secara luring. Kezia kesulitan mengenali teman-teman kampus di luar fakultasnya. "Pas ketemu langsung itu kayak 'Oh, yang ini orangnya ya'," tuturnya.
Kezia adalah anak yang pemalu sehingga lebih sering menunggu diajak berkenalan. Meskipun begitu, dirinya menyadari pentingnya memiliki teman di masa perkuliahan. Karena itu, dia sengaja mendekati salah satu teman kuliah yang terlihat ramah dan gampang berteman.
"Waktu itu aku merasa benar-benar 'menjual' kepribadianku ha-ha. Untungnya dia baik terus aku dikenalkan sama teman-teman yang lain," ujarnya.

Nabila Yasmin Nurrita alias Bibil (20), mahasiswa di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, menunjukkan hasil gambarnya dengan teman sebagai obyek
Menjadi pendengar
Bibil menyadari bahwa memiliki teman di kampus sangat penting. “Mereka adalah sistem pendukung di tengah padatnya kegiatan kuliah dan tugas. Mereka bisa menjadi teman diskusi, pendengar, dan pemberi saran yang penting selama proses belajar aku," ujarnya.
Bibil memiliki sekitar lima teman baik di kampus. Menjadi teman yang baik, menurut dia, berarti menjadi pendengar yang baik sebelum dia yang bercerita. Selain itu, teman harus bisa berempati untuk mengetahui menyesuaikan kepribadian dan menyadari kebutuhan teman lain.
Di kampus, Bibil berusaha menjaga pertemanan yang sudah terjalin. "Aku tanyain kabar atau tanya boleh main ke kosan enggak. Kalau ada yang enggak masuk aku tanyain supaya mereka tahu diperhatikan," katanya.
Mereka adalah sistem pendukung di tengah padatnya kegiatan kuliah dan tugas. Mereka bisa menjadi teman diskusi, pendengar, dan pemberi saran yang penting selama proses belajar aku.
Kemas Muhammad Adri Mahindra (20), mahasiswa Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, turut menyadari seberapa krusial peran teman di kampus. Baginya, teman bisa menjadi tempat bertukar pikiran dan menyediakan koneksi, baik di bidang akademik maupun non akademik. Ia sebelumnya telah berkuliah di UI pada tahun 2020, tetapi kemudian keluar. Kemas lalu kembali masuk ke kampus itu pada tahun 2022 sebagai mahasiswa baru.
Lantaran pernah berkuliah di kampus itu, Kemas jadi memiliki teman dari angkatan 2020 dan angkatan 2022, meskipun dia lebih akrab dari teman di angkatan 2020. Kemas pun mengakui terkadang ada dinamika dalam pertemanan. “Dalam menyikapinya, kalau masalah itu penting saya akan mengajak teman untuk membahas masalah, tetapi kalau tidak ya bicara pas ada waktu aja atau malahan mungkin tak dibicarakan,” tuturnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F26%2Fac9650b7-5415-4e2d-a682-10ad21cc8bd7_jpg.jpg)
Tiga orang mahasiswa berbincang di kampus Universitas Budi Luhur, Jakarta, Kamis (26/1/2023). Para mahasiswa kembali bergaul dan berkenalan dengan teman baru seiring dengan Kegiatan belajar di kampus yang mulai aktif kembali.
Lahir batin
Psikolog klinis dari Universitas Surabaya (Ubaya), Jawa Timur, Afinnisa Rasyida, menjelaskan, relasi (pertemanan) dengan orang lain menjadi kebutuhan dasar setiap orang. Dengan mempunyai teman, seseorang akan sehat jiwa dan raga. Sebaliknya, orang yang tak punya teman kehidupannya akan terganggu.
Hal ini karena ketiadaan teman akan menciptakan rasa kesepian dan kosong yang bisa mengganggu kondisi fisik, misalnya berupa sakit kepala dan insomnia. Jika keadaan itu terus terjadi, seseorang bisa depresi yang membuat ia lari ke alkohol, narkoba, sampai tindak kriminalitas. Depresi yang tak segera teratasi bisa memicu tindakan bunuh diri.
Afinnisa, yang akrab dipanggil Fifin, menyatakan, meski berteman itu penting, kebutuhan setiap pribadi akan teman berbeda-beda. “Jangan mengira orang introver tak perlu teman. Si introver tetap perlu teman, tetapi ia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri atau me time sedangkan orang ekstrover justru lebih ceria dan semangat di tengah teman-teman,” ujar Fifin, Rabu.
Dalam konteks mahasiswa, sekalipun sibuk dengan kegiatan kuliah dan pekerjaan, mereka membutuhkan teman sebagai tempat curhat sekaligus rekan yang saling mendukung dan membangun.
Baca juga: Nyaman Bekerja Di Mana Saja
Untuk memudahkan anak muda mencari teman baru, Fifin menyarankan mereka lebih dulu berinisiatif untuk menyapa dan mengajak mengobrol orang lain. “Jangan pasif, tetapi bersikap aktiflah sehingga akan memudahkan mencari teman saat sudah masuk kuliah,” katanya.
Cara termudah memulai percakapan bisa dengan menanyakan hobi atau kesukaan lawan bicara. Kesamaan hobi dan minat, biasanya akan memuluskan jalan untuk menjalin pertemanan.
Alumnus program magister Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran tersebut mengingatkan untuk menjaga relasi pertemanan itu sendiri. Pasalnya, acapkali anak muda memiliki ekspektasi terlalu tinggi dalam berteman. Misalnya, kita menginginkan teman selalu tersedia setiap saat padahal setiap orang butuh waktu untuk diri sendiri.
Pertemanan itu, lanjutnya, perlu ada sikap toleransi serta kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Artinya, kita bisa memahami pihak lain agar muncul kesepahaman yang membuahkan koneksi sehat antar pihak yang berelasi. “Penting untuk selalu mengawasi diri sendiri demi menjaga relasi baik. Sebenarnya sifat bisa menekan egosentris, punya toleransi tinggi menjadi bawaan setiap orang dari rumahnya,” ujar Fifin.