Mode Berkelanjutan Menjaga Napas Bumi
Putaran hidup yang kian cepat bukan berarti perlu direspons untuk saling berlomba. Begitu pula dengan gaya hidup yang kerap kali diwakili oleh mode dan cara berpakaian yang juga berputar cepat.
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi Bumi makin memprihatinkan. Para pelaku mode bergerak menyayangi Bumi lewat mode berkelanjutan, yakni mode yang memegang prinsip kesehatan lingkungan.
Pendiri Cinta Bumi Artisans, Novieta Tourisia, dalam kelas Kompasfest 2022 Presented by BNI bertajuk ”Modernizing Sustainable Fashion with Love for Local Heritage”, di Jakarta, Sabtu (20/8/2022), menuturkan, cara hidup yang serba cepat memiliki dampak, salah satunya terhadap lingkungan.
Novieta pun menyinggung istilah sustainable atau berkelanjutan yang kini marak. Menurut dia, sustainable bukan hanya berkutat pada material alam yang digunakan suatu produk, khususnya mode. Namun, banyak hal di baliknya yang perlu ditelusuri untuk memahami apakah suatu produk memang menjunjung tinggi asas keberlanjutan untuk lingkungan.”Berbicara sustainable, berbicara juga pekerjanya diperlakukan adil enggak. Produksinya bertanggung jawab enggak. Limbahnya bagaimana. Yang terpenting material yang digunakan itu bisa dilacak asalnya. Misal kapas alami, katanya, tetapi dipaksa tumbuh cepat dan banyak demi memenuhi target produksi, ini bukan sustainable,” tutur Novieta.Setiap tumbuhan untuk membuat kain atau membuat pewarna alami memiliki masa hidup dan panen yang berbeda-beda. Jika menganut asas keberlanjutan, tanaman itu dibiarkan tumbuh sesuai dengan durasinya.
”Misal untuk pewarnaan itu yang bagus pakai jati, tetapi di musim panas, jati itu meranggas. Ya sudah, tidak apa, kita bisa ganti dengan yang lain, misal gumitir yang memang ada sepanjang tahun. Nanti musim hujan baru bisa pakai jati lagi,” ujar Novieta.
Hal ini dipelajari dari kunjungannya ke berbagai pelosok daerah. Ia menyaksikan ibu-ibu di daerah tersebut memilih untuk menjaga keseimbangan alam dengan tidak melawan daur hidup yang sudah ada. Keyakinan mengubah daur hidup dengan mempercepatnya bisa berdampak pada alam dan isinya, termasuk manusia.
”Karena itu, spirit dari Cinta Bumi ini adalah kearifan leluhur yang salah satunya menjaga alam yang ditinggali ini. Lalu, semangat kekriyaan dan kreativitas berkesadaran,” ungkap Novieta.
Namun, spirit ini tadinya diawali dengan penciptaan karya untuk memantik kesadaran dan ketertarikan pada khalayak. Semangat sustainability yang tepat dengan melambat dan kembali ke alam ini dia tularkan melalui karya-karya kain cantik dengan bahan dan pewarna alami. Bahannya pun dicari yang asalnya jelas dengan kriteria ketat. Pewarna alaminya tidak hanya dari tanaman, tetapi juga dari limbah dapur.
”Bawang merah itu bisa menghasilkan warna emas yang bagus, lho. Jadi, enggak cuma bisa untuk masak. Alpukat juga, seperti bijinya itu, bisa menghasilkan warna pink, kulitnya bisa peach atau coklat. Karena itu, saya memanfaatkan limbah alpukat dari resto vegan dekat tempat saya di Ubud untuk pewarnaan,” tuturnya.
Novieta pun menggagas kebun kecil Cinta Bumi untuk menanam tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami, tetapi tidak dalam jumlah besar. Begitu pula dirinya dalam menghasilkan karya tidak pernah dalam jumlah besar. Semua menyesuaikan kuantitas material yang ada.”Melestarikan warisan itu, kan, integral, kita harus mencari tahu bagaimana membudidayakan sebagai bentuk sustainability. Perlu juga ditanamkan, proses sirkular saat ini bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban sehingga harus dilakukan walau memerlukan proses. Namun, semuanya kembali lagi untuk bumi yang kita tinggali dan generasi selanjutnya,” tuturnya.Memberi nilai tambah Kreator konten digital Wira Laga Bachtiar meyakini bahwa barang lama bisa diolah menjadi baru dan bernilai tambah (upcycle). Dengan demikian, usia barang bisa diperpanjang agar tidak langsung menjadi sampah.Pada sesi lokakarya Kompasfest bertajuk ”Make It Trash-ionable: Upcycling Trash into Fashionable Items”, Wira menunjukkan foto tas bernuansa hitam dan putih kreasinya. Tas itu dibuat dari tas belanja rumah mode Dior yang sudah tak terpakai. Dengan paduan material lain, seperti kulit sintetis, serta dengan menjahit dan menempel semua material, jadilah tas baru yang modis.
Wira juga pernah mengubah bola basket hingga kemasan mi instan menjadi tas. Barang-barang hasil upcycle tersebut diminati pengikutnya di media sosial. Namun, tidak semua dijual. Wira biasanya membuat koleksi terbatas untuk dijual. Tak butuh waktu lama hingga koleksi itu habis terjual.
”Barang-barang ini punya nilai jual. Brand Marine Serre, misalnya, meng-upcycle denim-denim lama, lalu diwarnai dan diberi label hingga menjadi busana baru,” ucap Wira yang dikenal dengan nama Wiralagabae di Instagram dan Tiktok.
Seseorang tidak mesti memiliki keterampilan menjahit yang mumpuni untuk memulai upcycle. Tas hingga topi hasil upcycle bisa dibuat dengan menempel material dengan lem atau dengan baut. Pada sesi lokakarya Kompasfest, Wira memandu peserta untuk membuat tas tangan sederhana dari kulit sintetis dan 18 baut.Kulit sintetis yang sudah dipotong sesuai pola dilubangi di beberapa titik, lantas disatukan dengan baut. Peserta dapat mengkreasikan tas itu, misalnya mengecat badan tas dengan cat semprot atau menempelkan kain dari baju lama peserta. Salah satu peserta lokakarya, Selvi (21), mengatakan, dirinya baru tahu bahwa tas bisa dibuat tanpa menjahit.
Wira menambahkan, modal untuk membuat tas di sesi lokakarya sekitar Rp 70.000. Jika tas dikreasikan lagi dengan teknik upcycle, harga jualnya bisa Rp 200.000 hingga Rp 300.000.
Pemberdayaan perempuan
Pada rangkaian acara Kompasfest, hadir pula Co-Founder & Chief of Community Development & Partnership Du Anyam Hanna Keraf di kelas daring. Dia membagikan pengalamannya selama delapan tahun memberdayakan ibu-ibu di Flores Timur untuk menganyam. Produk anyaman daun lontar dari mereka sudah diekspor ke sejumlah negara.
Awalnya, bukan hal yang mudah bagi Hanna untuk mengajak para perempuan untuk menghasilkan produk anyaman dari daun lontar yang bisa dijual. Bahkan, dia ditertawakan banyak orang karena ke sana kemari membawa daun lontar untuk memberikan pelatihan kepada ibu-ibu.
Namun, Hanna tak patah semangat. ”Kita harus memiliki modal sosial. Paling besar adalah trust atau kepercayaan. Walaupun sama-sama orang Flores, saya lahir dan besar di Jakarta. Bagaimana mereka percaya kepada saya? Satu-satunya cara adalah tinggal bersama mereka,” cerita Hanna. Setelah cukup lama tinggal di desa tersebut, barulah Hanna bersama Du Anyam dipercaya bisa membawa perubahan pada mereka. Berbagai cara dilakukan, termasuk bagaimana menjaga kualitas produk anyaman.
”Hari ini masalah terbesar adalah bagaimana meningkatkan produksi di komunitas untuk ekspor. Mereka menghasilkan produk sehari-hari yang digunakan di kebun, bertani, alat dapur, atau untuk acara adat istiadat. Produk tidak dikembangkan secara masif untuk permintaan yang besar,” tutur Hanna. Meski harus menghasilkan produk anyaman dalam jumlah besar, Hanna tetap menggunakan sistem community base production. Du Anyam juga tetap mempertahankan bahan baku alami, seperti daun lontar, untuk produk-produknya.