Joey Alexander: Jazz adalah Soal Mencoba Hal Baru
”Saya akan selalu berkreasi meskipun tidak tinggal di New York. Kami musisi merupakan warga dunia, jadi bisa berkreasi di mana saja.”
Tahun 2020 sepertinya menjadi tahun penuh dinamika bagi pianis Joey Alexander. Album kelimanya dipinang label jazz legendaris Verve Records. Ia menyaksikan, sekaligus terimbas, peristiwa besar mewabahnya virus korona baru penyebab Covid-19. Satu hal yang pasti adalah dia akan berusia 17 tahun.
”Iya, ini Joey,” begitu suara yang terdengar dari sambungan percakapan video, Rabu (29/4/2020) malam waktu Jakarta. Konfirmasi itu penting mengingat suara itu terdengar seperti suara laki-laki dewasa. Terakhir kali Kompas bercakap-cakap langsung dengannya terjadi pada 2016.
”Itu umur saya masih 12 tahun. Konser tunggal pertama saya di Jakarta itu,” ujarnya seperti menahan tawa. Jadi, pantas saja warna suaranya bikin pangling. Juni tahun ini, Josiah Alexander Sila, nama lahirnya, genap berusia 17 tahun.
Walau pakai aplikasi Zoom, Joey tak mengaktifkan videonya, hanya suara yang aktif. Dia sedang di rumahnya di New York, AS, seperti kebanyakan kita yang menjalani karantina di tengah wabah Covid-19. Sudah sekitar dua bulan, katanya, dirinya di rumah saja. Dia mengaku sehat. Keluarganya pun demikian.
Baca juga : Joey Alexander, Ia adalah Pianis Hebat
Sesekali dia melongok ke taman di dekat tempat tinggal yang ditempati keluarga itu sejak pindah dari Denpasar ke New York pada 2014. Sepi, katanya, walau masih ada satu-dua orang jalan. Itu adalah kesepian terhebat yang pernah ia saksikan di kota metropolitan yang biasanya riuh itu.
Perihal kota yang sepi Joey tuangkan dalam lagu ”Lonely Street” yang ada di album baru. Tentu saja, lagu itu tercipta sebelum wabah Covid-19 melanda. Lagu itu adalah salah satu fragmen dalam hidupnya sebagai musisi. Album Warna berisi potongan-potongan pengalaman seperti itu yang ia temui dan rasakan selama berproses menjadi musisi.
Pengalaman Joey di kancah musik membuat orang berdecak-decak. Dia diundang langsung oleh Wynton Marsalis untuk main di ajang tahunan prestisius Jazz at Lincoln Centre pada 2014. Dia jadi nomine termuda di ajang Grammy Awards atas penampilannya. Dia pernah main bareng Wayne Shorter dan Esperanza Spalding di depan keluarga Obama di Gedung Putih pada peringatan International Jazz Day 2016. Joey juga mampu jadi artis Verve Records, kandangnya para legenda jazz. Semua itu dicapai pada usia belia.
Lagu ”Warna” mewakili kematangan musikalitasnya. Joey mewujudkan imajinasi yang belum pernah tertuang pada karya-karya dia sebelumnya. Di tembang ini, pukulan Luicito Quintero pada perkusi dengan gemilang menerjemahkan imajinasi Joey, bahkan sejak intro. Karena kuatnya lagu ini, masuk akal jika eksekutif Verve Records menganggukkan kepala menjadikan judul lagu ini sebagai titel album.
Album berdurasi 1 jam lebih sedikit ini memuat 12 tembang. Sepuluh di antaranya merupakan karya orisinal Joey. Dua lagu lainnya adalah interpretasi dia terhadap lagu lama, yaitu ”Fragile” yang dipopulerkan Sting, juga ”Inner Urge” dari Joe Henderson.
Baca juga: Sapuan warna Joey Alexander
Dijembatani Universal Music Group, induk dari Verve, Kompas berbincang dengan Joey Alexander selama sekitar 35 menit, dari yang semestinya 15 menit saja. Dia bercerita tentang penulisan album Warna, rencana tampil di Tanah Air, serta betapa beruntungnya dia tinggal di New York. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang berubah dari keseharianmu selama masa karantina?
Perubahannya banyak ya, drastis. Enggak ada acara yang dekat-dekat ini. Puji Tuhan, sih, kebanyakan rencana tampil dijadwalkan ulang. Saya berharap jadi main di Prambanan Jazz bulan Juli nanti. Sudah dekat, sih. Mungkin (acara itu) bisa di-reschedule. Saya belum tahu. Kalau dijadwalkan ulang, saya maunya tetap main di sana.
(Pada Jumat (1/5/2020) malam, CEO Rajawali Indonesia Anas Alimi membenarkan adanya rencana perubahan jadwal Prambanan Jazz 2020 dengan Joey menjadi salah satu penampil utamanya. Penyelenggaraan festival itu menurut rencana diundur menjadi bulan November.)
Persiapan main di Prambanan tetap berjalan, ya?
Iya. Sekarang, sih, saya ada beberapa komposisi baru. Tapi rencananya nanti bawa komposisi dari album Warna. Dan saya juga mau bikin sedikit tribute untuk Bung Glenn (Fredly) sebagai sedikit penghormatan untuk seorang teman yang berjasa buat musik Indonesia.
Bagaimana kesan Joey terhadap Glenn?
Sebelumnya, saya sudah dengar banyak tentang Bung Glenn. Tapi, pas saya ketemu orangnya, saya lebih terpesona. Glenn itu benar-benar happy kalau main dan humble. Menurut saya, great musician semuanya begitu. Itu karakter great musician, ya. Absolutely dia great musician.
(Joey pernah mengajak Glenn menjadi bintang tamu pada konser tunggal kedua Joey di Indonesia pada 2017. Ketika itu, mereka membawakan lagu ”Zamrud Khatulistiwa”. Joey bersyukur pernah melakukan kolaborasi itu).
Biasanya, setelah merilis album, ada jadwal tur promosi. Apakah ada jadwal Joey yang tertunda?
Iya, ada. Sejauh ini, sudah sempat manggung beberapa hari setelah rilis album (31 Januari 2020). Saya main di California sehari setelah album keluar dan sejumlah panggung lain. Enggak banyak, sih, lumayanlah. Saya juga diundang promo tur di Eropa. Setelah itu, keadaan sudah mulai seperti sekarang. Pertunjukan harus dibatalkan atau ditunda. Seharusnya Juli nanti saya main di Eropa lagi. Tapi, ya, semua ditunda sampai tahun depan. Ada juga satu pertunjukan dibatalkan di Italia.
Sedih, ya?
Iya, memang agak menyedihkan. Saya, kan, jarang main di Eropa. Semua musisi pasti sedihlah.
Apa yang kamu lakukan mengatasi kesedihan itu?
Kami semua mau mencoba (bersikap) positif dan berpikir ke depan apa yang bisa dilakukan. Menurut saya sebagai musisi, yang bisa dilakukan adalah berbagi energi kepada para pendengar.
Termasuk mulai menulis lagu baru?
Iya, sudah mulai pelan-pelan, he-he. Kita jadi punya lebih banyak waktu, kan. Saya masih bisa bersyukur, sih.
Pengalaman apa sebenarnya yang diceritakan di album Warna?
Pengalaman saya bermain dengan musisi berbeda-beda, tapi juga pengalaman sebagai musisi yang menempuh perjalanan, tampil di beragam tempat. Tempat-tempat itu beberapa di antaranya adalah kota kecil. Ada salah satu lagu, ”Lonely Street”, temanya itu benar-benar relevan untuk sekarang. Saya pikir, pas juga saya bikin lagu itu pada keadaan (karantina di rumah) begini.
Memangnya, apa inspirasi untuk ”Lonely Street”?
Waktu itu baru selesai rekaman (bukan album ini), mau menuju pusat kota New York. Di perjalanan, saya melihat kota kecil yang sepertinya terbengkalai, begitu. Imaji itu melekat terus, sampai terbawa pulang. Saya memutuskan menulis sesuatu. Nah, sekarang kita diisolasi, kan. New York yang biasanya ramai sekarang sesepi kota kecil itu, walaupun masih ada yang jalan, tapi terasa sepi.
Soal pemilihan judul album yang menggunakan bahasa Indonesia, siapa yang mengusulkan?
Idenya dari saya. Itu (tercetus) di menit-menit akhir, sih, karena sebagai musisi, saya menyiapkan musiknya dulu, yang lain belakangan. Saya punya lagu judulnya ”Warna”, jadi pas kalau judul albumnya Warna juga.
Bagaimana reaksi eksekutif label pada usulan judul itu?
Ha-ha, ini menarik. Mereka awalnya enggak yakin dengan judulnya. Mungkin karena kesulitan cara mengucapkannya, beda lidah. Tapi mereka masih anggap baik-baik saja walau tak seperti yang mereka harapkan.
Berapa lama sampai mereka yakin pada judul ini?
Sepertinya enggak terlalu lama, ya. Sekitar satu minggu. Mereka perlu diskusi dulu dengan tim soal menentukan judul. Mereka (Verve), kan, ada di bawah Universal. Itu mungkin yang bikin keputusannya perlu waktu. Cuma, pada akhirnya saya bersyukur judulnya disetujui. Rasanya, memang itu judul yang paling pas; menggambarkan pengalaman saya bermain (musik) dengan orang-orang berbeda, tanpa perlu menjadi orang lain.
Menurut aku, lagu ”Warna” memberi nuansa berbeda pada album, bahkan lagu-lagu Joey sebelumnya. Bagaimana tanggapanmu?
Iya, setuju. Saya memang ingin membawakan sound yang belum pernah ada di lagu-lagu saya. Sebelumnya belum pernah ada bunyi perkusi. Jazz intinya adalah mencoba hal baru. Itu yang saya lakukan. Mencoba bunyi baru, mencoba cara baru menulis lagu. Saya terpikirnya memasukkan perkusi dan flute. Luicito (Quintero), puji Tuhan, adalah orang yang bisa mewujudkannya. Semua musisi bisa mewujudkan imajinasiku.
(Di album ini, Joey bermain sebagai trio bersama pemain bas Larry Grenadier dan drumer Kendrick Scott. Mereka pernah mengisi di dua album awal Joey. Dua musisi tamu yang teribat adalah Luicito Quintero pada perkusi dan Anne Drummond pada flute. Lagu ”Warna” diakui Joey tergolong rumit dan punya struktur lebih panjang dari lagu-lagu gubahan dia lainnya. Joey menyebut chart lagu ini sepanjang empat halaman).
Bagaimana bisa bertemu dengan Luicito dan Anne?
Produser saya yang mengenalkan. Dia kasih tahu beberapa nama musisi yang dia kenal, salah satunya Luicito. Sebelumnya saya kurang banyak tahu pemain perkusi karena belum pernah memakainya. Karena direkomendasikan teman, saya langsung semangat, ”Ayo lakukan”. Setelah itu ada Anne, salah satu pemain flute paling menakjubkan. Saya bersyukur banget ada Luicito dan Anne, yang mau membagikan kemampuan mereka dan menjadi diri mereka sendiri. Saya puas dengan para musisi yang bekerja sama di sini.
Bagaimana membangun kelekatan dengan para pemusik itu?
Sejujurnya, kami main dulu selama empat hari berturut-turut di sebuah klub terkenal di New York bernama Blue Note. Di situ proses ”berkenalan” satu sama lain dimulai. Paling penting, kan, membangun chemistry. Pas main selama empat hari itu benar-benar dapat sampai siap menuju album.
Proses rekamannya berapa lama?
Cuma tiga hari. Sehari penuh dengan trio, lalu sama Anne, lalu sama Luicito. Itu pengalaman mengesankan. Karena sudah pernah main bersama, jadi tahu apa yang harus kami lakukan. Rekaman album sebelumnya juga tiga hari di studio, dengan cara merekam track-by-track. Bisa secepat itu mungkin karena sudah saling kenal satu sama lain. Kenal secara personal, kenal secara musikal.
Lima tahun tinggal di New York, Joey menghasilkan lima album. Apa yang membuatmu bisa seproduktif itu? Apakah sibuk sekali di sana?
Sibuk sekali, sih, tidak ya. Cuma, bagi saya, jazz adalah musik yang menuntut pemusiknya untuk terus berkreasi. Saya bersyukur berada di sekitar musisi-musisi hebat dan berkesempatan bermain dengan mereka. Beruntung juga saya berada di New York, kota penuh inspirasi. Bukan cuma berjumpa musisi, tapi gairah (vibe) di kota ini sangat menggugah.
Menurut kamu, andai tidak tinggal di New York, apakah bisa menghasilkan lima album dalam waktu lima tahun?
Saya akan selalu berkreasi meskipun tidak tinggal di New York. Kami musisi merupakan warga dunia, jadi bisa berkreasi di mana saja. Mau di Indonesia, mau di Amerika Serikat, kita semua berproses—hal terbaik yang kualami. Saya bersyukur dikasih kesempatan tinggal di New York dan berkenalan dengan banyak musisi. Di Indonesia juga ada banyak musisi hebat yang berkontribusi untuk kemajuan jazz Indonesia.
Baca juga : Joey Alexander Bebas Ciptakan Momen lewat Jazz