Muhammad Faisal: Pandemi Akan Mengubah Generasi Muda Kita
Ada kecenderungan anak muda Indonesia untuk melawan arus. Perilaku mereka tidak linear dengan apa yang dilakukan anak muda di negara lain.
Generasi milenial saat ini selama ini identik dengan teknologi digital, otomatisasi, kreativitas, kebebasan, kewirausahaan, dan passion ketika bekerja. Namun, ada sisi lain yang belum tersorot jelas dari mereka, yakni kolektivitas mereka.
Penulis buku Generasi Kembali ke Akar, Muhammad Faisal, mengajak masyarakat untuk mengkaji ulang pemahaman mengenai generasi milenial. Dalam memahami generasi milenial, Faisal menggunakan teori arketipe, sebuah konsep psikologi mengenai ketidaksadaran manusia yang diperkenalkan CG Jung.
Tidak ketinggalan, Faisal yang juga Kepala Sekolah Kembali ke Akar menilik potensi dampak pandemi Covid-19 terhadap karakter mereka. Simak hasil wawancara bersama Faisal dalam ”Bincang Buku: Kehidupan Generasi Muda Setelah Pandemi” yang diadakan Penerbit Buku Kompas di Jakarta, Selasa (21/4/2020).
Apa saja faktor yang membentuk arketipe suatu generasi?
Teori arketipe itu agak unik. Bagi sebagian peneliti behavioristik, mereka menganggap teori ini tidak jelas karena memang memori kolektif dan arketipe bawah sadar tidak bisa didefinisikan. Teori ini masih menerima kritik karena tidak bisa jelaskan diri sendiri, jadi memang karena sebagian konsep sangat abstrak, seperti filosofi, sebagian melihat dengan psikoanalisa sebagai sebuah seni yang membutuhkan rasa, bukan dengan perhitungan statistik dan tidak mekanistik.
Arketipe yang dimaksud ini adalah sekumpulan memori kolektif yang tersimpan lewat budaya, bahasa, literatur, dan memori itu tetap ada tanpa kita sadari itu ada. Jadi, ketika ada pemicu, melalui suatu peristiwa, perilaku lama bisa muncul kembali. Teori arketipe tidak bisa dijelaskan secara mekanistik karena teori ini agak metafisika.
Bagaimana karakter generasi milenial Indonesia saat ini dan perbedaannya dengan negara lain?
Dalam riset saya mengenai anak muda, saya melihat ada kecenderungan untuk melawan arus oleh anak muda di Indonesia. Perilaku mereka tidak linear dengan apa yang dilakukan anak muda di negara lain.
Di awal saya riset tahun 2008 itu sedang ada euforia media sosial, Blackberry, iPhone. Jadi, semua lebih pada menerjemahkan perilaku anak muda dalam merespons teknologi digital. Tetapi, saya melihat anak muda Indonesia berbeda. Meskipun ada penetrasi telepon, medsos, dan digital, anak muda justru semakin kolektif. Ini fenomena apa? Mungkin ini perilaku bawah sadar generasi.
Saya juga bergabung dalam konsorsium peneliti anak muda dari beberapa puluh negara, tahun 2012 sampai 2013. Dunia Timur dalam berbagai riset memiliki sikap kolektif lebih besar dari bangsa bangsa Barat. Setelah ada teknologi digital, negara di Timur juga ada pergeseran, misalnya anak muda di Jepang, Korea Selatan, dan China semakin individualis. Artinya, mereka cukup dengan kehidupan sendiri tanpa melibatkan lebih banyak aktivitas sosial.
Menariknya di Indonesia, di internet malah jadi banyak komunitas sosial sehingga persimpangan semakin kecil, lebih banyak sinergi aktivitas dan ruang untuk berkolaborasi. Ada perkumpulan hobi putar pensil dan pelihara binatang. Kembali ke sejarah, anak muda di era revolusi juga membuat Jong Celebes atau Jong Java. Itu komunitas dan mereka bersinergi. Jadi, perbedaannya adalah kolektivitas Indonesia menguat setelah memasuki abad ke-21 pada era digital.
Apakah ini mau mengkritik konsepsi tentang generasi milenial yang kadang stereotip?
Bukan mengkritik, melainkan mungkin mempertanyakan lagi apakah konsep itu fit dengan karakter masyarakat generasi muda, terutama di Indonesia. Ini karena agak spontan juga kita mengadopsi konsep milenial itu pas pilpres kemarin dan diaminkan oleh dunia ekonomi. Mereka melihat ada pasar besar karena bonus demografi milenial dianggap memiliki karakter yang sama. Jadi, saya mengajak untuk mendefinisikan ulang generasi muda di indonesia.
Apakah arketipe generasi muda memiliki pola berulang mengingat saat ini ada pandemi Covid-19?
Ini menarik dan masih berjalan, orang masing mengamati. Banyak juga yang sedang melakukan riset ini. Tetapi, mengacu pada teori generasi oleh Karl Mannheim serta William Strauss dan Neil Howe, mereka mengatakan, generasi akan memiliki karakter baru jika ada critical moment, yaitu peristiwa yang memiliki dampak besar terhadap politik, sosial, dan ekonomi. Pandemi Covid-19 ini memiliki dampak itu dan dirasakan oleh seluruh dunia, akan ada second atau third wave ke ekonomi dan politik.
Jadi, berdasarkan itu, saya rasa pandemi ini akan mengubah generasi yang kita lihat sekarang. Menariknya, saya melihat teori turning point atau generasi kembali ke akar semakin terlihat. Contohnya, istilah pagebluk yang biasa sesepuh gunakan mereka mulai bahas lagi.
Bagaimana kemungkinan dampak pengaruh Covid-19 terhadap karakter generasi milenial?
Beberapa tahun terakhir kita baru mengetahui istilah revolusi Industri 4.0, di mana Klaus Schwab membahasnya di World Economic Forum pada 2015. Sebelum ada Covid-19, arah kebijakan pemerintah adalah menyambut digitalisasi. Pada satu titik teknologi melebihi kecerdasan manusia dalam berkarya atau menulis lagu dan novel. Tetapi, visi itu perlu direvisi lagu. Kalau dulu kita yakin teknologi membuat manusia semakin sejahtera, sekarang kita bisa melihat humanisme itu lebih dibutuhkan. Mungkin sebagian efek teknologi digital mungkin membuat dehumanisasi dan pandemi ini membuat kita sadar akan hal itu, misalnya bertemu tatap muka langsung itu sangat berharga. Kita jadi menghargai nilai-nilai itu.
Kondisi ini akan merevisi pandangan anak muda terhadap komunitas dan hal kecil, seperti persahabatan. Saya rasa mereka akan menghargai lebih itu daripada nilai interaksi transaksional di medsos lewat jumlah follower dan like.
Lalu, kolektivitas dan perilaku filantropis makin muncul, yaitu inisiatif untuk membantu orang kesulitan ekonomi. Ada kecenderungan untuk menjaga lingkungan hidup karena menganggap ada kaitan pandemi, virus, pemanasan global, tanaman, obat, dan hutan. Jadi, pandemi ini akan mengubah banyak hal, ada pergeseran ke hal lebih mendasar seperti lingkungan hidup.
Apakah ini sudah ada arketipe generasi muda Indonesia?
Kita harap ada. Anak muda Indonesia memiliki kemampuan membangun jejaring kolektif secara sukarela tanpa transaksi atau paksaan untuk inisiatif kebaikan. Itu kekuatan terbesar kita dan relevan saat ini.
Solidaritas seperti itu yang bisa membuat kita mampu melewati masa sulit pandemi ini. Kalau semua bangsa tidak ada sifat itu, akan susah sekali. Berkaca dari anak muda sejak revolusi, gerakan pertama itu selalu berasal dari anak muda.
Untuk itu, generasi muda sebagai bonus demografi juga harus bisa mengisi kembali ruang-ruang di mana masyarakat inti paling dibutuhkan setelah pandemi berakhir. Misalnya, ada area pangan yang mana anak muda masih tidak terlalu fokus ke sana.
Bisakah tekanan dalam bentuk krisis seperti pandemi mengubah atau menggerus arketip?
Pastinya iya. Tetapi, kalau kita mundur ke sejarah, wabah flu terjadi pada 1918 dan itu beriringan dengan Perang Dunia I. Tokoh revolusi kita zaman dulu menghadapi perang, penjajahan, dan wabah flu, tapi tantangan itu mengeluarkan sari-sari terbaik pada masa itu, berupa kolektivitas, imajinasi kebangsaan, dan pola pikir progres. Pada saat yang bersamaan, ada jug industri percepatan, seperti penemuan kereta api, Ford membuat mobil, dan banyak pabrik bermunculan, seperti agraria, tambang, dan minyak. Kalau dibandingkan sekarang, bisa dibilang tantangannya sama meskipun zamannya berbeda. Jadi, saya optimistis menghadapi tantangan saat ini kalau kita melihat pola sejarah dan karakter yang muncul di generasi sebelumnya.
Bagaimana dengan dampak dari pandemi ini kepada generasi yang lebih muda, Generasi Z?
Mengacu pada teori Margaret Mead tentang generation gap, dulu setelah Perang Dunia I ada satu generasi sangat ikut pada nilai-nilai orangtua. Sementara Generasi Z itu masih muda, tetapi susah mendengarkan orangtua dan lebih pintar mencari jawaban sendiri dari Google, media, dan teman.
Dengan adanya karantina ini, akan ada pergeseran di mana mereka akhirnya berinteraksi bareng satu sama lain, mulai dari sarapan, makan malam, main bersama, hingga mengerjakan tugas sekolah. Itu akan mengubah karakter mereka yang tadinya tidaknya postfigurative menjadi prefigurative sehingga lebih banyak mendengarkan orangtua. Jadi, akan ada keseimbangan yang menarik karena mereka mengadopsi teknologi, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai orangtua. Namun, untuk bisa bonding, itu tetap butuh kesabaran orangtua, jangan sampai selama di rumah malah ada ”perang”.
Bagaimana dengan tantangan anak muda Indonesia saat ini?
Banyak, tapi ini untuk secara umum. Tokoh revolusi dan tokoh sejarah Indonesia, seperti Bung Hatta dan Tan Malaka, mereka tidak memiliki informasi dan akses terhadap internet seperti anak zaman sekarang. Tetapi, yang membedakan adalah dengan keterbatasan mereka bisa mengolah dan mengubah sesuatu yang signifikan.
Anak zaman sekarang memiliki informasi terlalu berlebihan sehingga tantangannya adalah memanfaatkan informasi yang sudah ada. Kita miliki sudah lebih dari cukup, tinggal memproduksi dan memanfaatkan sebagai hal yang bermanfaat. Bahkan, ada istilah dalam essentialism bahwa yang tersulit adalah menentukan apa yang esensial yang harus kita lakukan.
Baca juga: Jay Subiyakto Merambah ke Layanan ”Streaming”
Strategi agar generasi milenial dan generasi yang lebih tua bisa berkolaborasi dalam menghadapi tantangan seperti saat ini?
Dari dulu, dikotomi generasi muda dan tua itu selalu ada di Indonesia, seperti Peristiwa Rengasdengklok. Jadi, solusinya adalah memperbanyak interaksi satu sama lain karena setiap kluster usia memiliki stereotip tentang satu sama lain.
Ada hal yang menarik, yakni di mana krisis pandemi seperti ini dari hari ke hari justru membuat semua kelas sosial, eksklusivisme, elitisisme, dan borjuisme semakin luntur. Hal ini karena ternyata kita butuh satu sama lain terlepas kelas sosial, usia, dan status. Kita semakin dependen. Jadi, mungkin akan terjadi interaksi yang lebih intens untuk semua kelompok usia di tengah krisis ini. Misalnya ada transaksi informasi anak muda yang imajiner dan informatif, lalu bergabung dengan generasi tua yang memiliki kearifan, berpengalaman, dan kesuksesan masa lalu.