KCI Berusia 16 Tahun, Warga Berharap KRL Jabodetabek Tambah Kereta
Setelah stasiun diperbaiki, warga berharap KCI tambah rangkaian kereta, jalur rel steril, dan tanpa gangguan eskalator.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
Selamat ulang tahun PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter!
Pada 15 September 2024, PT KAI Commuter yang lebih dikenal publik sebagai KCI, genap berusia 16 tahun. Pada usia setara remaja yang tengah tumbuh pesat, warga berharap pelayanan penumpang semakin baik seperti menambah jumlah rangkaian kereta hingga perbaikan infrastruktur untuk memudahkan mobilitas tinggi warga.
Sebagai salah satu transportasi publik dengan jangkauan rute yang luas di Jabodetabek, KRL menjadi sarana andalan transportasi warga. Berdasarkan data pada semester pertama 2024 menunjukkan, total pengguna KRL Jabodetabek mencapai 156.816.151 orang.
Jika melihat data pada 2023, jumlah penumpang KAI Commuter di wilayah Jabodetabek mencapai 290.890.677 orang atau naik 35 persen dibandingkan pada 2022, yaitu sebesar 215.049.339 orang. Dari jumlah itu, rata-rata pengguna komuter di wilayah Jabodetabek pada hari normal mencapai 870.782 orang per hari. Adapun pada akhir pekan, rata-rata pengguna mencapai 656.935 orang.
Meski demikian, peningkatan jumlah itu belum mencapai jumlah penumpang tahun 2019 atau pra pandemi, yaitu sebesar 336,27 juta penumpang pada 2019 (Kompas.id, 7/9/2024).
Tingginya jumlah penumpang KRL ini tak pelak membuat warga harus berdesakan di dalam kereta, terutama pada pagi dan sore di hari kerja Senin-Jumat.
Reina Sandonia (28), warga Paku Jaya, Tangerang Selatan, merasa tak nyaman dengan kondisi itu. Reina yang sehari-hari selalu menggunakan KRL dari Stasiun Rawabuntu itu sangat berharap pemerintah bisa menambah jumlah rangkaian kereta KRL untuk mengurai kepadatan penumpang.
”Capek fisik dan mental. Dari Rawabuntu sebelum jam 6 (pagi) itu sudah ramai banget. Boro-boro dapat tempat duduk, berdiri dengan nyaman saja susah, berdempetan. Pergi dan pulang setiap hari berdesakan. Ini (KRL) sudah jadi andalan warga untuk bepergian, penumpang sudah terlalu banyak, jadi baiknya aku berharap (kereta) ditambah,” kata Reina.
Pengalaman serupa juga disampaikan Putra Krisna (36), warga Suradita, Kabupaten Tangerang. Menurut dia, fasilitas di sejumlah stasiun, seperti di Stasiun Cisauk, sudah sangat baik, rapi, dan memiliki banyak fasilitas pendukung seperti banyak tenant makan, pakaian, dan kafe.
Fasilitas itu membuat Stasiun Cisauk lebih hidup karena tidak hanya berfungsi sebagai sarana naik dan turun kereta listrik semata, tetapi sebagai ruang untuk kegiatan atau beraktivitas lainnya. Sayang, fasilitas yang sudah baik itu belum sejalan dengan peningkatan layanan penumpang ular besi komuter tersebut.
”Kalau stasiun-stasiunnya sudah bagus dan keren. Nah, akan semakin bagus jika layanan penumpangnya juga lebih keren dengan menambah rangkaian karena sudah sangat tidak kondusif. Sudah sangat padat,” ujar Putra.
Persoalan lainnya yang perlu menjadi perhatian, kata Putra, adalah perjalanan KRL kerap terganggu karena kawat kasus berada di jalur rel, misalnya. Putra turut menjadi korban yang terjebak cukup lama di Stasiun Tanah Abang saat itu. Kejadian itu terjadi pada akhir Januari silam itu.
”Memang bukan sepenuhnya salah mereka. Tapi itu bahaya banget. Jalur rel masih belum steril. Bagaimana caranya agar jalur rel selalu bersih sehingga enggak ganggu perjalanan. Karena sudah sering banget itu,” ujar Putra.
Dinda Nashtiti (30), warga Pondok Cina, Kota Depok, juga memiliki harapan yang sama agar rangkaian kereta bisa ditambah. Selain itu, masalah yang kerap membuat jengkel adalah eskalator di sejumlah stasiun sering mati.
Pengalaman Dinda yang sudah letih karena harus berdesakan di dalam KRL kembali harus berjuang naik turun tangga dampak dari matinya eskalator.
Tak hanya itu, Dinda berharap wacana tarif KRL berbasis nomor induk kependudukan (NIK) tidak terealisasi. Jika itu sampai terjadi, biaya transportasi yang dikeluarkan Dinda akan semakin tinggi.
”Masalahnya, saya enggak naik KRL saja. Turun Manggarai lanjut dari situ naik gojek ke Kuningan. Pulang juga begitu. Sehari untuk transportasi bisa Rp 70.000-Rp 80.000. Bayangin sebulan saya hitung sudah habis Rp 1,7 juta, bisa Rp 2 juta. Makanya saya menolak kalau tarifnya (KRL) naik. Kita ini sudah berdesakan di dalam KRL, masih ketiban lagi dengan tarif NIK yang enggak masuk akal itu? Belum lagi kalau ada masalah perjalanan KRL terganggu, mereka tinggal minta maaf,” ujarnya.
Sekali lagi, selamat ulang tahun KCI. Terus tumbuh dan berkembang lebih baiklah layananmu untuk para komuter, ya.