Sindikat Jual Beli Bayi di Depok Terkoneksi dengan Yayasan Ilegal di Bali
Sindikat jual beli bayi di Depok membentuk yayasan ilegal penampung ibu hamil yang bersiap menjual anak mereka.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Praktik jual beli bayi yang diungkap Kepolisian Resor Depok, Jawa Barat, membuka tabir sindikat yang telah terorganisasi cukup rapi. Mereka membentuk sebuah yayasan di Bali. Di balik yayasan yang ternyata ilegal itu, ditemukan delapan ibu hamil yang bersiap menjual bayinya. Praktik ini dikhawatirkan berlanjut pada eksploitasi anak yang lebih berat, bahkan sampai pada jual beli organ.
Sebelumya, Polres Depok menangkap delapan tersangka atas penjualan dua bayi yang terjadi di wilayah Krukut, Limo, Depok, Senin (2/9/2024). Kedua bayi itu direnggut dari ibunya yang tinggal di Jawa Barat untuk kemudian diberikan kepada pemesan dengan harga Rp 45 juta. Ibu sang bayi memperoleh uang Rp 10 juta-Rp 15 juta.
Hal ini mengemuka saat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menemui Kepala Polres Depok Komisaris Besar Arya Perdana di Markas Polres Depok, Jawa Barat, Rabu (4/9/2024).
Arya menuturkan, dalam mengungkap kasus ini, pihaknya bekerja sama dengan Polda Bali. Pasalnya, aktor sekaligus pemodal dari sindikat jual beli bayi ini adalah I Made Aryadana, warga Tabanan, Bali. Setelah diselidiki lebih lanjut, sindikat ini berlindung di balik yayasan yang ternyata juga ilegal. Bahkan, ketika penyidik mengunjungi yayasan tersebut, ada delapan ibu hamil yang bersiap untuk menjual bayinya.
Modus yang dilakukan adalah mengincar para kaum rentan yang tidak memiliki biaya untuk persalinan. Yayasan itu membiayai semua biaya persalinan dan makan-minum. Namun, bayi yang dilahirkan segera dijual kepada orang lain. ”Satu bayi dihargai Rp 45 juta, sementara orangtua hanya mendapatkan Rp 10 juta-Rp 15 juta,” katanya.
Arya menuturkan, sampai saat ini pihaknya masih fokus mencari kemungkinan adanya pelaku lain. Kemungkinan itu muncul karena dalam merekrut ibu hamil, sindikat ini diduga menggunakan 10 akun Facebook.
Akun Facebook yang dikelola antara lain Bali Lewih, Rumah Adopsi Harapanku, Adopsi Bayi, dan Balita Anak Jawa. Banyaknya akun yang dikelola bertujuan agar lebih banyak ibu hamil yang bisa direkrut.
”Kami masih menyelidiki kemungkinan adanya pihak lain yang mengelola akun ini,” ujarnya.
Polda Bali saat ini sudah mengecek sejumlah yayasan yang kemungkinan terafiliasi dengan sindikat ini, termasuk mencari kemungkinan keterlibatan tenaga kesehatan.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menuturkan, praktik jual beli bayi ini sangat mengkhawatirkan karena sudah menggunakan media sosial dalam melakukan promosi. Itu berarti praktik ilegal ini sudah lintas batas lintas wilayah. ”Berbeda dengan zaman dulu, promosi penjualan bayi masih dilakukan secara konvensional, dari mulut ke mulut,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mencabut semua konten yang berisikan praktik jual beli bayi ini.
Kami masih menyelidiki kemungkinan adanya pihak lain yang mengelola akun ini.
Sindikat ini mengincar kaum rentan, seperti ibu-ibu muda yang terpaksa menjual bayinya karena ditelantarkan oleh suami atau wanita yang hamil setelah menjadi korban pemerkosaan. Selain itu, ada pula pasangan yang berhubungan dengan risiko hamil di luar nikah. Mereka riskan menjual bayinya untuk menutupi aib. Para pekerja migran Indonesia juga kerap menjual bayi hasil kekerasan seksual di negara tempat mereka bekerja.
Sanksi berat
Ai berharap para pelaku, baik penjual maupun ibu bayi, diberi hukuman berat untuk memberikan efek jera. ”Kalau bisa semua pelaku diberi sanksi maksimal,” ucapnya.
Ia agak kecewa ketika Suhendra, pelaku praktik adopsi ilegal di Desa Kuripan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, hanya divonis 4 tahun penjara. Padahal, ia diyakini menjual 40 bayi, walaupun yang bisa terdeteksi oleh penegak hukum hanya 15 bayi.
Sanksi berat dipandang perlu diberikan agar praktik ini tidak terulang. Jika hal itu dibiarkan, Ai khawatir akan banyak kasus kekerasan lain mendera anak tersebut, misalnya kekerasan seksual, eksploitasi untuk mencari uang, dan kemungkinan adanya jual beli organ.
”Memang belum ada laporan terkait jual beli organ. Namun, bukan tidak mungkin itu terjadi jika praktik jual beli terus terjadi,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Pravistania R Putri berpendapat, praktik jual beli bayi juga merupakan dampak dari ketidaksiapan orangtua untuk memiliki buah hati, baik dari sisi finansial maupun mental.
Dalam beberapa kasus ditemukan bayi yang dilahirkan hasil dari tindak kekerasan seksual atau pergaulan bebas. Di sinilah diperlukan edukasi kepada kaum muda agar tidak terjerumus dalam masalah itu.
Walaupun anak itu harus diadopsi, alangkah baiknya jika menempuh jalur legal. ”Adopsi secara legal itu gratis, tapi memang membutuhkan waktu karena harus menempuh berbagai tahapan sampai pada keluarnya putusan pengadilan,” katanya.
Namun, adopsi secara legal ini memberikan hak kepada anak untuk mengetahui asal-usul keluarganya, termasuk memastikan orangtua yang mengadopsinya memiliki kemampuan secara mental ataupun finansial. Harapannya, anak ini tidak ditelantarkan atau menjadi korban eksploitasi.