Perlukah Tarif KRL Jabodetabek Naik?
Wacana soal tarif KRL Jabodetabek menyeruak lagi. Apakah tarif perlu naik? Bagaimana profil pengguna KRL Jabodetabek?
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1.Wacana tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK menuai polemik, bagaimana mulanya?
2.Bagaimana respons pengguna dan pengamat KRL Jabodetabek?
3.Berapa tarif KRL Jabodetabek selama ini?
4.Perlukah tarif KRL Jabodetabek naik?
5.Bagaimana profil penghasilan pengguna KRL? Benarkah tarif KRL murah?
Wacana tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK menuai polemik, bagaimana mulanya?
Wacana penerapan subsidi tarif KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan atau NIK jadi perbincangan warganet beberapa hari terakhir. Isu ini terkait rencana skema subsidi yang tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mengenai belanja negara.
Dalam dokumen itu tertulis, total subsidi kewajiban pelayanan publik (PSO) direncanakan Rp 7,96 triliun. Angka ini naik 0,9 persen dibandingkan dengan outlook 2024 yang sebesar Rp 7,89 triliun. Faktor yang memengaruhi kenaikan anggaran subsidi PSO pada 2020-2024 antara lain peningkatan anggaran subsidi PSO PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI untuk mendukung LRT Jabodebek.
Pada 2025, anggaran belanja subsidi PSO yang akan dialokasikan KAI sebesar Rp 4,8 triliun. Subsidi ini direncanakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan sejumlah KA kelas ekonomi. Beberapa di antaranya adalah KA ekonomi jarak jauh, jarak sedang, jarak dekat, serta KRL Jabodetabek.
Salah satu terobosan perbaikannya adalah menerapkan tarif tiket berdasarkan NIK pada transportasi KRL Jabodetabek. Namun, dari angka Rp 4,8 triliun itu, tak ada informasi detail berapa porsi PSO untuk KRL Jabodetabek. Pada 2023, kontrak PSO KRL Jabodetabek Rp 1,63 triliun atau 65,2 persen dari total subsidi PSO untuk PT KAI yang mencapai Rp 2,5 triliun.
Baca juga: Subsidi KRL Berbasis NIK Kontradiktif dengan Kampanye Penggunaan Transportasi Umum
Bagaimana respons pengguna dan pengamat KRL Jabodetabek?
Komunitas pengguna KRL yang tergabung dalam KRL Mania menilai penerapan subsidi tarif berbasis NIK tidak akan menciptakan kebijakan yang adil dan tepat sasaran. Sebab, konsep subsidi transportasi publik seharusnya tidak membedakan kemampuan ekonomi atau domisili penggunanya.
”Subsidi pemerintah pada transportasi publik seharusnya dimotivasi kepentingan untuk mendorong penggunaan transportasi umum yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi guna mengurangi kemacetan dan polusi udara,” kata perwakilan KRL Mania, Nurcahyo, Sabtu (31/8/2024).
Transportasi publik semestinya dirancang untuk melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial atau ekonomi. ”Kebijakan subsidi berbasis NIK berisiko mengubah prinsip transportasi publik yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan,” ujar Nurcahyo.
Anggota KRL Mania lainnya, Gusti Raganata, menambahkan, subsidi berbasis NIK berisiko merusak prinsip inklusivitas yang menjadi dasar dari transportasi publik. Ia menegaskan bahwa KRL adalah layanan untuk semua, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
Baca juga: Penyesuaian Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK Kurang Tepat
Berapa tarif KRL Jabodetabek selama ini?
Hingga saat ini, tarif KRL Jabodetabek ditentukan secara progresif. Tarif terdiri dari dua komponen, yaitu tarif dasar untuk 25 kilometer (km) dan tarif lanjutan progresif untuk setiap 10 kilometer. Sejauh ini tarif dasar 25 km pertama adalah Rp 3.000. Jika penumpang menggunakan layanan KRL Jabodetabek lebih dari 25 km, ia akan dikenai tarif lanjutan Rp 1.000 per 10 km.
Perjalanan tarif KRL Jabodetabek itu dimulai pada 2013. Saat itu, tarif perjalanan pada lima stasiun pertama ditetapkan Rp 3.000 dan per tiga stasiun berikutnya Rp 1.000. Ketentuan tarif berubah lagi pada tahun 2015, yakni tarif Rp 2.000 untuk 25 km pertama dan penambahan Rp 1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Pada tahun 2016, tarif KRL ditetapkan Rp 3.000 untuk 25 km pertama dan penambahan Rp 1.000 untuk setiap 10 km berikutnya. Tarif terjauh Rp 12.000. Lalu, pada 2017, tarif KRL untuk 25 km pertama tetap Rp 3.000 dan tambahan tarif setiap 10 km berikutnya tetap Rp 1.000.
Akan tetapi, tarif terjauh sejak 2017 ditetapkan Rp 13.000 yang dikaitkan perluasan jangkauan layanan hingga ke Stasiun Rangkas Bitung. Dari data itu, terlihat tarif dasar KRL Jabodetabek tidak berubah sejak tahun 2016.
Baca juga: Subsidi Tarif KRL Berdasarkan NIK, Pengguna Transportasi Umum Merasa Dianaktirikan
Perlukah tarif KRL Jabodetabek naik?
Kenaikan tarif KRL Jabodetabek telah berulang jadi wacana. Isu kenaikan bahkan sudah terdengar sejak tahun 2022. Dalam paparan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan pada Januari 2022, usulan kenaikan dilakukan pada tarif dasar 25 kilometer pertama. Tarif dasar diusulkan naik Rp 2.000 sehingga tarif dasar akan ditetapkan menjadi Rp 5.000 untuk 25 kilometer pertama. Adapun tarif lanjutan 10 kilometer berikutnya tidak naik, yakni tetap Rp 1.000.
Akan tetapi, wacana tersebut belum terealisasi. Pada Kamis (11/1/2024), Direktur Utama PT KAI Commuter Asdo Artriviyanto sempat menyinggung soal wacana kenaikan tarif KRL. Saat itu, pihaknya menunggu kebijakan Kementerian Perhubungan terkait tarif KRL yang memang belum naik sejak tahun 2016.
Setiap kali isu kenaikan tarif KRL berembus, publik ada yang pro dan kontra saat menanggapinya. Sebagian pihak menilai wajar penyesuaian tarif, tetapi dengan sejumlah syarat, terutama terkait perbaikan layanan. Mereka antara lain menyoroti kerusakan sarana yang berulang, jarak kedatangan kereta, dan daya tampung kereta pada jam sibuk.
Sebagian pihak menolak kenaikan tarif KRL Jabodetabek karena dinilai bertolak belakang dengan misi mendorong transportasi publik massal serta mengurangi penggunaan kendaraan pribadi guna mengurangi kemacetan lalu lintas dan menekan polusi udara.
Baca juga: Tetap Pilih Ojek Daring karena Angkutan Umum Belum Optimal
Bagaimana profil penghasilan pengguna KRL? Benarkah tarif KRL murah?
Berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) tahun 2016, rata-rata penumpang KRL memiliki penghasilan Rp 3 juta-Rp 7 juta per bulan (63,78 persen). Sementara itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)-Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan pada 2021, sebanyak 56,06 persen penumpang KRL memiliki penghasilan kurang dari Rp 4 juta per bulan.
Dengan asumsi pergi pulang naik KRL setiap hari, jarak tempuh tak sampai 25 km, dan 24 hari kerja per bulan, setiap pengguna merogoh Rp 144.000 per bulan untuk biaya KRL. Angka itu sekitar 2,8 persen dari upah minimum (UMP) DKI Jakarta tahun 2024.
Akan tetapi, pengguna angkutan umum di Jabodetabek menghadapi problem di awal dan akhir perjalanan (first mile dan last mile). Mereka harus berganti-ganti moda karena umumnya antarmoda belum terintegrasi. Situasi ini membuat ongkos transportasi jadi lebih tinggi.
Survei Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan PT Jaklingko pada 2021 terhadap 1.523 responden menemukan, lebih dari separuh warga mengeluarkan dana Rp 500.000 per bulan untuk ongkos transportasi. Lalu, 45,6 persen warga mengeluarkan Rp 500.000-Rp 1 juta untuk ongkos kendaraan pribadi, ojek, dan taksi sebelum naik ke transportasi umum. Sisa responden mengeluarkan dana di atas Rp 1 juta.
Apabila sebagian warga mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum dan pribadi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan, biaya transportasi mereka di atas 20 persen upah minimum (UMP) DKI Jakarta, ketika itu (2021) Rp 4,38 juta per bulan. ”Rekomendasi Bank Dunia, dari penghasilan bulanan masyarakat, maksimal 10 persen untuk biaya transportasi, baru orang itu dinyatakan hidup layak di suatu kota,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, Rabu (14/12/2022).
Baca juga: Pro Kontra Warga Soal Wacana Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek