Masalah Ojek Daring Hasil dari Pembiaran Masa Lalu
Demo ribuan pengojek daring pekan lalu dinilai sebagai dampak atas pembiaran sejumlah problem terkait ojek ”online”.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Traffic Watch menilai problem lalu lintas serta aksi ribuan pengemudi ojek daring pada Kamis (29/8/2024) merupakan dampak dari pembiaran oleh pemerintah. Jika masalah terus dibiarkan, keberadaan ojek daring bukan menjadi solusi kemacetan lalu lintas, melainkan justru jadi masalah sosial yang akan berkembang.
Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan, Minggu (1/9/2024), menilai problem yang belum usai, seperti soal hubungan antara pengemudi ojek daring atau ojek online (ojol) dan pihak aplikator serta soal status hukum ojek daring yang masih ilegal lantaran belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, akan berpotensi memicu aksi serupa di kemudian hari.
Menurut ITW, aksi para pengojek daring hanya salah satu dampak dari problem yang dibiarkan sekaligus hasil ”ternak masalah” selama ini. ”Aksi-aksi seperti ini akan terus terjadi sebagai hasil dari ’ternak’ yang dilakukan pemerintah selama ini,” kata Edison.
Dia meminta agar Presiden terpilih RI menunjuk menteri perhubungan yang kompeten dan berintegritas. Sosok menteri perhubungan juga diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi dengan semua pemangku guna mencari solusi yang efektif dan permanen atas setiap masalah yang terkait perhubungan.
Menurut Edison, beragam masalah lalu lintas dan angkutan sampai saat ini belum diselesaikan secara komprehensif. Problem-problem itu berpotensi memicu konflik sosial serta bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia mencontohkan, jauh sebelum aksi ribuan pengojek daring itu, masalah akibat menjamurnya angkutan berbasis aplikasi sudah diprediksi akan menjadi ancaman bagi keberadaan angkutan umum.
Situasi itu juga berpotensi memicu gejolak akibat terbentuknya kekuatan sosial yang sulit dikendalikan. Hal itu ditambah dengan status hukum ojek daring yang tidak jelas dan hubungan kerja antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojol.
Oleh karena itu, kata Edison, wajar jika para pengemudi ojek daring berunjuk rasa menuntut tindakan aplikator atau pengelola platform ojek daring yang memotong tarif ke pengemudi berkisar 20-30 persen. Mereka juga mendesak pemerintah melegalkan pekerjaan ojol dengan memasukkannya dalam undang-undang. Masalahnya, sampai kini, sepeda motor tidak diatur sebagai angkutan umum.
Status hukum yang ilegal itu dinilai membuat pengemudi ojek daring menjadi korban kesewenang-wenangan perusahaan aplikasi. Sementara pemerintah dianggap belum bisa berbuat banyak untuk mengatasi problem tersebut.
Padahal, antisipasi potensi munculnya masalah itu sudah disampaikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada tahun 2015 melalui surat kepada Kepala Polri yang saat itu dijabat oleh Jenderal Badrodin Haiti. Surat itu bernomor UM.302/1/21/Phb/2015 tanggal 9 November 2015 perihal Kendaraan Pribadi (sepeda motor, mobil berpenumpang, mobil barang) yang digunakan untuk mengangkut orang dan atau barang dengan memungut bayaran.
Saat itu, Jonan meminta Kepala Polri mengambil langkah-langkah dan tindakan tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan terhadap kegiatan yang menggunakan kendaraan bermotor menjadi angkutan umum dengan fasilitas aplikasi internet serta meminta bayaran.
Sebab, kendaraan bermotor yang digunakan bukan untuk angkutan umum dan tidak memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Surat itu ditembuskan kepada pejabat, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, gubernur seluruh Indonesia, serta kepala polda seluruh Indonesia. Namun, surat tersebut dinilai tidak mendapat respons dari para pihak tersebut.
Menurut Edison, pemerintah justru seperti ”beternak konflik” dengan membiarkan pelanggaran hukum terjadi. Akibatnya, jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi sebagai angkutan umum terus bertambah. Pembiaran itu kemudian memicu beragam masalah, seperti kemacetan lalu lintas yang menimbulkan kerugian materi serta kesehatan dan polusi udara.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia Irham Ali Saifuddin saat dihubungi pada Kamis (29/8/2024) mengatakan, tidak sepenuhnya benar bahwa pekerja kemitraan pada platform digital diakui negara sejak dulu.
Istilah kemitraan tidak secara eksplisit diatur oleh Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Istilah kemitraan hanya tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1313.
Irham berpendapat, pemerintah seharusnya bergerak cepat untuk menutupi lubang hukum ini karena perubahan bentuk relasi kerja yang terjadi belakangan. Tujuannya, agar ada kepastian pengakuan pekerja yang selama ini bekerja dalam pola kemitraan dan pelindungan terhadap pekerja.
Dibutuhkan
Kendati dibelit beragam masalah yang berkaitan dengan regulasi, suka tidak suka, ojek daring dibutuhkan masyarakat. Agus (34), warga Ragunan, Jakarta Selatan, mengaku lebih senang menggunakan ojek daring daripada angkutan umum. ”Kami dijemput dan diantar sampai ke tempat tujuan tanpa harus berpindah-pindah tempat,” katanya.
Di sisi lain, pemesanannya dinilai cukup sederhana. ”Hanya melalui genggaman telepon, semua kebutuhan terpenuhi,” katanya.
Terkait masalah yang muncul, kata Agus, dirinya tidak tahu banyak. Namun, masalah banyaknya potongan dari aplikator sudah sering ia dengar dari pengemudi ojek.
Tak heran jika banyak pengemudi yang ingin menyiasati banyaknya potongan dengan menerima pembayaran secara tunai. ”Selama tarifnya tidak bertambah, saya rasa tidak ada masalah,” katanya.
Akan tetapi, bagi Budi Driyono, pengemudi ojek daring, pemotongan upah hingga 30 persen menjadi masalah besar. Apalagi, saat ini banyak program yang dinilai merugikan pengemudi. ”Ada program Rp 5.000 untuk pengiriman paket. Ini tentu akan berpengaruh terhadap pendapatan kami,” katanya.
Selain itu, banyaknya program berdampak pada berkurangnya pesanan. Menurut Budi, semakin hari, jumlah orderan yang ia terima terus berkurang. Empat tahun lalu, ketika pertama kali melakoni pekerjaan ini, Budi bisa menerima 20 pesanan per hari dengan keuntungan bersih Rp 150.000 sampai Rp 200.000 per hari. Sekarang, untuk memperoleh hingga 10 pesanan per hari sungguh sulit.
Belum lagi ketika konsumen memberikan bintang 1 karena tidak puas dengan layanan yang diberikan, Budi hanya bisa pasrah. ”Sanggahan kami pun tidak pernah dipertimbangkan. Kondisi ini membuat kami kesulitan mendapatkan orderan hingga dua sampai tiga hari ke depan,” katanya.
Padahal, pekerjaan ini sangat ia butuhkan di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan formal lainnya. ”Saya berharap upah kami dari ojek daring ditingkatkan. Kalaupun ada potongan, harapannya tidak terlalu besar,” katanya.