Subsidi KRL Berbasis NIK Kontradiktif dengan Kampanye Penggunaan Transportasi Umum
Rencana penerapan Subsidi KRL berbasis NIK dinilai kontradiktif terhadap kampanye penggunaan transportasi publik.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penerapan Subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK) dinilai kontradiktif terhadap kampanye penggunaan transportasi publik. Kenaikan tarif tanpa adanya perbaikan nyata hanya akan semakin membebani masyarakat, terutama bagi penumpang yang mengandalkan KRL sebagai moda transportasi utama.
Rencana skema subsidi ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di Bab 3 mengenai Belanja Negara. Dengan ketentuan ini, nantinya hanya warga yang dianggap tidak mampu yang dapat menerima subsidi tarif KRL Jabodetabek. Warga yang dianggap mampu bakal membayar lebih.
Warga Jakarta yang tergabung dalam Komunitas KRL Mania, Nurcahyo, mengatakan, transportasi publik seharusnya dirancang untuk melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial atau ekonomi. Di sisi lain, pengguna KRL Jabodetabek terdiri atas beberapa kalangan, mulai dari pelajar, pekerja, ibu rumah tangga, hingga lansia, yang semuanya membutuhkan akses transportasi publik yang adil dan terjangkau.
”Kebijakan subsidi berbasis NIK (nomor induk kependudukan) berisiko mengubah prinsip transportasi publik yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan. Oleh karena itu, kami menolak usulan subsidi berbasis NIK karena bertentangan dengan esensi dari layanan publik,” ujar Nurcahyo, Sabtu (31/8/2024).
Baca juga: Penyesuaian Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK Kurang Tepat
Menurut dia, jika pemerintah merasa perlu memberikan tarif khusus untuk kelompok tertentu, pihaknya merekomendasikan agar tarif khusus diberikan kepada kelompok pelajar, lansia, dan penyandang disabilitas. Skema ini dinilai lebih adil karena langsung menyasar kelompok yang rentan atau membutuhkan bantuan tarif tanpa mendiskriminasi pengguna lainnya.
”Subsidi seharusnya diberikan untuk mendorong penggunaan transportasi publik agar mengurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara,” kata Nurcahyo.
Anggota KRL Mania lainnya, Gusti Raganata, menambahkan, subsidi berbasis NIK berisiko merusak prinsip inklusivitas yang menjadi dasar dari transportasi publik. Ia menegaskan bahwa KRL adalah layanan untuk semua, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
”Pemberlakuan subsidi berbasis NIK berpotensi menggeser layanan KRL menjadi diskriminatif. Padahal, tujuannya harusnya untuk melayani seluruh lapisan masyarakat,” kata Gusti.
Ia berpendapat, adapun jika tarif naik, kenaikan tarif harus dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan. Sebab, kenaikan tarif tanpa adanya perbaikan nyata hanya akan semakin membebani masyarakat, terutama bagi penumpang yang mengandalkan KRL sebagai moda transportasi utama.
Beberapa permasalahan yang sering dikeluhkan pengguna adalah keterlambatan jadwal, kepadatan penumpang yang tak kunjung teratasi, serta kurangnya perawatan fasilitas umum di stasiun dan di dalam kereta.
Adapun beberapa negara maju dapat dijadikan contoh pengembangan transportasi umum yang diminati masyarakat yang mayoritas penduduknya menggunakan transportasi umum untuk bepergian ke berbagai tempat tujuan. Transportasi umum di beberapa negara maju juga sangat populer karena ongkosnya murah dan lebih cepat sampai karena memiliki akses jalan khusus serta memiliki jangkauan luas ke pelosok kota.
Salah satu negara yang perlu ditengok manajemen transportasi umumnya adalah Korea Selatan. Negara ini telah memiliki tata kelola atau manajemen transportasi relatif maju dibandingkan dengan negara lain di dunia. Transportasi umumnya terkenal sangat aman dan nyaman.
Korea Selatan sangat mengandalkan moda transportasi kereta api untuk angkutan umum massal. Kereta api dijadikan andalan negara tersebut untuk mengatasi mobilitas masyarakat yang ketat dan padat. Korea Selatan juga mengandalkan bus umum dengan jadwal yang ketat dan teratur serta trayek yang terhubung ke berbagai jaringan transportasi pendukung lainnya di seluruh pelosok negeri.
Pemerataan subsidi
Pengamat Transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menuturkan, penerapan subsidi tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK dapat menjadi upaya pemerintah untuk pemerataan subsidi di wilayah lain. Nantinya, dana yang tidak digunakan untuk menyubsidi tiket kereta tersebut bisa dialokasikan pada program lain yang lebih membutuhkan.
Pada tahun 2023, pemerintah melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Keuangan menganggarkan public service obligation atau kewajiban pelayanan publik (PSO) untuk perkeretaapain sebesar Rp 3,5 triliun. Sedangkan sebanyak Rp 1,6 triliun (0,48 persen) diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.
Sementara di tahun yang sama, anggaran untuk bus perintis di 36 provinsi hanya diberikan Rp 177 miliar atau 11 persen dari PSO KRL Jabodetabek. Hal ini sungguh tidak berimbang. Kepentingan layanan transportasi umum daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar) se-Indonesia masih kalah jauh ketimbang warga Jabodetabek.
Baca juga: Lima Alasan KAI Commuter Pilih Kereta Impor dari China
Untuk itu, jika nantinya ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek, anggaran PSO Perkeretaapian dapat dialihkan untuk menambah anggaran bus perintis yang dioperasikan di seantero Nusantara agar tidak ada ketimpangan anggaran.
”Agar masyarakat tidak terbebani dengan kenaikan tarif, Pemprov DKI dan PT KCI bisa menerapkan cara yang diberlakukan Pemprov Jawa Tengah (Trans Jateng) dan Pemkot Semarang (Trans Semarang) dalam memberikan subsidi penumpang bus,” ujar Djoko.
Tarif Trans Semarang yang dikelola Pemerintah Kota Semarang saat ini Rp 4.000. Namun, ada tarif khusus Rp 1.000 yang diberikan pelajar/mahasiswa, pemegang kartu identitas anak (KIA), anak usia di bawah lima tahun (balita), disabilitas, para lansia (usia 60 tahun ke atas), dan veteran. Sementara Trans Jateng yang dikelola Pemprov Jawa Tengah bertarif Rp 4.000 dan diberikan tarif separuh (Rp 2.000) untuk pelajar, mahasiswa, dan buruh.
Djoko melanjutkan, rencana penyesuaian tarif ini sebenarnya sudah dibahas sejak 2018 lalu. Namun yang menjadi masalah, rencana subsidi berbasis NIK kembali mencuat saat layanan KRL sedang memburuk.
”Sekarang ini waktunya kurang tepat. Saat ini, layanan KRL lagi kurang bagus disebabkan kurangnya armada kereta. Baru mulai Maret 2025, akan datang secara bertahap rangkaian kereta yang dipesan dari Tiongkok,” kata Djoko.
Selain itu, layanan transportasi first mile dan last mile juga dinilai Djoko masih buruk. Sejatinya, setiap kawasan perumahan atau hunian di Bodetabek dilayani angkutan umum.
Baca juga: KAI Commuter Angkut 20,9 Juta Penumpang pada Masa Lebaran 2024
”Sekarang sudah ada JR Connection dari sejumlah hunian mewah di Bodetabek. Namun belum ada untuk hunian kelas menengah dan bawah,” lanjutnya.
Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) tahun 2016, rata-rata penumpang KRL memiliki penghasilan Rp 3 juta-Rp 7 juta per bulan (63,78 persen). Sementara hasil survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)-Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan tahun 2021, menyatakan, penumpang KRL yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 4 juta per bulan sebanyak 56,06 persen. Pengguna KRL Jabodetabek mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan paling tinggi Rp 4 juta.
Secara terpisah, sejarawan dan praktisi angkutan massal dari Universitas Sebelas Maret, Harto Juwono, mengatakan, menggunakan angkutan massal adalah langkah kecil yang bisa dilakukan masyarakat untuk menyelamatkan bumi. Untuk itu, layanan transportasi massal harus diberikan sebaik mungkin karena memiliki efek jangka panjang terhadap bumi.
Seiring kemajuan zaman, kini model angkutan massal di kawasan perkotaan semakin canggih, mulai dari MRT, LRT, KRL, hingga bus rapid transit (BRT). Selain masyarakat harus sadar akan pentingnya angkutan massal, penyedia angkutan massal juga harus sadar.
”Agar angkutan massal bisa menjalankan misinya, dibutuhkan kesadaran massal. Untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, sejarah adalah medium yang tepat dalam menggerakkan masyarakat. Dengan melihat sejarah, kedekatan emosional dengan angkutan massal akan semakin erat terjalin,” tuturnya.