Penyesuaian Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK Kurang Tepat
Subsidi transportasi umum dinilai semestinya berorientasi pada pelayanan publik secara menyeluruh.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan menuai protes dari para komuter. Subsidi transportasi umum dinilai semestinya berorientasi pada pelayanan publik secara menyeluruh. Namun, di sisi lain, naiknya inflasi hingga belum adanya kenaikan tarif KRL sejak tahun 2016 menjadikan rencana penyesuaian tarif ini cukup beralasan.
Rencana subsidi untuk KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK) ramai menjadi perbincangan publik di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Rencana ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di Bab 3 mengenai Belanja Negara. Dengan ketentuan ini, nantinya hanya warga yang dianggap tidak mampu yang dapat menerima subsidi tarif KRL Jabodetabek. Warga yang dianggap mampu bakal membayar lebih.
Sebagai seorang anker (anak kereta), Nazla Syafira (27) tidak setuju dengan rencana penghapusan subsidi ini. Menurut dia, sudah seharusnya subsidi transportasi umum diberlakukan secara menyuluruh untuk menekan kemacetan dan polusi.
Baca juga: Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Masih Tunggu Keputusan Kemenhub
”Harus jelas yang dikatakan warga perlu bantuan itu penghasilannya berapa per bulan karena berdasarkan pengamatan saya, malah karyawan adalah orang terbanyak yang naik KRL. Tidak hanya dari Jakarta saja, tetapi Bodetabek,” tutur Nazla, warga Jakarta Selatan, Jumat (30/8/2024).
Penghasilan Nazla per bulan belum banyak, masih Rp 6 juta, (UMP lebih sedikit). Dengan banyaknya cicilan dan belum mempunyai kendaraan pribadi, ia juga merupakan warga yang secara ekonomi belum mapan. Untuk itu, ia mengklaim dirinya juga perlu subsidi dari pemerintah.
Warga Tangerang Selatan, Riri Anita (31), juga menyayangkan sikap pemerintah. Di saat sebagian masyarakat memilih beralih ke transportasi publik, pemerintah malah mencabut subsidi.
Perbedaan tarif KRL, dinilai Riri, justru membuka peluang untuk pengguna KRL beralih kembali ke kendaraan pribadi. Di sisi lain, ia menilai implementasi kebijakan ini akan berantakan sebab sulitnya menentukan kategori kaya dan miskin. Ia juga meragukan data yang dimiliki pemerintah akan valid.
”Transportasi publik seharusnya milik bersama, bukan ada tembok antara si kaya dan si miskin. Saya juga sebenarnya ragu kalau datanya bakal 100 persen valid. Kalau tidak valid, nanti yang terdampak siapa? Ya, masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Menurut Riri, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini ialah fokus menambah frekuensi perjalanan dan kemudahan untuk berpindah moda di stasiun-stasiun transit. Jika pun tarif harus naik, tarif tersebut tak sampai dua kali lipat tarif awal.
Subsidi KRL menjadi bagian dari subsidi untuk kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO). Setiap tahun pemerintah menganggarkan subsidi PSO kepada sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki fungsi layanan publik, salah satunya PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi PSO sebesar Rp 7,96 triliun pada RAPBN 2025. Jumlah subsidi PSO yang dialokasikan ini lebih tinggi 0,9 persen atau Rp 71,9 miliar dibandingkan dengan anggaran tahun 2024 yang sebesar Rp 7,88 triliun.
Saat ini, masyarakat seharusnya diberikan insentif menggunakan angkutan umum agar mereka meninggalkan kendaraan pribadi, dengan salah satunya, menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terpadu moda, tetapi terjangkau.
Adapun dari jumlah Rp 7,96 triliun untuk tahun 2025, pemerintah menganggarkan subsidi PSO Rp 4,79 triliun kepada PT KAI yang akan digunakan untuk sejumlah layanan, yakni kereta api (KA) ekonomi jarak jauh, sedang, dan dekat; KA ekonomi lebaran; KRD ekonomi; LRT Jabodebek; serta KRL Jabodetabek dan Yogyakarta.
Namun, dalam dokumen Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah akan memberikan sejumlah catatan perbaikan dalam pemberian PSO 2025, salah satunya ialah penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Rencana ini pun mendapat sorotan tajam dar publik karena pengguna KRL nantinya akan mendapatkan tarif yang berbeda. Padahal, pemberian subsidi bertujuan untuk menjamin pelayanan yang terjangkau bagi publik.
Adapun Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2025 tidak memuat secara rinci anggaran subsidi PSO untuk KRL Jabodetabek. Dokumen itu hanya mengulas subsidi PSO secara keseluruhan yang akan digunakan oleh PT KAI dan KAI Commuter. Berdasarkan laporan keuangan KAI Commuter, data realisasi anggaran PSO untuk KRL Jabodetabek baru tersedia sampai 2022 dengan subsidi Rp 1,41 triliun.
Di sisi lain, sebagai catatan, tarif KRL Jabodetabek belum naik sejak 2016. Adapun skema tarifnya, yaitu Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer.
Menurut Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana, pada dasarnya, subsidi KRL berbasis NIK adalah kebijakan agar subsidi angkutan umum lebih tepat sasaran. Sebab, subsidi ini memang diperuntukkan bagi masyarkat berpenghasilan rendah tertentu dan benar-benar membutuhkan dukungan untuk bisa menggunakan KRL. Hal ini juga sejalan dengan semakin besarnya alokasi anggaran PSO yang semakin membebani anggaran negara.
Bila ditilik dari sisi tarif, KRL juga belum mengalami kenaikan sejak tahun 2016. Sementara di sisi lain, tingkat inflasi dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Selain itu di tahun-tahun terakhir telah beroperasi moda transportasi KA perkotaan dengan tarif yang lebih tinggi, seperti MRT dan LRT. Maka, cukup beralasan untuk menaikkan tarif KRL dengan dasar tersebut.
Meski demikian, perlu untuk melihat dalam perspektif yang lebih luas. Saat ini, persentase pengguna angkutan umum di Jabodetabek masih berkisar di angka 15 persen. Target sesuai rencana induk transportasi Jabodetabek adalah 60 persen pergerakan menggunakan angkutan umum di tahun 2030.
Baca juga: KAI Commuter Tambah 23 Kereta pada Tahun Depan untuk Layani Penumpang
Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong masyarakat agar menggunakan angkutan umum. Caranya, dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas angkutan umum, serta menyediakan tarif yang terjangkau.
”Saat ini, masyarakat seharusnya diberikan insentif menggunakan angkutan umum agar mereka meninggalkan kendaraan pribadi, dengan salah satunya, menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terpadu moda, tetapi terjangkau,” ujar Aditya.
Ia menilai, subsidi saat ini tetap harus diberikan kepada seluruh pengguna angkutan umum. Golongan masyarakat tertentu yang membutuhkan memang perlu dukungan insentif untuk tetap bisa menggunakan angkutan umum meskipun nantinya ada kenaikan tarif. Namun, bukan berarti pemerintah di sisi lain menghapus subsidi kepada penumpang lainnya dan hanya yang NIK-nya memenuhi kriteria yang bisa mendapatkan tarif subsidi.
Menurut Aditya, saat ini kapasitas angkut KRL sedang menurun karena faktor usia dan perbaikan serta peremajaan masih memerlukan waktu. Beberapa stasiun masih dalam proses revitalisasi sehingga proses perpindahan moda juga belum optimal sehingga faktor psikologi pengguna KRL belum memungkinkan untuk adanya kebijakan subsidi menggunakan NIK.
”Saat ini, ada potensi penurunan kapasitas layanan KRL karena peremajaan KRL masih harus menunggu pembelian KRL dari China dan Inka, sementara juga menunggu proses retrofit/pembugaran sarana KRL yang sudah uzur di Inka yang memerlukan waktu panjang. Demikian pula beberapa stasiun masih dalam proses revitalisasi, seperti Manggarai dan Tanah Abang, sehingga kualitas layanan transit belum sempurna,” ujar Aditya.
Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah penentuan NIK yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan subsidi. Tentu ini perlu proses persiapan yang matang dan lintas sektoral, serta kriterianya harus jelas, datanya juga harus akurat.
Masih dibahas
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Risal Wasal memastikan belum ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK masih dibahas.
”Rencana ini merupakan bagian dari upaya Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) dalam melakukan penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dengan subsidi yang lebih tepat sasaran. Saat ini, kami masih terus melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait. Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan,” kata Risal.
Baca juga: Pro-Kontra Warga jika Tarif KRL Jabodetabek Dinaikkan
Pihaknya juga akan membuka diskusi publik dengan akademisi dan perwakilan masyarakat untuk memastikan skema tarif yang akan diberlakukan tidak memberatkan pengguna jasa layanan KRL Jabodetabek. Diskusi publik ini akan dilakukan setelah skema tarif selesai dibahas secara internal dan merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat.
Senada dengan Risal, Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan mengkaji soal kemungkinan perubahan tarif jika subsidi berbasis pada NIK. Selain dampak pada tarif, pihaknya masih membahas acuan data dari usulan skema subsidi tersebut.
Skema subsidi PSO ini kemungkinan merujuk pada dua pilihan data acuan, yakni NIK menurut data Kementerian Sosial atau NIK berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
”Sebenarnya rencana ini sudah sejak tahun lalu. Tapi, memang masih belum direalisasikan karena masih dibahas. Untuk tarifnya berapa juga masih belum,” kata Adita.
KAI Commuter mendukung rencana pemerintah dalam memberlakukan skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK. ”KCI tentunya akan mendukung kebijakan pemerintah atau Kemenhub dalam rangka meningkatkan layanan perkeretaapian, termasuk angkutan commuter line Jabodetabek,” ujar VP Corporate Secretary KAI Commuter Joni Martinus.
Joni menegaskan, KCI hanya selaku operator. Meskipun begitu, pihaknya akan melakukan sejumlah persiapan untuk menyesuaikan dengan aturan terbaru jika nantinya akan diterapkan.
”Kalau nantinya pemerintah menetapkan kebijakan skema baru tersebut, secara teknologi dan informasi (TI) akan kami siapkan dan siap untuk melakukan perubahan itu,” kata Joni.