Tetap Pilih Ojek Daring karena Angkutan Umum Belum Optimal
Kendati ada perbaikan, layanan angkutan umum di Jakarta dinilai belum optimal. Sebagian warga tetap memilih ojek daring.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian pengguna transportasi daring masih enggan beralih ke angkutan umum meski kelimpungan saat para pengojek daring berunjuk rasa di Jakarta, Kamis (29/8/2024). Menurut mereka, first mile danlast mile angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya belum praktis atau memudahkan saat bepergian.
First mile merupakan perjalanan dari tempat asal menuju angkutan umum, sementara last mile ialah perjalanan dari tempat transit ke tujuan akhir. Keduanya memainkan peran penting dalam mobilitas warga.
Para pengojek daring (online) berunjuk rasa menuntut keadilan tarif di Patung Arjuna Wijaya, dekat Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Kamis siang hingga sore. Selama aksi tersebut mereka mematikan aplikasi dan menyisir (sweeping) para pengojek yang masih beroperasi melayani penumpang.
Dampaknya, pengguna ojek daring kesulitan bepergian karena tak kunjung mendapatkan pengemudi. Di sisi lain, para pengojek harus ”kucing-kucingan” dengan pengojek daring yang tetap beroperasi dengan melepas jaket seragam agar terhindar dari penyisiran.
Ani Widyawati (26), pekerja kantoran di Jakarta Pusat, kesulitan memesan ojek daring menuju Stasiun Gondangdia, Jakarta. Ia menggerutu, tetapi enggan naik Transjakarta atau Mikrotrans agar sore itu bisa segera kembali ke rumah di Kalibata, Jakarta Selatan. ”Naik ojol (ojek daring) lebih sat-set-sat-set (cepat) karena bisa menyalip kendaraan lain,” ujarnya.
Ani tak menampik jika layanan angkutan umum di Jakarta saat ini sudah lebih memadai. Namun, menurut dia, ojek daring masih unggul dari segi kecepatan untuk menjangkau stasiun atau halte terdekat.
Unjuk rasa pengojek daring juga membuat Sakinah (28), karyawan swasta di Jakarta Selatan, berpikir apakah dirinya bisa pulang ke rumah atau tidak. Pada Kamis (29/8/2024) ia harus bekerja lembur untuk mengejar tenggat suatu proyek.
”Tadi pagi abang ojek bilang mereka akan mematikan aplikasi karena mau demonstrasi. Bingung kalau pulang tengah malam. Jaklingko (Mikrotrans) hanya sampai jam 10 (pukul 22.00 WIB),” ujarnya.
Sakinah rutin menggunakan Mikrotrans karena gratis dan sudah menjangkau permukiman tempat tinggalnya. Sementara ojek daring menjadi pilihan saat terdesak, seperti saat harus pulang larut malam karena lembur.
Potensial
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta Yusa C Permana melihat sudah ada perbaikan fasilitas first mile dan last mile. Contohnya, revitalisasi trotoar, mendorong penggunaan sepeda, dan angkutan pengumpan, yaitu Mikrotrans.
”Namun, sepertinya potensi perbaikan signifikan masih sangat besar melihat luasan Jakarta, luas jaringan jalan, dan kondisi fasilitas pejalan kaki yang masih banyak belum tersentuh revitalisasi, terutama di kawasan nonjalan utama,” kata Yusa pada Kamis malam.
Demikian pula dengan layanan Mikrotrans. Menurut Yusa, kualitas ataupun kesesuaian layanan angkutan kota berpendingin ini masih bisa diperbaiki secara signifikan.
”Jika melihat data BPS (Badan Pusat Statistik), empat dari lima warga Jabodetabek keberatan beralih ke angkutan umum karena merasa tidak praktis. Maka, isu first mile dan last mile ini memang harus serius ditangani dengan komitmen berkelanjutan,” ujarnya.
Yusa menyarankan pemerintah untuk menyurvei kebutuhan dan masalah riil terkait first mile dan last mile agar perbaikan bisa tepat sasaran atau tepat guna. Sebaliknya, pemerintah mesti menghindari coba-coba kebijakan karena terbatasnya anggaran.
”Setiap tindakan dan kebijakan harus jelas apa target, tahapan, peta jalan, dan penting untuk realistis. Semua bisa dimulai dengan evaluasi menyeluruh setiap rute layanan angkutan umum Jakarta dan kesesuaiannya dengan kebutuhan masyarakat yang dilalui,” katanya.