Konsekuensi Pencatutan Data Dukungan Pilkada Jakarta, Kepercayaan Publik Runtuh
Polemik pencatutan data dukungan untuk Pilgub Jakarta 2024 bisa meruntuhkan kredibilitas dan kepercayaan publik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pencatutan identitas kependudukan secara sepihak untuk mendukung bakal calon gubernur dan wakil gubernur jalur perseorangan dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 merupakan tindak pidana. Jika tidak direspons dengan cepat dan terbuka, kejadian ini bakal meruntuhkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan gubernur.
Banyak warga Jakarta melaporkan pencatutan identitas kependudukannya secara sepihak untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Laporan ini jadi perbincangan panas setelah keduanya dinyatakan memenuhi syarat sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur jalur perseorangan pada pemilihan gubernur (pilgub).
Sampai Sabtu (17/8/2024) siang, sebanyak 235 warga telah melaporkan pencatutan tersebut kepada posko aduan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI). Jumlah ini merupakan pengadu yang telah didokumentasikan atau direspons oleh petugas. Di luar itu, masih banyak pengaduan yang masuk dan sedang dalam proses.
”Pencatutan identitas untuk pencalonan perseorangan merupakan tindak pidana pemilihan yang diancam pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Sabtu siang.
Tindak pidana yang dimaksud itu melanggar ketentuan Pasal 185, Pasal 185A, dan Pasal 185B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Pasal 185 berbunyi, setiap orang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung pasangan calon perseorangan dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan, serta denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 36 juta.
Kemudian, Pasal 185A Ayat 1 mengatur, setiap orang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta. Sementara Pasal 185A Ayat 2 menyebutkan, tindak pidana dilakukan oleh penyelenggara pemilihan dipidana dengan pidana yang sama dengan ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimumnya.
Selanjutnya, Pasal 185B berbunyi, anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, anggota KPU provinsi, dan petugas yang diberikan kewenangan melakukan verifikasi dan rekapitulasi yang sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap dukungan calon perseorangan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.
Menurut Titi, tak hanya soal tindak pidana. Pencatutan identitas kependudukan ini pasti berdampak pada kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap Pilgub Jakarta 2024. Apalagi, jika tidak direspons dengan cepat dan terbuka, publik akan punya stigma bahwa pilgub berjalan curang dan tidak berintegritas.
”Termasuk calon yang diduga mencatut identitas warga akan terus dirongrong soal kelayakan dan keabsahan kepesertaannya,” katanya.
Dugaan pencatutan
Sebelum menjadi polemik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta memastikan Dharma-Kun lolos setelah rapat pleno verifikasi faktual terhadap syarat dukungan minimal pencalonan, Kamis (15/8/2024). Mereka mengantongi 677.468 dukungan warga atau melebihi syarat minimal dengan 618.998 dukungan warga Jakarta yang tersebar di minimal empat kota/kabupaten di Jakarta.
Titi menuturkan, ada lima faktor penyebab terjadinya pencatutan identitas kependudukan sebagai syarat dukungan bakal calon perseorangan. Pertama, adanya kebocoran data warga yang terjadi selama ini sehingga peredaran KTP begitu mudah didapatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan disalahgunakan peruntukannya.
”Termasuk untuk kepentingan pencalonan pilgub,” lanjutnya.
Faktor kedua, minimnya sosialisasi dan kesadaran warga yang belum terlalu baik untuk mengikuti perkembangan proses pilgub dan mengambil peran dalam mengawasi pencalonan sehingga pelanggaran lebih mudah terjadi.
Ketiga, terkait masalah profesionalitas dan integritas petugas penyelenggara pemilihan di lapangan yang membuat proses verifikasi tidak cermat atau bahkan terjadi manipulasi. Hal ini terutama ketika verifikasi faktual harus dilakukan secara sensus terhadap setiap pendukung calon yang menyebabkan kelelahan dan kerumitan tersendiri bagi petugas.
”Akhirnya, ada kasus di mana petugas main akal-akalan dalam melakukan verifikasi,” ucapnya.
Berikutnya, faktor keempat, berhubungan dengan penggunaan teknologi informasi dalam pencalonan yang belum optimal dan diikuti transparansi ataupun akuntabilitas dalam pengelolaan data oleh KPU beserta jajarannya. Padahal, akses data bukan sesuatu yang mudah bagi publik ataupun pengawas pemilu.
Secara prosedur sudah kami lakukan verifikasi administrasi dan faktual sejak 13 Mei. Namun, kebanyakan warga baru sadari bahwa ada proses ini setelah ramai diperbincangkan.
Faktor kelima, beratnya syarat membuat calon bersiasat dengan banyak cara untuk bisa lolos verifikasi syarat dukungan sebagai calon perseorangan.
Titi mengingatkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan penegak hukum agar mengusut tuntas polemik ini berdasarkan undang-undang terkait pilkada, administrasi kependudukan, pelindungan data pribadi, dan ITE supaya bisa terang benderang. Jika memang polemik ini melibatkan pasangan calon, harus ditindak tegas dari sisi administratif dan pidana. Sama halnya dengan petugas pemilihan yang terbukti tidak melakukan verifikasi faktual atau rekapitulasi syarat dukungan bisa dipidana penjara dan denda sesuai ketentuan undang-undang.
”Dari sisi administratif, jika terbukti ada pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif terkait pencatutan ini, maka bakal calon bisa dikenai sanksi maksimal pembatalan keterpenuhan persyaratannya,” ujarnya.
Sehubungan dengan polemik ini, Ketua KPU DKI Jakarta Wahyu Dinata memastikan telah menjalankan proses sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. Semuanya berjalan sejak 13 Mei hingga nanti penetapan calon pada 19 Agustus.
”Secara prosedur sudah kami lakukan verifikasi administrasi dan faktual sejak 13 Mei. Namun, kebanyakan warga baru sadari bahwa ada proses ini setelah ramai diperbincangkan. Oleh karena itu, silakan adukan kepada Bawaslu untuk kami tindak lanjuti,” tuturnya di KPU DKI Jakarta, Sabtu sore.