Kebakaran Terus Berulang, Batu Sandungan bagi Kota Global Jakarta
Dalam satu hari, delapan kasus kebakaran mendera Jakarta. Beberapa kasus di antaranya merenggut nyawa.
Jika dihitung rerata, dalam satu hari setidaknya terjadi delapan kali kebakaran di Jakarta. Situasi ini alarm bagi semua pihak untuk mulai terlibat, terutama dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang betapa penting mitigasi kebakaran. Sebuah tantangan yang harus dihadapi Jakarta yang kini mencap diri sebagai kota global.
Dalam dua hari terakhir, setidaknya terjadi dua kebakaran besar di Jakarta. Pada Selasa (13/8/2024), kebakaran melumat rumah warga di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Kebakaran itu menghanguskan rumah di dua RW, yakni RW 006 dan RW 012, dengan jumlah warga terdampak mencapai 1.050 keluarga atau 3.919 orang. Selain membuat orang harus mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal, ada tujuh orang yang mengalami luka ringan.
Sehari berselang, Rabu (14/8/2024), kebakaran besar melanda kawasan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dalam kebakaran kali ini setidaknya 120 rumah semipermanen dan 35 lapak terbakar. Seorang warga lansia dilaporkan tewas dalam peristiwa ini.
Dari kedua peristiwa kebakaran tersebut, diduga penyebabnya serupa, yakni korsleting listrik.
”Dalam setahun, kasus kebakaran di Jakarta mencapai 3.200 kasus. Dari jumlah itu, sekitar 80 persen disebabkan oleh korsleting listrik,” kata Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta Satriadi Gunawan.
Baca juga: Kebakaran di Penjaringan Hanguskan 120 Rumah, Satu Orang Tewas
Karena itu, dia berpendapat, kebakaran sebenarnya bukan sebuah bencana, melainkan risiko yang dapat diantisipasi sejak awal. Namun, sayang, belum banyak warga yang menyadari betapa penting pencegahan kebakaran yang harus dimulai dari rumah.
Melihat kecenderungannya, ujar Satriadi, kebakaran di Jakarta biasanya berkobar di kawasan padat penduduk dengan rumah semipermanen berjejalan di dalamnya. Jika ditelusuri lebih jauh, tingginya risiko kebakaran di kawasan tersebut tidak lepas dari beberapa faktor utamanya terkait kemampuan warga untuk membeli perangkat kelistrikan sesuai standar.
”Banyak warga yang lebih mementingkan harga murah dibanding kualitasnya,” ujarnya.
Di sisi lain, kepadatan penduduk juga sangat berpengaruh. Satriadi menuturkan, di permukiman padat penduduk, biasanya satu rumah dihuni sekitar tujuh orang. Bayangkan ketika mereka sedang mengecas gawainya secara bersamaan dengan perangkat kelistrikan yang tidak standar, terjadinya arus pendek listrik tinggal menunggu waktu. Apalagi kebanyakan warga tinggal di rumah semipermanen yang komponennya terbuat dari kayu dan tripleks.
”Ketika muncul percikan, api pun dengan cepat menyebar,” ujarnya.
Baca juga: Kebakaran Mampang Prapatan dan Kisah Pilu yang Terus Berulang di Jakarta
Situasi ini terjadi pada kebakaran di Manggarai, yang diduga disebabkan oleh korsleting listrik. Ketua RT 02 RW 06 Sukiman mengatakan dugaan awal api berasal dari pengecas gawai di rumah salah satu warga.
Gawai yang sedang dicas kemudian meledak dan menyambar ke tempat tidur. Pemilik rumah sempat berusaha untuk memadamkan api secara mandiri, tetapi api terus membesar. Warga sekitar mendobrak pintu rumah warga itu untuk membantu memadamkan api. ”Namun, api merambat dengan cepat,” kata Sukiman.
Di sisi lain, banyak warga yang mengalihkan fungsi bangunan dari yang seharusnya. Kondisi ini paling banyak terlihat di Tambora, Jakarta Barat. Banyak tempat tinggal dijadikan tempat usaha sehingga risiko kebakaran pun kian tinggi.
Contoh kasus adalah kebakaran di Mampang, Jakarta Selatan, yang menghanguskan toko bingkai Saudara Frame, Kamis (18/4/2024). Kebakaran itu menyebabkan lima orang terluka dan tujuh orang tewas. Berdasarkan penyelidikan, kebakaran disebabkan aktivitas karyawan yang menyemprotkan cairan bensin ke kayu ring dekat kompresor untuk mengusir rayap.
Di saat bersamaan, seorang karyawan lain sedang membetulkan kompresor. Tiba-tiba ada percikan api yang mengenai area yang terkena bensin, kemudian api menyambar dan membesar, termasuk menghanguskan tempat tinggal yang berdiri di belakang tempat usaha.
Satriadi menuturkan, dari kejadian ini, menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menyediakan alat pemadam kebakaran ringan (APAR) di rumah masing-masing, terutama di kawasan yang rawan terbakar, seperti di Manggarai di Jakarta Selatan, Tambora di Jakarta Barat, dan Penjaringan di Jakarta Utara. Tujuannya, ketika ada titik api, warga bisa langsung memadamkannya sejak dini.
”Nyatanya tidak semua warga mau dan mampu melakukan itu,” katanya.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan bisa menjadi contoh karena wali kota sudah memberikan instruksi bagi para aparatur sipil negara di jajaran Pemkot Jaksel memiliki APAR di rumah. Harapannya, aturan ini bisa dicontoh oleh masyarakat.
Perlu ada penerapan sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Keterbatasan personel
Riskannya kasus kebakaran di Jakarta belum diimbangi dengan jumlah armada dan personel yang memadai. Sampai saat ini, jumlah personel Gulkarmat se-DKI Jakarta sekitar 3.700 orang. Padahal, jika dikomparasikan dengan jumlah penduduk di Jakarta, idealnya personel Gulkarmat setidaknya berjumlah 10.000 orang.
Begitu pula jumlah pos kebakaran yang hingga kini baru mencapai 170 pos. Padahal, setidaknya di dalam satu kelurahan harus terdapat satu pos pemadam kebakaran.
”Pos pemadam kebakaran seharusnya diselaraskan dengan jumlah kelurahan. Jumlah kelurahan di Jakarta sebanyak 260, seharusnya jumlah pos pemadam kebakaran setara dengan itu,” kata Satriadi.
Untuk mengantisipasi ketimpangan itu, keterlibatan warga dan instansi terkait sangat dibutuhkan, terutama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat demi meredam jumlah kasus kebakaran di Jakarta.
”Langkah ini juga penting untuk memperkuat edukasi, termasuk pengawasan kepada masyarakat tentang pentingnya pencegahan kebakaran,” ucap Satriadi.
Baca juga: Stasiun Manggarai, Tempat Pengungsian Nyaman Para Korban Kebakaran
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menuturkan, berdasarkan data, kebakaran di wilayah Jakarta tergolong riskan. Polda Metro Jaya mencatat setidaknya ada 516 peristiwa kebakaran di sepanjang tahun 2024. ”Bahkan, dalam satu minggu terakhir, setidaknya ada 22 kali peristiwa kebakaran,” katanya.
Dari hasil penyelidikan yang diterima, sebagian besar peristiwa kebakaran disebabkan oleh korsleting, puntung rokok yang dibuang sembarangan, dan percikan api.
Dari maraknya kejadian kebakaran di Jakarta, Ade berharap agar masyarakat tetap waspada dan tidak melakukan aktivitas yang bisa menyebabkan kebakaran.
Jangan sampai petugas pemadam kesulitan mendekati sumber api karena tidak ada jalur akibat tertutup permukiman.
Kurangnya edukasi
Ketua Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia Ari Subagio Wibowo berpendapat, kebakaran yang terus berulang menjadi gambaran masih kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang pencegahan kebakaran.
Sebenarnya, Jakarta sudah memiliki regulasi yang baik untuk penanggulangan kebakaran yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Namun, implementasinya masih sangat kurang.
Seharusnya, pelaksanaan perda diawasi secara ketat, apalagi jika ini berkaitan dengan kebakaran yang menyangkut nyawa warga. Sayangnya, tidak semua instansi peduli dengan penegakan perda itu. ”Perlu ada penerapan sanksi yang tegas bagi yang melanggar,” kata Ari.
Agar upaya edukasi dapat berjalan baik, pelaksanaannya harus mengakar hingga ke tingkat lokal. Selain memperbaiki perangkat kelistrikan di permukiman padat, penataan permukiman juga harus dijalankan.
Keberadaan akses air, jalur mobil pemadam, termasuk jalur evakuasi, harus mulai dipetakan. ”Jangan sampai petugas pemadam kesulitan mendekati sumber api karena tidak ada jalur akibat tertutup permukiman,” ujar Ari.
Hal itu karena penanganan yang lambat memperparah dampak kebakaran. Agar perda dapat dijalankan dengan baik, karakter egosentris pada setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) harus dihilangkan.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo, berpandangan, peristiwa kebakaran yang terus berulang menjadi bukti bahwa Dinas Gulkarmat belum maksimal dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Menurut dia, simulasi dan pelatihan perlu dimasifkan pada setiap unsur dan lapisan masyarakat. Tujuannya agar warga mampu melaksanakan tindakan terbaik saat kebakaran terjadi dan meminimalkan tindakan yang bisa memperburuk situasi.
”Hal ini juga menjadi fondasi untuk membangun kesadaran dan kepedulian warga terhadap dampak dari bencana kebakaran ini,” kata Dwi.
Karena itu, Dwi menegaskan kembali pentingnya keberadaan alat pemadam kebakaran mandiri yang wajib dimiliki oleh pengurus RT dan RW sebagai antisipasi dini ketika terjadi kebakaran.
Menurut dia, tata permukiman warga juga harus dibenahi agar penanganan kebakaran bisa lebih optimal. Karena itu, evaluasi rutin perlu digelar oleh seluruh pemangku kepentingan guna mengurangi risiko pemicu kebakaran di Jakarta.