Sakit Hati Picu Istri dan Anak Membunuh Pengusaha Aksesori di Bekasi
Pengusaha aksesoris Asep Saepudin dibunuh istri dan anaknya. Pembunuhan berencana itu dipicu rasa sakit hati.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Seorang ayah, Asep Saepudin (43), menjadi korban pembunuhan berencana oleh istri, Juhariah (45), dan anaknya, Silvia Nur Alfiani (22). Motif ekonomi dan sakit hati melatarbelakangi pembunuhan tersebut.
Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Komisaris Besar Twedi Aditya Bennyahdi mengatakan, pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau pembunuhan berencana yang terjadi di Kampung Serang, Setu, Kabupaten Bekasi, sangat memprihatinkan. Asep kehilangan nyawa di tangan istri, Juhariah, dan Silvia, anaknya. Mereka telah melakukan percobaan pembunuhan sebanyak tiga kali terhadap Asep.
Polisi telah menetapkan Juhariah dan Silvia sebagai tersangka pembunuhan Asep. Selain mereka berdua, pacar Silvia, Hagistko Pramada (22), juga menjadi tersangka karena jadi eksekutor pembunuhan Asep.
”Para pelaku sudah merencanakan pembunuhan. Pelaku adalah istri dan anak korban. Satu tersangka lainnya yang terlibat ialah HP (Hagistko Pramada), pacar SNA. Motif ekonomi dan sakit hati. (Korban) juga tidak suka dengan hubungan HP dan SNA,” kata Twedi, saat dikonfirmasi, Senin (22/7/2024).
Dari hasil pemeriksaan, kata Twedi, aksi nekat sang istri karena merasa tidak tercukupi kebutuhan hidupnya. Padahal, menurut keterangan Juhariah, penghasilan sang suami cukup besar dari bisnis aksesorinya. Juhariah hanya mendapatkan Rp 100.000 per hari. Asep merupakan wirausaha aksesori, seperti gelang dan kalung.
Tak hanya itu, Juhariah menuding suaminya, Asep, memiliki simpanan lain atau berselingkuh sehingga tidak lagi mendapatkan perhatian, terutama uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, Silvia juga merasa sakit hati dengan perlakuan sang ayah kepada ibunya. Sakit hati Silvia semakin menumpuk karena hubungannya dengan Hagistko, yang sudah berjalan empat tahun, tidak disetujui ayahnya. Hagistko pun ikut kesal dengan sikap dari ayah pacarnya.
Akhirnya, Juhariah dan Silvia menyusun rencana untuk menghabisi nyawa Asep. Silvia berusaha meracuni ayahnya, tetapi ia tidak siap dan tidak tega.
Baru pada kesempatan Senin (24/6/2024) sekitar pukul 17.00 WIB, Silvia memberanikan diri meracuni Asep dengan cara mencampurkan sabun cair ke dalam minum kemasan rasa jeruk. Saat itu merupakan kesempatan pertama Silvia mencoba membunuh ayahnya.
”Pelaku (Silvia) meracik minuman. Sempat diminum AS, lalu muntah-muntah, tetapi masih selamat. Aksi SNA gagal,” lanjut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Bekasi Ajun Komisaris Besar Gogo Galesung.
Selang sehari, Selasa (25/6/2024) malam, Hagistko menyarankan Silvia dan Juhariah untuk kembali mengeksekusi korban, tetapi kesempatan itu tidak terlaksana karena hingga berganti hari Asep masih terjaga. Eksekusi pembunuhan tertunda. Pada Kamis (27/6/2024) dini hari sekitar pukul 03.30 WIB, saat Asep masih terlelap, Hagistko mencekik dan memukul kepala Asep dengan helm.
Setelah peristiwa itu, Hagistko mengajukan pinjaman daring dari akun milik korban sebesar Rp 13.000.000 dari Adakami dan Rp 43.500.000 dari Easy Cash. Dana itu kemudian ditransfer ke rekening Silvia dan ke rekening Hagistko.
Kasus pembunuhan itu, lanjut Twedi, sudah terjadi cukup lama. Kasus itu terungkap karena keluarga Asep merasa ada yang janggal dengan kematian Asep. Keluarga pun melaporkan ke polisi dan membongkar kembali kuburan untuk diselidiki. Hasil penyelidikan membuktikan kematian Asep bukan karena sakit atau kematian wajar.
Atas tindakan itu, ketiga tersangka dikenakan Pasal 44 Ayat 3 juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 338 KUHP, dan Pasal 351 Ayat 3 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Para tersangka terancam hukuman 20 tahun penjara atau hukuman seumur hidup.
”Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga dan pentingnya tindakan preventif untuk mencegah kejadian serupa di masa depan,” kata Twedi.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga dan pentingnya tindakan preventif untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Komunikasi tidak baik
Sosiolog kriminolog Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, mengatakan, kasus pembunuhan oleh sesama anggota keluarga yang kembali terjadi memperlihatkan pola komunikasi dan relasi intim tidak terbangun dengan baik. Dalam penelitian yang pernah dilakukan Soeprapto, kondisi keluarga yang secara finansial sangat berkecukupan pun tak lepas dari masalah seperti halnya yang terjadi pada kasus di Kabupaten Bekasi.
Tekanan, kekecewaan, hingga perlakuan yang tidak menyenangkan secara berkepanjangan yang dirasakan dan dialami oleh ibu dan anak itu telah membuat daya rasional mereka rendah. Ketika daya rasional rendah, tak peduli siapa pun bisa menjadi korban.
”Daya rasional anak dan ibu yang selama ini tertekan membuat mereka mengambil jalan pintas atau menyelesaikan secara instan,” kata Soeprapto.