Suku Asli di Bengkalis Diajak untuk Menjaga Mangrove
Suku asli yang tinggal di pesisir Riau dilibatkan dalam pelestarian mangrove. Mereka diajak untuk menjaga mangrove.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS — Lembaga Pengelolaan Hutan Desa melibatkan suku asli yang tinggal di pesisir Sungai Kembung, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis, Riau, dalam pelestarian mangrove. Cara ini dianggap efektif untuk menghilangkan kebiasaan untuk menebang kayu mangrove yang sudah dilakukan sejak lama.
Ketua Kelompok Belukap sekaligus Kepala Seksi Humas dan Resolusi Konflik Lembaga Pengelola Hutan Desa Teluk Pambang Syamsul Bahri mengatakan, dalam merestorasi hutan mangrove yang ada di wilayahnya, dia juga melibatkan para suku asli yang tinggal di Desa Teluk Pambang.
”Ada sekitar tujuh keluarga suku asli yang tinggal di desa ini. Beberapa di antaranya dilibatkan untuk menjaga hutan mangrove,” kata Syamsul di Pekanbaru, Kamis (11/7/2024).
Cara ini dianggap efektif untuk mengajak para suku asli untuk berhenti menebang hutan mangrove. Syamsul mengatakan, kebiasaan warga suku asli menebang pohon mangrove memang sudah berlangsung sejak dulu. Apalagi ketika panglong arang merebak.
Sekitar tahun 2010 ada sekitar lima panglong arang yang beroperasi di Desa Teluk Pambang. Mereka memproduksi arang dengan jumlah cukup besar, bahkan mencapai 30 ton setiap bulan. Mereka menerima kayu dari para perambah, termasuk di antaranya orang suku asli.
Melihat peluang itu, ujar Syamsul, semakin banyak warga yang akhirnya menebang mangrove untuk mendapatkan uang. ”Bayangkan jika satu bulan sekitar 30 ton arang diproduksi, berapa batang pohon bakau yang ditebang saat itu,” katanya.
Karena itu, pada 2010, dirinya mengusulkan kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menutup operasi para panglong kayu. Dia pun bersyukur, usulan itu diterima dan operasional panglong arang pun dihentikan.
Hanya saja, risiko perambahan hutan mangrove masih besar terjadi mengingat banyak panglong arang yang beroperasi di desa lain walau dengan kapasitas produksi yang lebih kecil. Agar aktivitas perambahan dapat dihentikan, LPHD Teluk Pambang pun membentuk tim patroli yang selalu mengawasi hutan mangrove agar tidak dirambah.
”Dalam tim tersebut, kami juga melibatkan para suku asli. Tujuannya, agar mereka tidak lagi merambah hutan karena sudah memiliki alternatif pekerjaan lain,” kata Syamsul.
Dia menuturkan, sebenarnya banyak suku asli yang setuju untuk tidak merambah hutan. Pasalnya, uang yang diperoleh dari perambahan pun tidak banyak.
Dalam setiap batang pohon mangrove berukuran 4 meter hanya dihargai Rp 30.000. ”Jadi, sebenarnya tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh,” katanya.
Setelah diajak untuk ikut berpatroli dan memperoleh pendapatan dari menjaga hutan, para suku asli pun bersemangat dan berangsur tidak lagi menebang hutan mangrove.
Kepala suku asli di Teluk Pambang, Sur (56), mengatakan, ada sekitar tujuh keluarga suku asli yang tinggal di Desa Teluk Pambang. Namun, jika dilihat dari Kabupaten Bengkalis secara keseluruhan, ada ribuan orang suku asli yang tinggal di Bengkalis.
Mereka biasanya tinggal di pesisir dengan mencari ikan. Dia mengakui, sejak dulu menebang kayu bakau memang sudah menjadi kebiasaan untuk mencari uang. ”Selama ini kami mencari kayu dari hutan bakau untuk dijadikan bahan pembuat rumah dan untuk dijual dijadikan arang,” katanya.
Namun, sekarang sejak ada pendampingan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, kebiasaan itu berangsur hilang. ”Karena sudah banyak yang memberi tahu bahwa menebang mangrove bisa merusak alam, kami sudah berhenti menebang kayu,” katanya.
Sekarang, ungkap Sur, warga suku asli fokus untuk mencari ikan. Dia mengatakan, sejak mangrove kembali rimbun, hasil ikan yang diperoleh pun kian banyak dan beragam.
Menebang mangrove bisa merusak alam, kami sudah berhenti menebang kayu.
Tidak mudah
Khairul Saleh, Sekretaris Eksekutif Bahtera Melayu yang sudah mendampingi suku asli sejak tahun 1998, mengatakan tidak mudah untuk mengajak suku asli meninggalkan kebiasaan dalam menebang bakau. ”Karena itu adalah pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk menghidupi keluarganya,” kata Khairul.
Karena itu, bersama dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, pihaknya mengajak para warga suku asli untuk melakukan pekerjaan alternatif lain. ”Misalnya dengan mengolah ikan hasil tangkapan dan juga membuat madu hutan,” katanya.
Dengan banyaknya pekerjaan alternatif, suku asli pun tidak ada berpikir untuk kembali menebang pohon bakau. ”Karena, ketika kita menjaga hutan mangrove, mereka akan melindungi kita dari risiko bencana,” kata Khairul.