Bagaimana Wajah Jakarta Menyongsong Kota Global?
Jakarta akan mengembangkan budaya sebagai jantung kota agar berdaya saing dalam kancah global.
Jakarta resmi bergabung dengan World Cities Culture Forum. Jaringan 40 kota kreatif ini membawa peluang untuk mengembangkan budaya sebagai jantung kota dalam kancah global. Lantas, wajah kota seperti apa yang hendak ditampilkan Jakarta?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan bergabung dalam World Cities Culture Forum saat ulang tahun ke-497 pada 22 Juni lalu. Forum ini akan menjadi wadah menghadapi tantangan abad ke-21, mulai dari menumbuhkan ruang kerja yang terjangkau di kota, mengembangkan strategi budaya pariwisata dan perekonomian informal, hingga meningkatkan keberagaman di ruang publik dan menempatkan budaya sebagai jantung perencanaan kota dan investasi.
Hal tersebut mau tidak mau harus ditempuh karena Global Power City Index menempatkan Jakarta pada peringkat ke-45 dari 48 negara. Peringkat ini lebih rendah daripada kota sekawasan, seperti Kuala Lumpur (41), Bangkok (40), dan Singapura (5).
Jakarta memiliki peringkat yang cukup baik pada kualitas hidup (29). Akan tetapi, peringkatnya masih papan bawah pada dimensi lingkungan (46), dimensi ekonomi (40), penelitian dan pengembangan (45), interaksi budaya (42), dan aksesibilitas (45).
Baca juga: Secuil Wajah ”Kota Global” Jakarta dari Kolong Jembatan
Associate professor School of Social Sciences Waseda University, Riela Provi Drianda menuturkan, kota-kota di dunia punya ambisi untuk berdaya saing dan menjadi paling menarik di mata warganya, wisatawan, dan investor. Ambisi ini erat kaitannya dengan infrastruktur budaya dan ruang-ruang yang dikembangkan kota.
”Biasanya destinasi pertama dari suatu kota adalah museum. Museum itu jendela untuk melihat perkembangan kota dan penduduknya, interaksi satu dan lainnya. Banyak informasi dari museum kota,” kata Riela dalam urban dialogue yang mengambil tema ”Membangun Identitas Jakarta: Strategi untuk Keragaman Budaya Kota”, Kamis (27/6/2024).
Urban dialogue Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Jakarta dan Shirvano Consulting ini untuk mencari tahu apa saja potensi Jakarta dalam mengembangkan budaya sebagai jantung kota dalam kancah global.
Jakarta punya berbagai museum. Statistik Kebudayaan 2020 yang dikeluarkan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, ada 254 cagar budaya dan 61 museum. Jumlah ini mengerucut jadi sembilan museum (seni rupa, arkeologi, dan sejarah) berdasarkan laporan Provinsi DKI Jakarta dalam Angka 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik Jakarta.
Dari segi kuantitas jumlah di atas tergolong cukup. Akan tetapi, bagaimana dengan kualitasnya dalam merepresentasikan wajah kota?
Riela menjadikan Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua, Jakarta Barat, sebagai contoh. Dari beberapa kunjungan bersama koleganya dari Jepang, mereka puas dengan tampilan koleksi museum. Namun, narasi dalam papan informasi atau petunjuk arah belum optimal, ruangan terasa panas, dan pengunjung terlalu banyak sehingga tak ada waktu untuk menikmati koleksi museum.
Sejarah Jakarta
Museum Sejarah Jakarta tak terlalu ramai pada Jumat (28/6/2024) siang. Setidaknya ada sekitar 30 pengunjung lokal dan internasional.
Tarif masuk museum Rp 10.000. Pembayarannya secara elektronik menggunakan QRIS.
Sejumlah petugas museum langsung mengarahkan pengunjung ke ruang pameran setelah pembayaran. Ruang ditata dengan narasi sejarah kota Jakarta dari masa ke masa.
Udara siang itu cukup panas bahkan terasa dalam bangunan bergaya Neoklasik yang menyerupai Istana Dam di Amsterdam, Belanda. Tak pelak, peluh bercucuran sehingga harus mengademkan diri di beberapa ruangan berpendingin.
Baca juga: Sisi Lain Lesatan Pelayanan Transportasi Jakarta
Sejumlah wisatawan asing serius menyimak penjelasan dari pemandu wisata. Beberapa wisatawan asing lainnya berkeliling sendiri sambil melihat koleksi dan membaca narasi dalam papan informasi.
Petugas museum juga melakukan hal serupa. Dengan perlahan menjelaskan tentang koleksi museum kepada satu keluarga wisatawan lokal.
Di sisi lain sebagian koleksi museum sudah dilengkapi narasi audiovisual. Pengunjung sangat terbantu karena tinggal menyimak sembari melihat koleksi yang ada.
Tak lupa para wisatawan memotret koleksi museum. Mereka juga bergantian foto dalam berbagai gaya.
Rata-rata pengunjung keluar dari dari ruang pameran dengan wajah senang. Mereka kagum dan takjub dengan koleksi museum.
Wajah kota
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta terus berupaya mengembangkan destinasi sebagai wajah kota sesuai Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Urban. Mulai dari revitalisasi peninggalan sejarah, seperti Kota Tua, hingga membangun area baru agar menjadi ruang ketiga, misalnya Terowongan Kendal, Mbloc Space, dan Pos Bloc Jakarta.
Ketua Subkelompok Riset dan Pengembangan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta Heru Ardianto memaparkan hal tersebut dalam urban dialogue. Jakarta punya aset dan potensi yang harus dimaksimalkan.
”Paling tidak bisa tarik wisatawan dan tambah waktu lama tinggal di Jakarta. Sekarang rata-rata di bawah dua hari,” katanya.
Dalam revitalisasi Kota Tua, area itu menjadi kawasan rendah emisi. Tujuannya memudahkan aktivitas orang-orang di dalamnya sehingga menambah daya tarik.
Kemudian kawasan Medan Merdeka dengan Monumen Nasional. Banyak aktivitas berlangsung di situ, termasuk punya perayaan ulang tahun Jakarta.
Baca juga: Mengapa Rencana Pembatasan Usia Kendaraan Maksimal 10 Tahun di Jakarta Menuai Penolakan?
Selain itu, Lapangan Banteng juga dimanfaatkan untuk festival flora dan fauna, kawasan Cikini dan Taman Ismail Marzuki sebagai wisata kuliner dan seni budaya, serta bienial, wisata jalan kaki, dan lainnya.
”Kami coba ikut perkembangan zaman di seluruh Jakarta. Hadirkan tampilan yang memikat dan mendukung aktivitas warga. Secara nyata destinasi wisata bisa menjawab kebutuhan dan hasilkan ruang-ruang kreativitas,” ucapnya.
Tak ketinggalan upaya memopulerkan budaya Betawi. Pelbagai seni dan budayanya, dari kuliner hingga tarian ditampilkan dalam banyak kesempatan, termasuk kerja sama dan promosi serta dukungan terhadap seniman dan pelaku usaha ekonomi kreatif.
Kami coba ikut perkembangan zaman di seluruh Jakarta. Hadirkan tampilan yang memikat dan mendukung aktivitas warga. Secara nyata destinasi wisata bisa menjawab kebutuhan dan hasilkan ruang-ruang kreativitas.
Inklusif
Jakarta punya banyak referensi bagaimana membentuk wajah kotanya. Dari semua itu, kota tetap sesuai kebutuhan warga, bukan kalangan tertentu dan inklusif tanpa mengganti total apa yang sudah ada.
Riela mencontohkan apa yang dilakukan New Delhi di India, Tokyo di Jepang, dan Seoul di Korea Selatan. New Delhi membangun pusat perbelanjaan besar di Narayanan yang justru memicu konflik tidak perlu sebab tak sesuai kebutuhan warga.
Sama halnya dengan Tokyo yang sedang membangun kembali citra kotanya dengan bangunan ikonik. Hal tersebut mendapat protes karena seolah hanya mementingkan wisatawan asing dan investor lantaran fungsi kota hanya mengakomodasi orang muda, sehat, dan punya uang. Padahal, banyak warga usia lanjut di Jepang.
”Ada ketimpangan. Modernisasi justru memberikan ancaman bagi keberlangsungan atau keberadaan ruang yang sudah ada. Ini jadi perbincangan hangat,” tuturnya.
Dua tempat yang bisa jadi perbandingan ialah Coredo Muromachi dan Toranomon Hills. Tempat pertama mengakomodasi banyak elemen tradisional Jepang dan sejarahnya sehingga inklusif.
Beda halnya dengan tempat kedua yang futuristik ala Barat. Ikon baru ini menggadang keberlanjutan dan peduli lingkungan, tetapi justru menimbulkan kesan sangat eksklusif.
Baca juga: HUT Ke-497, Jakarta Harus Penuhi Parameter Jadi Pusat Ekonomi dan Kota Global
Artinya, menurut Riela, pembangunan harus lebih memperhatikan akar budaya kota itu sendiri agar warga merasa lebih nyaman berkegiatan.
Seoul juga mengalami hal serupa. Dongdaemun ditentang karena desainnya mencerminkan budaya kota atau ada yang tercerabut. Ini kebalikan dari Gwanghamun Square yang mengakomodasi warganya. Pembangunan tetap memelihara situs-situs yang sudah ada atau menggabungkan fungsi museum dan perkantoran.
”Seoul punya prestasi bagus dalam preservasi situs sejarah dan meningkatkan relevansinya untuk kehidupan modern. Jadi tidak datang hanya ambil foto lantas pulang tanpa pelajari apa-apa,” katanya.
Dari contoh itu, Jakarta disarankan memanfaatkan sejarah panjangnya, mempromosikan budaya yang paling kental atau dikenal orang, yaitu Betawi, mengakomodasi berbagai kalangan dalam pemanfaatan ruang kota, dan inklusif.
Wajah kota tak hanya soal infrastruktur. Lebih jauh dari itu kota wajib dapat mengakomodasi orang-orang di dalamnya.