Alur Sesar Baribis di Cipunagara, Berkah Sekaligus Risiko Bencana
Jejak batuan terangkat, gores garis, dan perbedaan kelandaian lembah Sungai Cipunagara menandakan ada Sesar Baribis.
Setelah lebih dari sepekan, Tim Ekspedisi Sesar Baribis mendapatkan temuan baru. Tiga tanda adanya Sesar Baribis ditemukan di daerah Sungai Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Temuan ini menguatkan kehidupan di sekitar sungai yang dihantui risiko bencana, tetapi juga diberkahi dengan aliran sungai yang menjadi nadi kehidupan warga.
Temuan itu diungkap oleh peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sonny Aribowo, Selasa (21/5/2024). Tiga tanda yang ditemukan berupa jejak potongan batuan terangkat, gores garis batuan, dan perbedaan kelandaian lembah sungai.
Secara keseluruhan, Sungai Cipunagara mengalir sejauh 147 kilometer dari Gunung Bukit Tunggul, kawasan Bandung utara, ke Laut Jawa di utara Jabar. Alirannya memberikan kehidupan bagi warga di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu.
Upaya menyingkap tanda sesar itu dilakukan sepanjang Selasa (21/5/2024). Sonny mendampingi Tim Ekspedisi Sesar Baribis untuk susur sungai dari hilir ke hulu.
Titik penelusuran ini berdasarkan penelitian terdahulu terkait jalur Sesar Baribis. Mula-mula tim menuju daerah aliran sungai yang terletak 12 kilometer dari pusat kota Subang.
Baca juga: Jejak Sesar Baribis Segmen Cirebon di Sungai Cimanis
Pada titik ini, sempadan sungai dimanfaatkan sebagai perkebunan oleh perusahaan dan warga. Tim kesulitan melihat lanskap sungai dan memeriksa batuan karena tutupan lahan sehingga butuh bantuan pesawat nirawak (drone).
Drone terbang rendah selama kurang lebih 10 menit, sambil memotret sempadan dan bebatuan. Saat itu, Sonny dengan saksama memperbesar dan memperkecil lanskap di layar gawai yang terhubung dengan drone.
”Tidak kelihatan singkapan. Maka perlu petakan geomorfologi secara lebih detail. Dari drone tampak perbedaan kelandaian lembah sungai,” ujar Sonny.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan geomorfologi sebagai ilmu tentang bentuk permukaan bumi masa kini dan proses yang mengakibatkan bentuk itu.
Dari seorang warga setempat, Suryana, tim mendapatkan informasi tentang banyak bukit kecil ke arah hulu Sungai Cipunagara. Warga menyebutnya gugunung.
”Arah (desa) Cibalandong banyak gugunung. Gunung kecil, bukit,” ujar Suryana. Siang itu dia turut menyaksikan penelusuran tanda Sesar Baribis di dekat perkebunan.
Tanda sesar
Dari atas drone kelihatan perbedaan ketinggian antara lembah sungai bagian selatan dan utara. Perbedaan ini menjadi acuan untuk penelusuran lanjutan ke arah hulu Sungai Cipunagara.
Sonny terlebih dahulu memandu Tim Ekspedisi Sesar Baribis melihat lapisan sedimen di Bendungan Sadawarna. Bendungan pada aliran Sungai Cipunagara ini dibangun tahun 2018 dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2022 di Sumedang.
Secara keseluruhan, Sungai Cipunagara mengalir sejauh 147 kilometer dari Gunung Bukit Tunggul, kawasan Bandung utara, ke Laut Jawa di utara Jabar. Alirannya memberikan kehidupan bagi warga di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu.
Secara keseluruhan, panjang bendungan mencapai 933 meter dengan tinggi 40 meter dan titik bendungan diukur dari hulu sungai berjarak sekitar 43 kilometer. Keberadaannya untuk menyiapkan air baku bagi Subang, Sumedang, dan Indramayu lebih kurang 1.200 liter per detik dan berpotensi untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro sebesar 2 megawatt.
Baca juga: Hikayat Desa Baribis, Naungan Kijang di Belantara Pohon Asam
Sesudah itu, tim kembali melanjutkan perjalanan susur Sungai Cipunagara. Tim berjalan kaki dari area lembah sungai menanjak ke hulu. Pada sempadan area hulu ini terdapat kebun warga dan bebatuan di kiri, kanan, ataupun tengah sungai.
”Di sini ada bagian naik dari sistem sesar. Sungai mengalami pembelahan lebih dalam, tajam, seperti huruf V. Selain itu, terdapat bebatuan yang relatif terangkat ketimbang daerah hilir dan kesan gores garis di bebatuan,” kata Sonny.
Dari kondisi geomorfologi ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui usia batuan atau lapisan. Dari situ dapat ditentukan kondisi sesar di lokasi Sungai Cipunagara, Subang.
Rentan guncangan
Sesar Baribis diketahui merupakan salah satu zona sesar mayor di Jawa bagian barat yang mengikuti pola pulaunya. Sesar ini membentang dari timur ke barat dengan jalur terbagi dari beberapa segmen, seperti Sungai Cipanas, Ciremai, selatan Jakarta, dan sisi timur Bekasi-Purwakarta (Kompas, 26 April 2024).
Sementara terkait gempa bumi di Subang, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM pada 19 Oktober 2016 melaporkan terjadinya gempa bumi di timur laut Subang dengan magnitudo 6,5.
Berdasarkan informasi BMKG, gempa bumi pagi itu dirasakan hingga Jakarta, Pacitan, Trenggalek, dan Bantul. PVMBG memperkirakan, berdasarkan posisi kedalaman dan pusat gempa bumi yang sejajar dengan zona seismik, gempa itu bersumber dari aktivitas zona subduksi atau zona tabrakan lempeng.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Subang tersusun oleh endapan kuarter berupa aluvium pantai, sungai, endapan rombakan gunung api muda, dan batuan tersier. Sebagian batuan tersier ini telah mengalami pelapukan. Artinya, endapan kuarter dan batuan tersier yang mengalami pelapukan bersifat urai, lepas, belum kompak, dan memperkuat efek getaran, sehingga rentan terhadap guncangan gempa bumi.
Baca juga: Setelah 33 Tahun Gempa Majalengka
Kerentanan ini juga terjadi ketika gempa bumi hingga tiga kali di Sumedang pada Minggu (31/12/2023). Sesar penyebab gempa bumi ini belum terpetakan, tetapi guncangan yang berlangsung di 1 kilometer timur laut Sumedang dengan kedalaman 7 kilometer juga dirasakan di Garut, Kota Bandung, dan Subang.
Gempa selanjutnya dengan magnitudo 3,4 dan 4,8 juga terasa di Garut, Subang, dan Kota Bandung. Gempa ini memicu kerusakan sejumlah bagian bangunan di Sumedang, mulai dari rumah warga hingga rumah sakit.
Sumber kehidupan
Kendati hidup di tengah kerentanan bencana karena berada di kawasan Sesar Baribis, kehidupan warga di sepanjang Sungai Cipunagara lekat dengan pemanfaatan sungai. Sungai itu menjadi sumber kehidupan mereka, mulai dari untuk menyiram tanaman hingga menangkap ikan.
Pada titik pertama penelusuran tim ekspedisi, misalnya, terdapat kebun pisang dan sayuran di dekat sungai. Menurut Suryana, pisang yang ditanam dan mulai matang itu cocok dibuat keripik. Selain dikonsumsi sendiri, warga juga menjualnya.
Bergeser ke area Bendungan Sadawarna, ada beberapa warga yang menjual makanan dan minuman ringan kepada warga yang datang. Warga ini biasanya datang untuk melepas kebosanan, berswafoto, dan jalan-jalan.
Semakin ke hulu sungai, semakin banyak kebun sayur milik warga, terutama di salah satu sisi sungai. Warga menyedot air sungai dengan pompa untuk menyiram tanaman. Salah satunya kacang panjang.
”Selama debit air bagus, tanaman subur,” kata Wawan, salah satu petani di tempat itu.
Selain kebun, warga lainnya memancing ikan dengan jaring. Ikan ini langsung dibakar di tepi sungai. ”Ikan di sini (sungai) lumayan banyak,” kata Ahmad, salah satu warga.
Air sungai itu juga merupakan salah satu sumber air baku bagi warga sekitar. Sungai Cipunagara benar-benar menjadi berkah bagi kehidupan warga. Di tengah potensi bencana yang sewaktu-waktu muncul, berkah kehidupan itu selalu disyukuri. Penyiapan dan mitigasi bencana menjadi penting agar warga tidak menjadi korban.